Selasa, 11 Januari 2011

Model Pendidikan Moral (Terjemahan)

MODEL PENDIDIKAN MORAL
Sebuah Penilaian


Richard H. Hersh
John P. Miller
Glen D. Fielding



Diterjemahkan oleh:
Asip Laela Sarip

Longman Inc.

1
ISU
DALAM
PENDIDIKAN MORAL

Dalam suatu essay yang berjudul “A Moral for an Age of Plenty,” seorang ilmuan yang juga seorang filusuf bernama Jacob Bronowski menceritakan suatu cerita tentang Louis Slotin. Cerita Slotin mengisahkan anatomi moral yang dijadikan sebagai model dalam pendidikan moral.
Slotin merupakan seorang ahli fisika dalam bidang nuklir yang bekerja di beberapa laboratorium di Los Alamos untuk membantu mengembangkan bom atom. Pada tahun 1946 dia melakukan sebuah percobaan di laboratorium dengan mengumpulkan kepingan plutonium (elemen logam yang digunakan untuk menghasilkan energi nuklir dan senjata nuklir). Kemudian dia sedikit mendekatkan satu kepingan plutonium ke kepingan yang lain untuk memastikan masa plutonium yang dihasilkan akan cukup besar. Dia melakukannya dengan menggunakan obeng. Sebagai seorang ahli, cara yang dia lakukan seperti ini dianggap sebagai cara yang konyol dan ceroboh. Obengnya tergelincir dan kemudian terjadi fraksi plutonium yang terlalu berdekatan atau terlalu rapat. Seketika itu juga, semua instrumen yang berada di lab tersebut menunjukkan peningkatan reaksi neutron yang ditandai dengan terjadinya ‘reaksi berantai’ (chain reaction). Tak lama kemudian, radioaktif pun memenuhi seisi ruangan laboratorium.
Bronowski melaporkan, “Slotin segera bergerak. Dia menjauhkan kepingan plutonium itu satu dengan yang lain dengan menggunakan tangan kosong. Hampir saja tindakannya ini merenggut jiwanya. Namun, justru tindakannya ini memicu untuk menghasilkan radiokatif yang jauh lebiih besar lagi. Kemudian dengan tenang dia meminta tujuh orang teman kerjanya untuk pindah dari posisi mereka berada saat kecelakaan tersebut terjadi agar resiko mereka terhadap reaksi radioaktif yang timbul dapat dicegah.”
Setelah melakukan percobaan ini, dan setelah menjalani perawatan kesehatan, Slotin meminta maaf kepada teman-temannya dan mengatakan bahwa apa yang sudah terjadi itu benar adanya; dia mungkin saja meninggal dalam kejadian tersebut dan teman-temannya mungkin saja mengalami kecelakaan sehingga mereka harus dirawat.
Pada respon yang dilakukan Slotin kita dapat melihat moralitas yang sudah dilakukan dengan benar. Kita melihat, pertama, pikiran dan perhatian yang tulus untuk menyelamatkan hidup orang lain. Kita juga dapat melihat kemampuan untuk menanganai suatu situasi secara seimbang dan akurat dengan menggunakan pemikiran yang sistematis. Ketiga, kita dapat menyaksikan suatu tindakan yang sangat berani. Slotin tidak merasa tertekan dan dia berpikir secara efisien; dia memisahkan plutonium tersebut.
Moralitas, sebagaimana diagambarkan dalam kasus Selotin ini, bergantung pada adanya keseragaman anatara kepedulian yang ramah, pemikiran yang objektif, dan keputusan yang tepat. Pikirkan apa yang akan terjadi di laboratorium jika Slotin hanya menunujukkan satu atau dua dari tiga elemen moralitas. Jika ia memiliki pengetahuan yang hebat dan kecerdasan yang luar biasa, tetapi dia tidak merasa sedikit pun peduli pada teman kerjanya, moral seperti apa yang dia miliki? Selain itu, jika dia tidak mampu untuk menilai masalah secara rasional, akan efektifkah kepedulian yang dia berikan? Namun demikian, sebaik apapun niatnya dan selogis apaun pemikirannya apa yang bisa diharapkan jika dia gagal untuk melakukan tindakan yang tepat? Moralitas bukan hanya niat yang baik, bukan hanya pemikiran yang tepat, bukan pula hanya tindakan yang resolutif, tetapi moralitas merupakan gabungan dari ketiga hal tersebut secara utuh.
Pada respon yang dilakukan Slotin, tiga elemen moralitas terlihat bekerja sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, tidak terlihat adanya pemisahan antara perasaan, pikiran, dan tindakannya; ketiganya terlihat menyatu pada saat yang sama sebagai suatu kesatuan untuk mengatasi adanya suatu ancaman. Namun demikian, pada prakteknya kaitan antara ketiga hal tersebut seperti benang kusut. Ada perbedaan diantara ketiganya yang sangat penting untuk dipahami. Untuk semua model pendidikan moral yang dimuat dalam buku ini, baik langsung maupun tidak langsung, mengacu pada proses peduli (caring), menilai (judging), dan bertindak (acting) secara terpisah. Pemahaman yang menyeluruh terhadap ketiga proses tersebut akan membantu kita untuk melihat perspektif individu terhadap suatu model dengan lebih jelas.

PEDULI (CARING)
Pertama-tama mari kita pikirkan apa yang dimaksud dengan “peduli” atau apa makna “peduli”. Misalnya, ketika kita berkata bahwa Slotin peduli, apa yang kita maksud dengan peduli dalam konteks itu? Secara tidak langsung kita berkata bahwa dia berniat menolong dan niatnya tersebut terpisah dari pertimbangan rasional apapun. Dalam kasus Slotin, kepeduliannya adalah ketika dia meminta teman-temannya ‘keluar’ atau pindah dari posisi dimana sebelumnya mereka berada agar terhindar dari bahaya radioaktif tersebut. Dan, hal ini dia lakukan secara spontan. Dia merasa terdorong untuk membantu teman-teman kerjanya pada tingkatan emosi yang paling dasar. Emosinya terbangunkan untuk memikirkan kepentingan teman-temannya. Sebagai suatu rangsangan atau motivasi, kepedulian seakan-akan berasal dari “dalam usus.”
Namun demikian, dihubungkan dengan timbunya emosi, kita juga secara tidak langsung dapat menyatakan bahwa istilah ‘peduli’ ini berkaitan juga dengan level atau tingkat pemahaman sosial dan psikologis tertentu. Jika Slotin tidak mampu menafsirkan kecelakaan yang akan terjadi dari sudut pandang pekerja yang lain, kemungkinan besar dia tidak akan mampu memperkirakan apakah hidup mereka sedang dalam bahaya atau mereka akan selamat. Jika dia tidak memiliki kemampuan intelektual untuk mengasumsikan perspektif teman-temannya, bagaimana mungkin dia cukup tahu untuk merasa aman di tempat yang pertama? Meskipun hanya suatu perasaan tetapi perasaan juga merupakan kemampuan untuk mengetahui—untuk membuat kesimpulan mengenai kebutuhan dan kepentingan orang lain. Untuk bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain kita juga harus dapat memikirkan apa yang dipikirkannya. Dapatkah kita membayangkan seseorang yang peduli pada temannya tetapi tidak mampu menunjukkannya dengan hal-hal yang nyata? Untuk peduli pada orang lain bukan hanya kita ikut memikirkan apa yang dibutuhkannya tetapi harus mampu melakukan tindakan nyata untuk memeneuhi kebutuhannya tersebut. Dengan demikian kepedulian harus melibatkan antara motivasi sosial dan pengetahuan sosial. Oleh karena itu, sebagai pendidik moral, meskipun kamu ingin menekankan kepedulian dalam moralitas (misalnya model pemikiaran McPhail), kamu bukan melakukan pendidikan “affektif” secara eksklusif. Tanpa lensa berpikir, kepedulian akan buta. Belajar peduli pada orang lain harus juga belajar untuk mengetaui dan memahami mereka.

MENILAI (JUDGING)—membentuk, memberi atau mempunyai pendapat, atau membuat keputusan pada sesuatu atau seseorang, terutama setelah berpikir secra matang.
Perlu disampaikan terlebih dahulu beberapa istilah yang akan sering muncul dalam terjemahan ini. Hal ini untuk menghindari keambiguan, istilah ‘nilai’ atau ‘menilai’ bisa saja berasal dari tejemahan value atau valuing, score atau scoring, mark atau marking, judge atau judging dan lain-lain. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sangat ‘miskin’ padanan kata nilai. Oleh karena itu untuk menghindari salah tafsir, di setiap kata nilai yang dimaksud akan diberikan kata asal terjemahannya. Sebaliknya, bahasa Indonesia sangat kaya dengan kata nasi misalnya menjadi timbel, liwet, lontong, lepet, dan lain-lain tetapi di bahasa Inggris hanya ada satu padanan yaitu rice. Dalam buku ini akan dibahas enam model moral dimana setiap modelnya akan selalu berhubungan dengan tiga istilah berikut yaitu caring, judging dan acting. Ketiga istilah tersebut diterjemahkan peduli atau kepedulian, nilai, menilai atau penilaian, dan tindakan atau bertindak. Selanjutnya, dalam buku terjemahan ini akan menggunakan istila caring, judging, dan acting saja untuk menghindari keambiguan,
Kepedulian tidak benar-benar dipisahkan dari pemikiran. Kepedulian tidak dipisahkan dari kemampuan untuk membuat kesimpulan tehadap kebutuhan orang lain. Namun demikian, pemikiran berbeda dengan kepedulian. Seperti kasus ketika kita memikirkan (reasoning)—kemampuan berpikir sehat dan memberikan penilaian terhadap sesuatu—atau menilai (judging)—berpendapat atau memutuskan sesuatu—masalah moral, suatu masalah yang mana keselamatan orang lain dipertaruhkan. Tentu saja kita harus peduli pada pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan, atau pemikiran kita akan hampa dan dikesampingkan. Namun, meskipun kita sudah sangat peduli dan sangat paham, masalah moral akan tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kita. Slotin, misalnya, harus membuat pilihan diantara tuntutan moral yang sama-sama penting; hidupnya Vs hidup orang lain. Peduli pada kehidupan manusia bukan hanya merasa cukup untuk menghasilkan solusi pada suatu dilemma. Namun, dia masih harus menggunakan keputusannya—mampu menghasilkan suatu keputusan. Ketika kita mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kewajiban moral, kita terlibat dalam suatu pertimbangan yang mendalam. Haruskah saya memberi tahu isteri saya kalau saya sedang jatuh cinta kepada sekretaris saya? Haruskah saya bertempur dalam peperangan yang terlihat tidak adil? Haruskah saya memberikan suara saya secara sukarela dalam referendum untuk mendukung fasilitas penjara yang baru? Konflik semacam ini memerlukan resolusi yang lebih mendalam daripada sekedar memahami kebutuhuan orang lain; perlu juga kemampuan untuk memutuskan diantara hal-hal yang “baik” dan “benar”—baik belum tentu benar. Pemikiran dalam konflik moral lebih kompleks daripada pemikiran dalam kepedulian. Menilai moral memang memerlukan kepedulian, tetapi intelektual lebih diperlukan dalam hal ini.
Meskipun penilaian moral merupakan hal yang kompleks, dalam kehidupan sehari-hari penilaian moral justru terkesan hanya sekedar pendapat sederhana seakan-akan bukan hal yang memerlukan pemikiran secara mendalam—pemikiran yang penuh dengan pertimbangan. Misalnya siswa seringkali ‘menghindar’ dari isu-isu kontroversial seperti isu aborsi dan euthanasia—mematikan seseorang untuk mengurangi rasa sakit ketika dia dalam keadaan sekarat—dengan berkata, “Saya kira hal itu tidak benar. Mengambil nyawa seseorang merupakan moral yang salah. Itu pendapat saya, dan saya berhak untuk berpendapat seperti itu.” Pernyataan tersebut merupakan pendapat penutup. Implikasinya adalah ketika seseorang menyatakan pendapatnya, diskusi selanjutnya menjadi tidak berarti lagi. Orang akan selalu memiliki pendapat yang berbeda, jadi mengapa harus mendesak untuk melakukan pembenaran secara rasional?
Namun demikian, sebagai guru, kita harus tetap menggali atau menyelidiki alasannya. Kita dapat bertanya kepada siswa, “Jika kamu yakin bahwa mengambil nyawa seseorang merupakan hal yang salah, maka akankah kamu membunuh seseorang demi membela dirimu sendiri atau misalnya demi membela negaramu?” Jika siswa menanggapi pertanyaan ini secara jelas, namun dia tetap masih berpegang pada pernyataannya bahwa mengambil nyawa seseorang adalah salah, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapatnya cukup beralasan. Untuk mengklaim apakah suatu tindakan itu benar atau salah secara moral bukanlah karena seseorang menganggapnya benar atau salah pada situasi tertentu melainkan tindakan tersebut harus didasarkan pada standar kebenaran yang diakui umum. Kita tidak dapat menyandarkan suatu isi hanya pada suatu opini atau pendapat. Demikian pula pada isu menganai moral misalnya sepeti pertanyaan menganeai mengambil nyawa seseorang. Orang yang berkata “Saya kira membunuh adalah hal yang salah.” Berpengaruh untuk mengatakan “Kamu juga harus berpikir bahwa membunuh itu salah dan saya akan memberi tahu alasannya.” Penilaian atau pendapat pada suatu moral atau nilai harus beralasan. Dan alasan tidak bisa digunakan hanya untuk kasus tertentu saja, jika mereka menggunakn alasan itu dalam satu kasus, maka mereka harus menerapakannya dalam kasus serupa yang lain. Dengan demikian, menilai moral membutuhkan kemampuan untuk mengevalusi konflik kepentingan karena suatu kriteria atau prinsip yang konsisten.

BERTINDAK (ACTING)
Barangkali hal penting yang perlu disampaikan mengenai tindakan adalah bahwa kita harus melihat tindakan tersebut bukanlah moral atau amoral. Diluar niat dan penilaian seseorang, tidakan tersebut tidak memiliki status moral. Pemisahan plutonium yang dilakukan Slotin misalnya tidak serta merta dianggap sebagai suatu moral. Apa yang membuat suatu tindakan dianggap moral atau bukan adalah dengan melihat kualitas kepedulian (caring) dan penilaian (judging) yang melatarbelakanginya. Memang, apa yang kita lakukan pada saat-saat tertentu terkesan sebagai moral atau amoral yang bebas dari konteksnya. Pembunuhan, misalnya, dihukumi sebagai tindakan yang amoral secara universal. Namun, setidaknya di negara-negara Barat yang demokratis, “pembunuhan” yang dianggap sebagai tindakan amoral adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan adanya maksud yang jahat. Dengan demikian ada pembunuhan yang dianggap sebagai tindakan moral. Pergi ke gereja setiap hari Minggu dianggap sebagai tindakan moral. Namun, kehadiran seseorang di Gereja belum tentu menunjukkan karakter moral dari jemaatnya. Kebiasaan seperti kebersihan, kerapian, atau kejujuran sering dianggap sebagai moral. Namun demikian, kebiasaan-kebiasaan tersebut jika ingin dianggap sebagai moral atau bukan haruslah beralasan. Misalnya, ketika kita bilang bahwa kebersihan merupkan kebiasaan moral, biasanya kita beralasan bahwa kebersihan akan membawa hal-hal lain yang baik seperti kesehatan bagi individu. Dengan kata lain, prilaku-prilaku khusus bisa dikatakan moral atau amoral, tetapi ada hal yang tersembunyi dibaliknya yang memerlukan pertimbangan lebih lanjut yaitu berkaitan dengan motif atau prinsip kehidupan.
Meslkipun kita tahu bahwa tindakan tidak bisa diangap sebagai moral atau bukan dalam tindakan itu semata, sebagai guru kita akan mengalami kesulitan untuk menghindar dari menyatakan bahwa prilaku tertentu “benar” dan prilaku yang lain “salah.” Ketika anak-anak saling pukul, atau menolak untuk menggunakan bahan pelajaran bersama-sama, tampaknya alamiah dan sah saja untuk menganggap hal tersebut sebagai prilaku yang salah dan kita harus menentangnya. Sama halnya, ketika siswa mau bekerja sama dengan teman yang lain, bersedia untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, atau membatu temannya belajar, kita tanpa ragu menyebutnya sebagai prilaku “moral” meskipun motif dan judgment dibalik tindakan siswa tersebut tidak tereksplor atau tergali. Dalam beberapa kasus kita berpatokan pada generalisasi mengenai hubungan antara prilaku diluar dengan proses emosiaonal dan rasional didalam. Ketika Susan memukul Boby kita turut campur untuk menghentikannya. Kita pikir hal itu salah meskipun kita belum menyelidiki penyebabnya. Pada hakikatnya, memukul bukanlah hal yang salah secara moral dalam hakikat memukul itu sendiri. Memukul dapat dilakukan bisa jadi untuk melindungi diri atau untuk menghindari bahaya. Namun berdasarkan pengalaman, ketika anak melakukan pemukulan motifnya adalah karena dia bermaksud jahat dan alasannya karena tidak peduli. Demikian juga, jika beberapa siswa kita melakukan sesuatu secara sukarela– misalnya membacakan cerita untuk para lansia tuna netra – kita cenderung menganggap bahwa hal itu merupakan tindakan yang bermoral. Tentu saja, kita semua tahu, para sukarelawan mungkin saja berniat untuk merampok para lansia tersebut. Intinya adalah kita seringkali menilai suatu tindakan tertentu sebagai tindakan moral dan amoral dilihat dari permukaannya saja.
Selain itu, sebagaimana disarankan oleh psikolog, perlulah kiranya untuk memperkuat prilaku moral yang dasar seperti menunggu giliran, membantu yang membutuhkan, atau berbagi barang, meskipun anak belum memahami justifikasi terhadap prilaku tersebut. Meskipun demikian, pada akhirnya anak-anak harus menghargai alasan dibalik tindakannya jika mereka harus bertanggung jawab secara moral, guru tidak dapat menunggu hingga usia mereka dapat memahami alasan dibalik tindakannya untuk menjalankan aturan-aturan dan kebiasaan didalam kelas. Seperti yang akan kita lihat, seni pendidikan moral mengharuskan guru untuk menganjurkan kebiasaan bekerjasama kepada siswanya, dan pada saat yang sama, mengupayakan mereka untuk memahami alasan mengapa mereka perlu bekerjasama. Siswa harus memiliki kesempatan untuk berlatih dalam kehidupan yang demokratis untuk menemukan justifikasi inetelektualnya sendiri—yaitu penilaian terhadap suatu hal dengan menggunakan daya nalarnya. Meskipun tindakan bukanlah kategori moral dalam tindakan itu semata, tanpa kesempatan untuk bertindak dan melakukan refleksi terhadap tindakan tersebut, perkembangan moral sulit terjadi. Sementara itu, guru harus berhati-hati untuk tidak menyamakan kesesuaian sosial dengan moralitas—artinya apa yang dianggap sebagai suatu hal yang cocok dengan keadaan sosial tertentu belum tentu dianggap sebagai suatu moralitas—seperti yang cenderung dilakukan oleh para pendidik pada abad 19—mereka menganggap apa yang sesuai dengan keadaan sosial sebagai suatu moralitas; pun sebaliknya hal yang tidak sesuai dengan keadaan sosial tertentu dianggap sebagai hal yang amoral. Hal demikian bisa jadi dapat mengganggu bahkan mengandaskan ketentuan atau konvensi yang sangat dibutuhkan untuk terciptanya moral yang otonom—yang tidak dipengaruhi keadaan sosial tertentu. Tujuan pendidikan moral jangan sampai berkurang karena adanya pelatihan dalam konvensi moral tersebut. Meskipun demikian, pelatihan-pelatihan tertentu bisa jadi sangat penting dalam pengembangan moral.

MENDEFINISIKAN DAN MEMILIH MODEL PENDIDIKAN MORAL
“Model” pendidikan moral, dalam konsepsi kami, adalah cara berpikir mengenai proses caring, judging dan acting dalam konteks pendidikan. Suatu model meliputi teori atau sudut pandang mengenai bagaimana manusia berkembang secara moral dan mengenai sejumlah strategi atau prinsip untuk membantu perkembangan moral. Dengan demikian suatu model dapat membantu kita untuk memahami dan melakukan pendidikan moral.
Kami telah memilih enam model pendidikan moral yaitu membangun pemikiran (rationale building), pertimbangan (consideration), klarifikasi nilai (values clarification), analisis nilai (value analysis), perkembangan moral kognitif (cognitive moral development), dan tindakan sosial (sosial action). Kami memilih keenam model tersebut setidaknya karena dua alasan. Pertama, setiap model telah digunakan secara luas, baik dalam satu bentuk atau dalam bentuk yang lain, di sekolah umum. Pendekatan rationale building telah memberikan kekuatan intelektual yang melatarbelakangi beberapa program kurikulum dalam menganalisis isu-isu publik. (Lihat bagian daftar pustaka bab tiga untuk referensi lebih lanjut). Consideration model meliputi tiga hal yang saling berkaitan yang dibangun dalam tema ‘belajar untuk peduli’ (learning to care). Ketiga hal tersebut telah diujikan kepada lebih dari 20 ribu siswa di Inggris Raya dan akhir-akhir ini telah diadaptasi oleh masyarakat Amerika. Values clarification mungkin merupakan model yang paling tersebar luas. Setidaknya ada empat buku mengenai values clarification yang dilengkapi dengan ribuan latihan dan teknik. Ribuan guru telah mengujicobakan setidaknya satu versi dari values clarification. Meskipun tidak sepopuler values clarification, values analysis, cara sistematik untuk menyelesaikan konflik nilai, telah mendapatkan sambutan baik diantara guru-guru ilmu sosial. Model perkembangan kognitif telah membentuk dasar-dasar yang dapat digunakan untuk menilai (scoring) dalam perkembangan moral, mulai dari kurikulum antar cabang ilmu pengetahuan di Tacoma, The Ethical Quest in a Democratic Society,” hingga First Things: Values kurikulum yang diterbitkan oleh Guidance Associates, hingga sekolah “just community” di Cambridge, Massachusetts (baca bab 7 sebagai referensi lebih lanjut). Terakhir, model sosial action merefleksikan teori dan praktek dari program-program pendidikan yang berorientasi pada komunitas yang didedikasikan untuk membangun masyarakat yang madani. Buku ini fokus pada keenam model tersebut karena model-model ini menunjukkan pendekatan-pendekatan utama terhadap pendidikan moral yang akhir-akhir ini dilaksanakan di sekolah-sekolah di Amerika. Selain itu buku ini juga dilengkapi dengan contoh-contoh dari keenam model tersebut.
Enam model tersebut dipilih tidak hanya karena representatif tetapi juga isinya berkualitas. Setiap model memberikan bagian-bagian yang sangat penting dalam pendidikan moral. Meskipun tak ada satu pendekatan pun yang dapat mencakup proses caring, judging, dan acting secara menyeluruh. Keenam model tersebut diharapkan mampu untuk menjadi satu kesatuan sehingga dapat memberi arti yang utuh dan menyeluruh pada proses caring, judging dan acting. Kekuatan kolektif dari keenam model tersebut dapat meletakan suatu fondasi yang kokoh dalam menciptakan program pendidkan moral yang komprehensif.
Berikut kami sampaikan secara singkat setiap model dalam hal fokusnya—cara pandang model tersebut pada caring, judging, dan acting.

Model Rationale Building
Meskipun rationale building yang dikembangkan oleh James Shaver meliputi tiga aspek moralitas, perhatian utamanya adalah dalam hal judging. Shaver lebih tertarik pada moral dalam pembuatan keputusan yang dilakukan oleh guru daripada yang dilakukan oleh siswa. Dia mencoba membantu guru untuk memahami nilai secara umum dan memahami nilai-nilai moral khususnya dalam pengaruh keputusan yang dia ambil mengenai pembelajaran dan managemen kelas. Shaver sangat peka terhadap tekanan dan resiko yang guru hadapai dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan moral dialam kelas. Model yang dikembangkannya memberikan inspirasi dan pendampingan bagi guru yang ingin memulai program pendidikan moral. Rationale building mengajukan beberapa pertanyaan dasar seperti Apa yang dimaksud dengan nilai? Apa yang dimaksud dengan nilai moral? Bagaimana kita menilai suatu masyarakat yang demokratis dikaitkan dengan keputusan yang diambil guru didalam kelas? Bagaimana cara yang bisa dilakukan guru untuk membantu siswa mengembangkan cara-cara yang lebih baik untuk menyikapi isu-isu moral? Sahver sangat memperhatikan semua model pendidikan moral. Sehingga sangatlah tepat jika kita membahas modelnya terlebih dulu.

Consideration Model
Consideration model, diciptakan oleh Peter McPhail dan rekan-rekannya di School Council Moral Education Curriculum di Inggris Raya, menekankan pada pentingnya caring sebaliknya dari judging. Bagian dari kurikulum McPhail berkaitan dengan menimbang dan memutuskan konflik moral tapi fokus utamanaya adalah belajar memahami kebutuhan orang lain daripada menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan. Menurut McPhail, tugas pendidikan moral adalah untuk membangun dasar pertimbangan yang semua orang miliki secara alami dan untuk menunjukkan secara empiris bahwa perbedaan yang ada diantara orang-orang adalah superficial atau hanya permukaannya saja sementara persamaannya profound atau mendalam. Consideration model berasumsi bahwa prilaku moral merupakan self-reinforcing yaitu “merasa senang dan penuh pengharagaan untuk memperlakukan orang lain dengan penuh pertimbangan.” Sementara itu, Shaver dan Kohlberg berpendapat bahwa siswa harus menghadapi konflik intelektual dalam tingkat tertentu untuk mengembangkan potensi moralnya. McPhail menytakan bahwa kesempatan untuk menunjukkan kepekaan dalam diri kita sangatlah penting untuk perkembangan moral. Dengan demikian pendekatan consideration menekankan role playing, sociodrama, dan menulis kreatif sebagi metode untuk mengembangkan kesadaran interpersonal.



Values Clarification
Values Clarification atau klarifikasi nilai lebih melihat pendidikan moral dalam hal mempromosikan kesadaran diri (self-awareness) dan kepedulian diri (self-caring) daripada dalam menyelesaikan permasalahan moral. Pendekatan ini membantu siswa untuk menemukan dan menguji nilai-nilainya untuk mencapai kesadaran diri (sense of self) yang lebih kokoh dan penuh makna. Judging merupakan faktor utama dalam model ini. Namun, judging dalam model ini merupakan judging pada apa yang disukai dan tidak disukai oleh seseorang daripada pada apa yang dipercayai seseorang sebgai sesuatu yang benar atau salah. Values clarification tidak memberikan satus luarbiasa pada nilai moral. Semua nilai termasuk nilai moral dianggap personal dan relatif. Sementara model-model yang lain menyatakan bahwa nilai-nilai tertentu seoerti menghormati martabat seseorang, lebih pantas dan karena itu lebih layak mendapat komitmen kita dibandingkan dengan nilai-nilai sosial yang lain. tidak ada tingkatan standar moral dalam values clarification. Fokusnya adalah membantu siswa untuk tetap berhubungan dengan nilai-nilai yang dia pegang saat ini bukan membantu mereeka melihat nilai-nilainya dengan cara-cara yang baru.

Value Analysis
Values analysis atau analisa nilai membantu siswa mempelajari proses membuat keputusan moral secara bertahap dan sistematis. Fokus utama dalam pendekatan ini adalah judging. Yang teramasuk judging dalam pendekatan ini adalah prosedur untuk menjelaskan perbedaan antara fakta khusus, fakta umum, dan fakta bersyarat; antara kriteria dan prinsip nilai; antara bukti yang relevant dan irelevant; dan antara berbagai tes terhadap kemampuan menerima prinsip-prinsip nilai. Model ini lebih mermanfaat ketika dihadapkan pada isu-isu kebijakan yang kompleks. Model ini membantu siswa untuk fokus pada komponen-komponen yang lebih spesifik dalam proses evaluasi sebelum dia dipenuhi oleh seluruh kompleksitas tersebut. Metodologi analisis nilai membidik pertanyaan-pertanyaan moral yang memerlukan penelitian kebijakan sosial. Oleh karena itu, metode ini akan lebih bermanfaat bagi para pendidik dalam bidang sosial. Meskipun demikian, value analysis tidak banyak bicara dalam hal caring dan acting.

The Cognitive Moral Development Model
Severti value analysis, model ini juga lebih dominan pada penilan moral (moral judgment). Model ini bertujuan membantu siswa untuk dapat berpikir secara jelas dan komprehensif pada kontroversi moral. Tujuan melibatkan individu untuk mempertimbangkan moral secara mendalam, dari sudut pandang perkembanhgan kognitif, bukanlah sekedar mengajarkan keterampilan untuk memproses informasi dan membuat keputusan, namun, tujuannya lebih pada menunjukkan pergerakan melalui “tahapan-tahapan” umum penilaian moral. Seperti yang akan kita ketahui pada bab 7, suatu tahapan merupakan sistem organisai pikiran yang memberikan landasan dan arah pada keputusan moral. Menurut Lawrence Kohlberg, profesor Psikologi dan pendidikan di Universitas Harvard, ada enam tahap perkembangan moral yang orang lalui. Setiap tahapannya memberikan perspektif yang lebih komprehensif terhadap masyarakat dan hubungannya terhadap hak-hak individu. Penelitian yang dilakukan oleh Kohlberg dan kawan-kawannya menyatakan bahwa pergerakan pada tahapan ini dapat tercapai dengan cara melibatkan siswa dalam pembuatan keputusan moral yang menantang. Nilai tertentu dalam memfasilitasi tahapan lebih lanjut diarahkan untuk membentuk tahapan reasoning yang lebih tinggi daripada tahapan yang biasa siswa lakukan. Dalam model perkembangan kognitif, belajar untuk mempertimbangkan dan merespon berbagai pandangan alternatif bukan hanya untuk menunjukkan rasa hormat kepada teman sekelasnya melainkan juga tahapan yang penting untuk mengembangkan pola moral reasoning yang lebih maju. Meskipun caring dan acting juga diperhitungkan dalam model ini, seharusnya sudah cukup jelas bahwa judging merupakan perhatian utama dalam model ini.

The Social Action Model
Model social action dari Fred Newmann mengambil tindakan moral sebagai tantangan tersendiri dalam pendidikan. Model Newmann ini disebut juga pendidikan moral versi Ralph Nader telah menjadikan perubahan tindakan masyarakat sebagai foKus utama kurikulumnya. Social action bertujuan untuk meningkatkan keefektivan siswa dalam menemukan, meneliti, dan memecahkan permasalahan sosial. Seperti halnya Kohlberg, Newmann sangat memperhatikan perkembangan alasan moral siswa. Namun, Newmann lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada ‘kompetensi lingkungan’ yang menyokong tindakan moral. Newmann berpendapat jika siswa tidak diajarkan bagaimana mepraktekan ide-ide moral yang ada dalam pikirannya, refleksi dan diskusi mengenai moral tidak akan pernah berhasil. Seberapa besar ketertarikan yang akan siswa tunjukkan dalam memutuskan bagaimana suatu masyarakat harus berubah jika mereka merasa bahwa diri mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengikuti keputusan yang mereka ambil dalam prakteknya? Belajar untuk memberikan pengaruh pada urusan publik merupakan hal yang kompleks dan program Newmann merupakan program jangka panjang serta program yang melibatkan peran serta berbagai cabang ilmu pengetahuan (interdisciplinary program). Model ini merekomendasikan antara pembelajaran dan keterlibatan masyarakat atau komunitas harus berjalan secara harmonis. Newmann sangat berhati-hati untuk membedakan pendekatannya dengan ‘studi lapangan’ atau praktek sejenisnya dimana siswa mudah goyah dalam komunitas. Model ini memberikan standar pendidikan yang jelas. Selain itu, model ini juga sangat terbuka menyampaikan keterbatasannya.
Secara umum, model ini berbasis pedagogy. Metode disampaikan untuk memobilisasi perasaan, memandu pikiran, dan menopang tindakan. Terdapat pula berbagai teknik yang dirancang untuk membantu siswa mengklarifikasi kepentingan pribadinya, dan juga terdapat berbagai metode yang melengkapi siswa mengatasi masalah-masalah internasional yang kompleks. Kami yakin model ini dapat berlaku adil terhadap kompleksitas pendidikan moral.

2
Konteks Historis Pendidikan Moral

Bangsa Amerika selalu memikirkan tujuan moral pendidikan. Di sepanjang sejarah kita, tujuan moral pendidikan telah melahirkan retorik dan debat terpanas. Kita seringkali tergoda untuk melihat komitmen kita terhadap pendidikan moral sebagai sesuatu yang unik dan baru. Namun, apapun hasilnya, pendidikan moral telah lama menjadi bagian dari kita, dalam bentuk satu ataupun lainnya.
Menurut sejarah, bangsa Amerika telah menghubungkan pemahaman mereka terhadap pendidikan moral dengan kondisi demokrasi. Khususnya di abad delapan belas dan sembilan belas, pendidikan moral dianggap sebagai bagian penting sebuah kebebasan, sebagai pendukung langsung gaya hidup yang demokratis. Meskipun sekarang ini kita cenderung melihat hubungan antara pendidikan dan demokrasi dengan cara yang tidak terlalu langsung, dan lebih halus, pendidikan moral terus dinilai berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
Demokrasi menuntut adanya kapasitas moral tiap individu. Tiap orang dihadapkan pada keharusan untuk memilih berbagai nilai dan gaya hidup yang saling bersaing. Mereka diharapkan untuk bisa memperlakukan orang lain dengan baik tanpa tekanan otoritas eksternal atau adat yang ada. Penilaian yang diberikan tiap individu harus didasarkan pada informasi mengenai minat personal dan kesejahteraan masyarakat. Tidak mengejutkan apabila bangsa Amerika secara tradisional punya anggapan bahwa keberhasilan demokrasi bergantung pada karakter dan akal masyarakat yang baik. Lebih lagi, masyarakat menggunakan sekolah untuk memajukan serta menjamin kompetensi moral generasi berikutnya.
Gagasan mengenai kompetensi moral telah ditafsirkan dengan berbagai cara. Seringkali, kompetensi moral disamakan dengan rasa hormat terhadap institusi dan konvensi. Dalam hal ini, pendidikan moral telah menjadi sesuatu yang konservatif, yang bertujuan menghilangkan resiko kebebasan demokrasi dengan memastikan dilakukannya perilaku yang baik dan prososial. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan dan hampir di sebagian besar abad ke sembilan belas, tujuan utama pendidikan moral adalah untuk membentuk kebiasaan anak supaya sesuai dengan etika kaum Puritan: kesalehan, kesetiaan, kerajinan dan kesederhanaan. Pendidikan moral berfungsi sebagai bentuk sempit hidup bermasyarakat.
Di akhir tahun 1800an, pembentukan kebiasaan masih menjadi fokus pendidikan moral. Namun, kebaikan yang keras dan disiplin ini mulai disaingi oleh sifat-sifat keekspresifan dan kebajikan yang lebih lembut. Pendidikan moral mulai dilihat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan hati dan perasaan. Untuk menjadi bagian dari masyarakat, anak-anak masih harus mengikuti upacara yang ditentukan. Di lain sisi, metode persuasi dirasa lebih lembut. Dibanding harus menggunakan ketakutan anak akan kutukan abadi atau kehancuran finansial, pendekatan pendidikan moral yang “romantis” lebih sesuai dengan perasaan alami anak-anak. Demokrasi harus dipelihara melalui ikatan kasih sayang.
Progresifisme kependidikan, sebuah gerakan pembaharuan yang dimulai sekitar akhir abad ke dua puluh, bergerak melebihi keasyikan romantis dan ketaatan kaum Puritan untuk menciptakan sebuah visi baru pendidikan yang demokratis. John Dewey, seorang filusuf progresif, mengatakan bahwa demokrasi adalah proses yang terus berubah; sekumpulan orang yang terus bergerak membangun dan membangun ulang berbagai nilai dan pemahaman dalam situasi yang terus berubah. Dewey juga menambahkan bahwa moralitas adalah sebuah proses dinamis dari penyelesaian masalah sosial, bukan sekumpulan gagasan atau kebiasaan yang malas dan statis. Dalam sudut pandang progresifisme, pendidikan moral diciptakan demi kepentingan demokrasi. Namun, demokrasi akan terus bertahan bila ada kemampuan individu yang kreatif dan kritis, bukan hanya oleh kerja keras dan sikap yang baik. Meskipun progresifisme mengalami kemunduran yang sangat hebat di tahun 1950an, sebuah gagasan yang lebih baru dan kuat muncul kembali di tahun 1960an. Secara garis besar, memang model yang dipaparkan dalam buku ini menunjukkan penegasan ulang filosofi progresif. Sementara model yang diberikan melampaui perumusan Dewey dalam dukungan psikologis yang lebih baik serta strategi mengajar yang lebih terperinci, kepercayaan progresifnya jelas. Baik dalam aktivitas dan diskusi kelompok ataupun pertimbangan rasional.
Ketika para pencetus konstitusi AS berbicara mengenai pendidikan, jarang sekali mereka tidak menyinggung tujuan moralnya. Tujuan utama sekolah adalah untuk mempersiapkan masyarakat untuk bisa memiliki tanggung jawab akan kebebasan. Persiapan seperti ini memerlukan program yang benar-benar serius dan hati-hati melalui pengajaran agama dan moral, sebab tanpa kesalehan dan kebajikan “tidak pernah ada orang yang terus menjadi terhormat, bahagia, atau bebas untuk waktu yang lama.” Pendidikan demokrasi diarahkan pada perkembangan kejujuran kaum Protestan serta pengetahuan sekuler. Pelatihan moral dan spiritual dianggap sebagai sesuatu yang sangat diperlukan bagi perkembangan demokrasi:
Kenikmatan kemerdekaan bukanlah untuk semua orang di semua jaman. Bagaikan sebuah alat yang bagus yang terlalu lembut bagi pemain yang payah, yang hanya cocok dipakai oleh ahlinya. Untuk membedakan batasan kemerdekaan rasional dan kegilaan yang tidak bermoral diperlukan karakter jiwa dan perasaan yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah lama merenungkan dan menafsirkan hal ini.
Sangatlah penting bagi tiap golongan dan kelas dalam masyarakat menempatkan dirinya dalam pembentukan prinsip-prinsip dan perasaan, dimana pada kedua hal itu terletak kebahagiaan politis dan kehidupan nasional. Pengetahuan dan agama merupakan pendukung pemerintahan republik. Oleh karena itu, cara pendidikan, serta pengajaran moral dan agama, seharusnya melibatkan perhatian kita yang serius dan semangat.
Di tahun-tahun awal masa pemerintahan Republik, peran guru sebagai pendidik moral adalah untuk melatih kemampuannya memimpin siswa dalam budaya kesalehan dan ketaatan. Tanda-tanda ketidak sopanan atau pemberontakan apapun dalam diri siswa dianggap memberikan ancaman terhadap kesatuan bangsa yang masih sangat rawan. Di sekolah-sekolah umum di Boston, sistem umum pertama di AS, tiap pembaca yang ditujukan untuk menguasai ejaan, tata bahasa, dan karangan (misalnya The Boston Primer, Child’s Companion, dan Beauties of the Bible), berusaha memasukkan pemahaman tentang tugas keagamaan dan rasa hormat pada yang berkuasa dalam diri siswa. Dalam Boston Primer di tahun 1808, pengajaran membaca dan moral dikombinasikan dalam beberapa material seperti berikut:

Biarkan anak yang takut akan Tuhan,
Mendengarkan apa yang diceritakan guru mereka
Dengan penuh hormat melakukan nasihat orang tua
Dan dengan gembira menaatinya.


Dalam kejatuhan Adam
Kita semua berenang
Hidupmu akan dibenarkan
Datang kitab Tuhan
Si kucing bermain
Setelah itu bertengkar

Seekor anjing akan menggigit
Pencuri di malam hari
Rajawali terbang tinggi
Jauh dari pandangan
Si bodoh yang malas
Dicambuk di sekolah
Seperti yang terlihat dari tulisan dalam karangan the Primer, Tuhan pernah diajarkan dalam gedung sekolah di awal abad ke sembilan belas. Dan, seperti yang telah ditulis Carl Kaestle, “meskipun Ia dikatakan sebagai non denominasi, tindakannya seperti kaum Puritan.” Pendidikan moral di jaman ini merupakanbentuk pengajaran agama. Masyarakat memikirkan masalah sosial dalam istilah moral, dan “hampir tidak ada seorang pun yang dapat membayangkan bahwa moral dapat terpisah dari Tuhan dan Injil.”
Salah satu cara pelatihan moral, setidaknya di sekolah umum di New York City, adalah katekismus langsung, seperti yang ada dalam perintah persuasif yang diucap ulang oleh guru dan para siswa berikut ini:
G: Kalian harus menaati orang tua kalian.
S: Saya harus menaati orang tua saya. (Para siswa menempatkan tangan kanan mereka, terbuka, di dada mereka) .
G: Kalian harus menaati guru kalian.
S: Saya harus menaati guru saya.

Litani tersebut terus dilanjutkan dengan larangan berbohong, mencuri, dan bersumpah. Kemudian, “dengan lambah dan lembut,”

G: Tuhan selalu melihat kalian.
S: Tuhan selalu melihat saya.
G: Tuhan mendengar semua yang kalian katakan.
S: Tuhan mendengar semua yang saya katakan.
G: Tuhan mengetahui semua yang kalian lakukan.
S: Tuhan mengetahui semua yang saya lakukan.

Mungkin sanksi yang bahkan lebih kuat terhadap perilaku moral diberlakukan juga di sekolah. Anak-anak harus sopan, patuh, tepat waktu, bersih, dan setia dalam kehadiran di kelas. Sebagai teknik penegakkan hukuman, para ketua kelas biasanya di beri tugas keliling sekolah dan mengumumkan nama-nama siswa yang diusir karena tingkah laku yang buruk. Tentu saja, hal ini mengeksploitasi tekanan teman sebaya dengan dendam.
Seberapa efisienpun cara pendidikan tradisional ini terlihat, cara-cara tersebut benar-benar mendapatkan ujian yang keras di akhir abad ke sembilan belas, ketika susunan populasi siswa berubah dengan sangat jelas. Semakin sering guru menghadapi anak yang terlahir di negara lain, atau yang orang tuanya imigran, siswa kelas pekerja yang menghabiskan lebih banyak waktu di pabrik dan rumah petak ketimbang di ladang atau gereja. Masyarakat berkembang menjadi masyarakat yang lebih plural, sekuler, dan mudah berubah pendiriannya. Tidak lagi ada jaminan bahwa nilai-nilai yang dipelajari anak di rumah akan memperkuat nilai yang diajarkan di sekolah. Malahan, orang tua sekarang menjadi bagian dari masalah, sebab banyak dari mereka berasal dari tempat-tempat aneh seperti Italia, Hungaria, dan Rusia yang adat istiadat dan kepercayaannya menentang konvensi Amerika Protestan. Jumlah pemuda imigran kelas pekerja yang semakin meningkat mengingatkan para pendeta dan pendidik. Masa yang berpendidikan rendah ini akan menjadi sasaran empuk bagi doktrin-doktrin sosialisme dan anarkisme. Ketakutan akan kehancuran sosial dan politik, yang memunculkan kembali ketakutan pengikut republik awal akan kelangsungan negara, hanya dapat dihilangkan melalui sekolah. Sekolah bertindak sebagai perlindungan terakhir dari kejahatan, revolusi dan degerasi. Hanya dengan menempatkan anak-anak lokal dan pendatang dengan aman di kelas lah, kemakmuran dan kebebasan akan terus bisa dirasakan.
Pendidikan moral di akhir abad sembilan belas menjadi sebuah usaha untuk “menyelamatkan” anak-anak imigran dan kelas pekerja dari pengaruh latar belakang keluarga mereka. Pendidikan moral merupakan pencampuran budaya Amerika di bagian pendidikan. Misi sekolah adalah untuk memajukan dan “meng-Amerika-kan” para pendatang asing. Sebuah badan pendidikan negara mengatakan:
Bahaya yang mengincar peradaban bukanlah berasal dari luar, tapi dari dalam. Masa yang heterogen harus dijadikan homogen. Mereka yang mewarisi tradisi bangsa lain; mereka yang dididik dalam berbagai macam pengaruh dan memiliki ide-ide asing; mereka yang didukung oleh inspirasi nasional, bukan inspirasi bangsa Amerika, harus disatukan dan di-Amerika-kan. Lembaga utama yang akan mendukung tujuan ini adalah sekolah umum dan pendidikan populer. Tidak ada lembaga lain yang lebih baik.
Pendidikan moral akhirnya ditafsirkan sebagai bentuk masyarakat yang sempit dan tidak mencerminkan wujud aslinya. Para siswa akan dimasukkan ke dalam kehidupan nyata dan diproses dengan satu arahan tunggal. Namun, kebajikan tradisional tentang kesalehan dan ketaatan tetap berubah menjadi sekuler secara bentuk, terus diberikan pada generasi siswa yang baru.
Meskipun merupakan kekuatan yang besar dalam siklus pendidikan, perspektif pendidikan moral yang seperti ini bukanlah tanpa tantangan. Di akhir abad, sekelompok ahli pendidikan, dibekali dengan teori-teori baru tentang perkembangan anak, mulai menganjurkan agar harapan demokrasi bukanlah terletak pada indoktrinasi tapi pada kasih sayang. Guru perlu memperlihatkan perhatiannya pada beberapa kebutuhan anak, terutama kebutuhan yang berhubungan dengan ekspresi diri dan aktivitas emosional. Perawatan dan kasih yang lembut akan menjamin terciptanya kebiasaan hidup yang baik.
Hak-hak Anak Kate Wiggin (Kate Wiggin’s Children’s Rights) yang diterbitkan di tahun 1892, merupakan pernyataan yang sangat terkenal mengenai harapan pembentukan karakter moral tanpa memisahkan anak dari kebahagiaan masa kanak-kanaknya. Wiggin mengingatkan para guru dan orang tua agar anak tidak dipaksa untuk menjadi “terlalu baik,” melawan sifat alami mereka. Perkembangan intelektual dan moral dapat membatasi pertumbuhan karakter. Wiggin menekankan pentingnya mengajar dengan memberikan contoh ketimabang dengan latihan atau ceramah. Dia mengatakan bahwa sebagian besar anak “memiliki pemahaman yang jelas tentang benar dan salah, dan mereka hanya perlu bimbingan yang lembut untuk memilih yang benar ketika mereka dihadapkan pada pilihan.” Mereka memiliki "indera alami untuk mendeteksi manayang benar dan salah” dan akan memilih yang benar apabila pilihan ini dbuat menarik dan mudah dipahami. Tugas yang perlu dilakukan adalah “menciptakan kondisi pertumbuhan mental dan membiarkan anak bertumbuh.” Bagi Wiggin serta banyak pendidik sekarang yang lebih optimis, semua anak pada dasarnya baik. Pendidikan moral lebih sebagai pengasuhan ketimbang perintah.
Tidak diragukan lagi ahli pendidikan anak yang paling berpengaruh pada masa itu adalah G. Stanley Hall. Pada tahun 1890an Hall, yang berhasil memperoleh gelar doktor psikologi pertama dari Harvard, serta menjadi presiden pertama Universitas Clark, menjadi sangat terkenal sebagai tokoh penting dalam dunia psikologi dan pendidikan Amerika. Sama halnya dengan Wiggin, Hall sangat yakin akan potensi alami anak-anak. Menurut Hall, hal terbaik yang bisa dilakukan guru dalam pembentukan karakter moral anak adalah dengan tidak mengganggu pertumbuhan anak tersebut:
Para penjaga anak harus berusaha untuk tidak menghalangi pertumbuhan alami, mencegah terjadinya gangguan, dan harus pantas diberi gelar pelindung kebahagiaan dan hak-hak anak. Mereka harus benar-benar merasa bahwa masa kanak-kanak tidaklah buruk, namun menggambarkan makhluk paling sempurna di bumi; mereka harus yakin bahwa tidak ada yang layak mendapatkan cinta, penghormatan, dan pelayanan, selain tubuh dan jiwa anak yang sedang tumbuh.
Dalam pemahaman Hall, naturalisme pendidikan merupakan sebuah doktrin yang tidak intelektual, atau anti intelektual. Tekanan emosional dinaikkan melebihi penilaian kritis. Pelatihan akademik dijadikan dasar bagi “kesehatan, pertumbuhan, dan keturunan, satu pon yang bernilai satu ton instruksi.” Pendekatan pendidikan moral yang dimiliki Hall dirancang untuk menciptakan masyarakat yang senang dan penuh semangat, namun tidak perlu terlalu bebas dan bertanggung jawab. Seberapa bebas pun retorisnya yang berpusat pada anak, faktanya, Hall adalah seorang elitist dan reaksioner. Hall sangat yakin bahwa hanya orang yang benar-benar berbakat secara genetis lah yang dapat memperoleh keuntungan dari pendidikan intelektual. Ia juga sangat yakin bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk melatih orang tua yang baik, pekerja yang efisien, dan warga negara yang setia. Seperti sebagian besar warga Amerika, Hall percaya bahwa pendidikan merupakan fondasi demokrasi. Akan tetapi, visinya tentang demokrasi sangat rasis dan kekanak-kanakan. Meskipun tidak semua pendekatan romantis terhadap pendidikan moral mengagungkan idealisme muda dalam cakupan yang sudah dilakukan Hall, sebagai juara gerakan ini Hall sangat sulit disingkirkan sebagai orang dengan tingkah yang aneh. Aplikasi naturalisme yang dilakukannya dalam dunia pendidikan menarik banyak perhatian pembaca.
Oleh sebab itu, tujuan pendekatan naturalistik pendidikan moral menjadi sama konservatifnya dengan meode pelatihan karakter yang berasal dari tradisi kaum Puritan. Kedua pendekatan ini dimaksudkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya faham Protestanisme yang disekulerkan. Tidak peduli apakah nantinya akan dibuang ke dalam pencampuran budaya atau dihangatkan dalam sentimen kelas menengah, hasil akhirnya akan sama: anak akan disesuaikan dengan konvensi. Pendidikan moral hanya sebagai instrumen untuk membawa siswa ke dalam perintah yang sudah ditetapkan.
Meskipun muncul dalam gambaran kependidikan tahun 1890an, gerakan ini merupakan gerakan pembaharuan yang dikenal sebagai progresifisme. Progresifisme memiliki banyak bentuk, namun pengaruhnya yang paling terasa dalam pendidikan moral adalah dalam bidang ideologi. Dalam karya filusuf John Dewey, gagasan progresif pendidikan moral muncul sebagai saingan kuat kaum Puritan dan pendekatan romantis.
Dewey memimpikan sebuah masyarakat yang beraneka ragam yang dipersatukan oleh satu komitmen yang sama terhadap penggunaan inteligensi sebagai solusi permasalahan manusia. Pendidikan akan membantu menciptakan kohesi sosial, bukan dengan melatih anak dalam aturan moral tertentu atau dengan memperlihatkan contoh-contoh perilaku yang “baik”, namun dengan mengembangkan kekuatan intelektual. Menurut Dewey, pendidikan moral berpusat pada pemikiran reflektif, bukan pada pelatihan karakter atau perasaan. Pendidikan akademis, atau intelektual, pada gilirannya justru akan menjadi pendidikan moral, dalam artian, ketika dilakukan dengan tepat, akan membahas permasalahan pribadi yang langsung dan signifikansi sosial bagi siswa. Pendidikan moral dan intelektual pada dasarnya merupakan dua sisi mata uang sebab keduanya bertujuan mempromosikan penggunaan alasan, atau metode ilmiah, dalam berbagai masalah manusia:
Pemahaman kami tentang etika pendidikan sudah menjadi terlalu sempit, terlalu formal, serta terlalu ekstrem. Kami telah mengasosiasikan istilah etis dengan undang-undang khusus tertentu yang berlabel kebajikan dan terpisah dari kumpulan undang-undang lain, serta masih lebih dari gambaran dan motivasi kebiasaan pada agen yang melakukannya. Oleh karena itu, pengajaran moral diasosiasikan dengan pengajaran kebajikan-kebajikan tertentu ini. Etika telah dipahami sebagai sesuatu yang terlalu sok suci. Tetapi bukan gagasan dan motif etika seperti ini yang membuat orang tetap mengenali dan melakukan kewajiban moral mereka. Pengajaran seperti ini sifatnya eksternal: tidak menjangkau kedalaman pembentukan karakter. Motif dan tekanan moral terbesar tidak lebih atau kurang dari inteligensi sosial – kemampuan mengamati dan memahami lembaga sosial – dan kekuatan sosial – kemampuan untuk mengontrol – di dunia kerja dengan dukungan ketertarikan dan tujuan sosial. Tidak ada fakta yang menjelaskan konstitusi masyarakat, tidak ada kemampuan yang pelatihannya dapat meningkatkan kekreatifitasan sosial yang tidak etis.
Penelitian pendidikan moral yang dilakukan Dewey tidak terbatas pada analisa instruksi kelas. Sebab Dewey sadar bahwa dalam banyak kasus “kurikulum yang tersembunyi,” tujuan dan pesan pendidikan yang tidak tersampaikan justru memiliki pengaruh yang lebih besar pada perkembangan moral anak dibanding dengan kurikulum yang formal. Menurut Dewey, anak belajar tentang nilai-nilai moral dari kualitas semua pengalaman sosial mereka. Misalnya, mereka belajar tentang cara kerja demokrasi dengan cara melihat dan ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi. Jika sekolah tidak memberikan pengalaman tentang demokrasi, tidak akan ada pendidikan akademik formal yang pernah bisa mengkomunikasikan arti demokrasi itu sendiri. Di sekolah-sekolah tradisional, prinsip-prinsip etika demokrasi disampaikan sebagai hal abstrak yang jauh dari kenyataan, sama seperti bagaimana mata pelajaran disampaikan layaknya pil pahit yang harus ditelan. Dewey mengatakan bahwa kompetensi intelektual dan etis hanya dapat diperoleh dengan melihat pada pengalaman aktual dan nyata seseorang. Bahkan ketika guru memperkenalkan konsep-konsep seperti demokrasi, keadilan, hormat pada sesama, dan hak asasi manusia, apabila kelas dan struktur sekolah masih terus menggunakan model hubungan sosial otoriter, maka tidak akan ada pembelajaran yang efektif. Hal yang berkenaan dengan menghubungkan abstraksi dengan pengalaman diri anak inilah apa yang Dewey sebut sebagai “berpusat pada anak (child centrered). Anak-anak perlu mengalami sendiri teladan moral yang ingin mereka kuasai secara intelektual.
Dasar praktis pendidikan moral dalam kerangka Dewey adalah aktivitas kerjasama kelompok. Bekerja dengan anak lain menangani masalah yang nyata, dalam bidang apapun – seni, sains, politik, mekanik – membantu siswa memahami cara pandang orang lain dan nilai saling memberi dan bekerja sama. Moralitas tidak dapat diajarkan melalui contoh atau kata-kata dari guru semata. Siswa perlu saling berinteraksi satu sama lain mengerjakan suatu proyek yang benar-benar penting dan nyata bagi mereka:
Dilihat dari sisi etika, kelemahan sekolah yang ada saat ini adalah bahwa ia berusaha keras mempersiapkan anggota masyarakat masa depan berada dalam sebuah medium yang kondisi semangat sosialnya sangat kurang...
Suatu medium dimana kegiatan di sekolah hanya terdiri dari mempelajari mata pelajaran, saling membantu, bukannya menjadi bentuk paling alami dari kerjasama dan asosiasi. Ketika kegiatan dilakukan dengan aktif, semua ini akan berubah. Membantu sesama hanyalah sebuah alat bantu untuk melepaskan kekuasaan dan memperhanjang kehidupan orang yang ditolong, bukanlah menjadi sebuah bentuk amal yang akan membuat penerimanya menjadi miskin. Sebuah semangat akan komunikasi yang bebas, pertukaran ide, saran, hasil, baik sukses ataupun kegagalan pengalaman sebelumnya, semuanya ini menjadi catatan yang mendominasi hafalan... jika cara pandang ini akn membawa kita pada perkembangan semangat kerjasama dan komunitas kehidupan sosial, semua ilmu harus dikembangkan dan dikaitkan dengan ini... Cerita bahwa kita belajar dari pengalaman, dan dari buku atau perkataan orang lain yang hanya terkait dengan pengalaman, bukanlah ucapan belaka.... (Sebuah semangat sosial) hanya datang dengan ikut mengambil bagian dalam aktivitas yang membangun.
Pengaruh gagasan pendidikan moral Dewey paling terlihat dalam periode antara dua perang dunia. Di banyak sekolah-sekolah menengah, diskusi terbuka tentang masalah sosial yang kontroversial, dengan film dan majalah kontemporer sebagai perangsang menjadi hal yang biasa. Berbagai proyek yang melibatkan masyarakat pun dilakukan. Guru dan siswa cenderung menjadi lebih aktif dan memiliki hubungan yang tidak terlalu formal. Tekanan eksplorasi kelompok terhadap masalah sosial yang sedang terjadi membangkitkan inovasi-inovasi arsitektural seperti laboratorium, toko, perabot dan partisi yang mudah dipindah, ruang pertemuan, dan dapur. Di malam Perang Dunia kedua, teori dinamik pendidikan moral Dewey terlihat jauh lebih berpengaruh dibanding teori-teori lainnya.
Namun, di pertengahan tahun 1950an, gerakan pendidikan progresif mati. Sebab progresifisme telah menjadi, dalam istilah Lawrence Cremin, “sebuah mistik pedagogis yang kompleks, benar-benar dikuasai oleh para pendahulunya tapi hampir tidak dipahami oleh orang-orang yang membuat kebijakan kependidikan.” Gagasan Dewey untuk menghubungkan kehidupan di kelas dengan dunia masyarakat yang real disalah artikan dengan menyesuaikan anak dengan kondisi terkini. Komitmen Dewey pada perkembangan inteligensi yang kreatif dilupakan. Para pendidik justru asyik dengan aktivitas kelompok sebagai hasil akhirnya. Sementara Dewey melihat aktivitas kelompok sebagai batu loncatan untuk refleksi kritis, banyak guru mengangkat aktivitas tersebut sebagai tujuan pendidikan. Di tahun 1950an, sekolah-sekolah progresif dipermalukan dan dianggap sebagai “pembuang waktu,” “gurun pendidikan,” dan “rumah bermain”; dan judul-judul seperti “Lolipop vs Pembelajaran,” dan “Penghianatan Buku Teks” semakin sering muncul dalam berbagai jurnal kontemporer.
Tahun 1950an merupakan tahun yang tidak ramah bagi pendidikan moral, atau bagi bentuk pembelajaran apapun yang mirip dengan progresifisme. Negara sedang asyik dengan memperbesar kejayaan ekonomi dan militernya. Pendidikan moral menjadi tidak penting dibanding pendidikan teknik dan akademik. Terutama setelah suksesnya peluncuran satelit Rusia Sputnik I, tuntutan akan pendidikan dengan kualitas tinggi di bidang matematika, sains, dan bahasa asing menjadi sangat tinggi. Jika AS ingin bersaing secara efektif dengan Uni Soviet baik dalam ekonomi maupun militer, sekolah harus mengurangi waktu untuk bidan-bidang “lembut” seperti pendidikan moral dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bidan akademik. Demokrasi tampaknya lebih bergantung pada besarnya produksi kotor nasional dan banyaknya senjata nuklir dibanding pada otonomi moral individu.
Akan tetapi, di akhir tahun 1960an, perkembangan pendidikan intelektual dan teknik mencapai jalan buntu, dan kebutuhan akan pendidikan moral sekali lagi muncul dengan sendirinya. Protes atas perang Vietnam, tuntutan hak-hak sipil, kerusuhan di berbagai kota, dan penutupan kampus meneriakan hinaan pada penguasaan ilmu-ilmu tradisional. Kedilan sosial, baik di sekolah ataupun dalam masyarakat, tampak jauh lebih berarti dibanding kecanggihan teknologi. Para pengkritik terus mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi Amerika mengingkari kebangkrutan moralnya yang sangat besar. Kemiskinan, rasisme, imperialisme, dan seksisme tidal lagi bisa disimpan dengan rapi di bawah karpet ruang kelas. Malahan, sekolah bukan hanya menjadi bagian dari solusi, tapi juga masalah. Pendidikan Amerika didakwa telah mendoktrin anak-anak dengan “takut akan gagal” dan “mimpi buruk kekalahan.” Sekolah-sekolah dituduh lebih menghargai kompetisi dibanding kerjasama, serta sikap tunduk ketimbang kemerdekaan. Mereka digambarkan sebagai lembaga tahanan yang efisien, sama seperti rumah sakit jiwa dan penjara, dimana anak-anak belajar terbiasa dengan urusan mesin dan ritual-ritual yang menurunkan martabat masyarakat. Sistem pendidikan tampak seperti sebuah mesin penyortir besar yang memisahkan hak-hak istimewa dari keadaan yang merugikan dan mempertahankan golongan kelas masyarakat kapitalis yang tidak adil.
Pendidikan moral sekarang menjadi terikat dengan gerakan keadilan sosial. Jerome Bruner, seorang psikolog pendidikan terkemuka, mengatakan bahwa keadilan dianggap sebagai kondisi dan akhir dari pendidikan:
Pada akhirnya, kita harus mengerti bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral ataupun khusus. Adalah permasalahan politik dimana kita menjamin sebuah masa depan bagi seseorang dan seringkali dalam proses penjaminan tadi kita menyingkirkan orang lain. Seandainya saya bisa memilih, dalam hal proyek kurikulum untuk tahun 1970an, pasti saya akan memilih untuk menemukan sebuah cara dimana kita dapat mengembalikan masyarakat pada kepekaannya terhadap nilai-nilai dan prioritas hidup. Saya yakin saya akan sangat puas untuk menyatakan, kalau bukan penundaan, maka sesuatu yang berhubungan dengan struktur sejarah, struktur fisika, sifat alami konsistensi matematika, dan menanganinya dalam konteks masalah yang kita hadapi. Mungkin lebih baik bagi kita untuk memikirkan bagaimana masalah-masalah tersebut dapat diatasi, tidak hanya melalui tindakan praktik, tapi juga dengan menggunakan pengetahuan dalam tugas yang sangat besar ini, dimanapun kita temukan. Mungkin kita akan memasukkan kembali pekerjaan dan tujuan ke dalam proses pendidikan dengan jauh lebih kuat dibanding sebelumnya.
Permohonan Bruner untuk mengembalikan pendidikan kepada arti sosial dan moralnya terhalang perbedaan pendapat politik dan alienasi budaya. Menjadikan cita-cita keadilan sebagai perhatian siswa tampaknya merupakan prioritas pendidikan yang harus segera diwujudkan. Oleh karena itu, bukanlah sekedar kebetulan sejarah apabila masing-masing model pendidikan moral dalam buku ini terlahir pada periode ini, akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an. Model yang diberikan adalah tentang membantu siswa menyingkap kekompleksan moral dalam gaya hidup demokrasi, tidak hanya muncul dalam ruang kongres tapi juga dalam aturan dan peran sekolah. Tidak seperti pendekatan abad sembilan belas, model-model ini tidak berniat untuk menghilangkan resiko demokrasi, tapi untuk membuat resiko-resiko tersebut lebih dapat dimengerti. Seperti gagasan progresif, model-model ini menekankan hubungan timbal balik antara teori dan praktik keadilan. Para siswa harus mempunyai pengalaman aktual dalam pembuatan keputusan moral untuk bisa memahami arti prinsip-prinsip moral. Berbeda dengan kepercayaan tradisional akan kekuatan pendidikan moral untuk melindungi atau menyempurnakan demokrasi, model ini berhati-hati dalam penilaian pengaruh program mereka. Pendidikan moral tidak digambarkan sebagai keselamatan bagi jaman kita. Pendidikan ini muncul lebih sebagai cara penanganan masalah dengan lebih efektif dibanding sebagai cara keluar dari permasalahan demokrasi.
Pendidik Amerika selalu menjadi pendidik moral. Baik dari kaum Puritan yang keras ataupun romantik yang sangat sabar, anak-anak secara tradisional memperoleh pendidikan moral. Hal baru tentang perspektif pendidikan moral saat ini bukanlah perhatian eksplisitnya terhadap moralitas, tapi kesadaran akan adanya kompleksitas moral. Dalam tradisi John Dewey, model yang disampaikan di sini menegaskan pentingnya pengalaman jangka panjang dan refleksi sistematis semangat sosial dan imajinasi moral cara berpikir serta perhatian yang kreatif. Apabila pendidikan moral tampak lebih kompleks dan menantang di tahun 1980an dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini bukanlah karena moralitas menjadi lebih penting. Hal ini dikarenakan kita tidak lagi dapat memperlakukan moralitas dengan sudut pandang satu dimensi. Dengan semakin kompleksnya hak dan kewajiban hidup berdemokrasi, begitu juga seharusnya usaha kita dalam pendidikan moral.







3
MODEL PEMBENTUKAN RASIONAL

Model bangungan rasional James Shaver berbicara tentang guru yang berperan lebih sebagai filusuf ketimbang sebagai ahli strategi. Shaver bertujuan untuk membantu para guru membangun sebuah rasional eksplisit untuk mengajarkan isu-isu bermuatan nilai dan norma. Tujuan dasarnya adalah untuk menajamkan pemahaman guru akan dasar moral pengajaran; ia hanya secara tidak langsung berbicara tentang pengembangan teknik dan kurikulum mengajar.
Model Shaver mengusulkan cara berpikir tentang norma dan pendidikan moral; model tersebut tidak berbicara tentang metode. Meskipun demikian, pendekatannya berisi implikasi pedagogis. Metodologi yang langsung terkait dengan kerangka konsep Shaver adalah “model juriprudential” untuk pengajaran isu-isu publik, sebuah model yang Shaver ikut terlibat dalam pembuatan dan pengumumannya ke publik di awal tahun 1960an. Model ini memberikan fokus eksklusif pada pendidikan sosial. Perhatian Shaver saat ini adalah untuk memperluas skema jurisprudential yang asli serta memperluas jangkauan kekuatannya sampai ke area pendidikan lain yang terkait dengan nilai dan norma.
Shaver umumnya melihat pendidikan moral dari sudut pandang masyarakat yang demokratis dan plural. Seperti model perkembangan moral kognitif dan analisa nilai, pendekatan bangunan rasional menekankan pada peran refleksi kritis, pada diri guru dan murid, dalam pendidikan moral. Namun, sementara Kohlberg fokus pada mengembangkan struktur umum cara berpikir moral siswa, Shaver memberikan fokus pada kebutuhan untuk mengajarkan keterampilan analisa spesifik yang dianggapnya penting bagi kewarganegaraan demokratis. Dan sementara analisa nilai berkonsentrasi pada menjelaskan dan memberikan contoh tentang hirarki keterampilan itu, Shaver memberikan perhatian lebih pada eksplorasi tradisi demokrasi yang dari padanya keterampilan tadi diperoleh. Tujuan utama Shaver adalah menempatkan pendidikan moral dalam konteks sosial yang lebih luas.

TEORI
Dalam ukuran besar, kerangka teoritis model yang dimiliki Shaver adalah model itu sendiri. Seperti yang dikembangkan dalam buku Menghadapi Keputusan Nilai: Membangun Rasional untuk Guru (Facing Value Decisions: Rationale-building for Teachers), yang ditulis oleh Shaver bersama William Strong, dasar teorinya terdiri dari tiga bagian: (1) definisi nilai, (2) sifat alami demokrasi, dan (3) sebuah analisis pendidikan moral dalam masyarakat demokratis.

Definisi Nilai
Dalam istilah yang dibuat Shaver, nilai adalah “standar dan prinsip untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu. Mereka adalah kriteria yang kita gunakan untuk menilai apakah suatu benda ‘benda’ (orang, objek, ide, tindakan, dan situasi) bagus, berguna, diinginkan; atau sebaliknya, jelek, tidak berguna, tidak diinginkan; atau tentu saja, berada di antara dua nilai tadi. Kita dapat dengan sadar menggunakan nilai yang kita miliki. Atau nilai tersebut bisa saja berfungsi di luar kesadaran kita, sebagai bagian dari pengaruh kerangka referensi kita, tanpa kita saar akan standar yang diindikasikan oleh keputusan kita.”
Definisi ini mengandung tiga elemen utama. Elemen pertama adalah bahwa nilai adalah suatu konsep, bukan perasaan. Shaver menekankan bahwa meskipun nilai menunjukkan dan mengekspresikan perasaan, nilai-nilai tersebut lebih dari sekedar perasaan. Nilai adalah standar penilaian dengan isi yang rasional. Karena adanya isi rasional inilah, suatu nilai dapat didefinisikan, dianalisa, dan dibandingkan dengan nilai lain. Misalnya, rasa tanggung jawab merupakan sebuah nilai yang sering kita gunakan untuk menilai tindakan diri kita sendiri dan orang lain. Gagasan tentang rasa tanggung jawab secara otomatis membangkitkan reaksi emosi positif. Kita mungkin dapat mengalami emosi negatif ketika berurusan dengan orang atau tindakan yang menurut kita tidak bertanggung jawab. Namun, nilai rasa tanggung jawab bukanlah sekedar perasaan samar-samar tentang setuju atau tidak setuju. Konsep ini adalah konsep yang memiliki kriteria untuk menilai suatu perilaku sebagai perilaku yang bertanggung jawab, tidak bertanggung jawab, atau berada di tengah-tengah. Oleh karena itu, nilai memiliki pengaruh, namun struktur yang menggambarkannya bersifat kognitif.
Elemen utama yang kedua dalam definisi adalah bahwa nilai berada di dalam pikiran, terbebas dari kesadaran diri atau afirmasi publik. Menurut teori Shaver, sebuah nilai tidak harus diumumkan secara eksplisit atau digunakan dalam suatu praktek untuk bisa disebut nilai. Sebuah nilai mungkin saja tidak diucapkan. Shaver berusaha membedakan definisi nilai yang ia buat dari apa yang dijelaskan dalam skema klarifikasi nilai (lihat bab 5). Sementara klarifikasi nilai diketahui sebagai nilai, hanya ini yang dipilih secara rasional dan dilakukan berulang-ulang. Shaver mengatakan bahwa nilai-nilai tertentu beroperasi di bawah permukaan pilihan rasional dan tindakan yang jelas. Misalnya, seorang laki-laki bisa menghargai kerja keras meskipun dia tidak pernah secara eksplisit memilih untuk bekerja keras atau secara terbuka memberikan komitmenya untuk itu. Mungkin dia selalu bekerja keras di luar kebutuhan ekonomi. Di waktu yang sama, dia bisa saja memberikan penilaian tentang seberapa keras orang lain bekerja. Bahkan ketika orang tersebut tidak pernah terang-terangan mengatakan bahwa kerja keras sangatlah penting baginya, Shaver akan mengatakan bahwa kerja tersebut sangat berarti bagi orang tersebut. Nilai sering kali muncul dari satu bagian kerangka penilaian kita tanpa pengetahuan sadar kita atau tanpa kita sengaja memilih.
Elemen ketiga dalam definisi Shaver adalah bahwa nilai merupakan sesuatu yang lebih bersifat dimensional ketimbang kategori mutlak. Nilai merupakan kriteria untuk menilai tingkat kebaikan dan keburukan, benar dan salah, atau pujian dan cacian; bukan sekedar ada atau tidaknya berbagai karakteristik ini. Kita ambil contoh kerja keras dan tanggung jawab. Tentunya ini bukanlah kategori yang mutlak. Kita jarang menganggap seseorang sepenuhnya bertanggung jawab atau sepenuhnya malas. Perilaku orang merupakan satu kesatuan antara bertanggung jawab – tidak bertanggung jawab atau pekerja keras – malas. Nilai merupakan acuan untuk menilau suatu objek atau perilaku di sepanjang nilai kesatuan tadi.
Shaver memberikan garis pembeda antara nilai dan penilaian nilai. Penilaian nilai adalah pernyataan yang kita buat berdasarkan nilai-nilai kita. Nilai merupakan dasarnya, bukan kesimpulan. Menurut Shaver, seorang guru yang berkata, “Nak, kamu seharusnya datang ke kelas tepat waktu,” dia sedang membuat penilaian nilai. Nilai, atau kriteria, yang mendukung penilaian yang dibuat bisa jadi adalah nilai ketepatan waktu, atau aturan kelas, atau rasa menghargai otoritas lembaga. Dalam semua kasus, nilai adalah gagasan yang mendasari penilaian nilai, bukan penilaian sendiri.
Jika kita ingin bertindak secara konsisten, menurut Shaver, kita harus berusaha membuat hubungan eksplisit antara penilaian nilai dan nilai kita. Penilaian nilai tidak bisa berdiri sendiri; untuk menentukan kelayakan dan ketepatannya kita harus melihat nilai yang mendasarinya. Oleh karena itu, sebuah nilai tidak perlu dipahami secara sadar sebagai suatu nilai, tapi usaha untuk memperlihatkan nilai kita tersebut sangatlah bernilai. Sebab jauh lebih mudah untuk bertindak berdasarkan nilai seseorang ketika orang tersebut tahu nilai apa itu. Misalnya, seorang guru yang benar-benar sadar bahwa ia menghargai kebebasan pendapat, tentunya akan lebih banyak melakukan usaha untuk mendapatkan respon asli dari siswa dibanding apabila nilai tersebut tidak dia sadari. Ketika menekankan pentingnya menyadari nilai-nilai seseorang dan bertindak berdasarkan nilai tersebut secara konsisten, Shaver menemukan sebuah persamaan dengan para pencipta klarifikasi nilai, yang membuat kesadaran terhadap nilai sebagai bagian utama model mereka.
Namun, berbeda dengan klarifikasi nilai, model yang diciptakan Shaver mengajak kita melihat nilai tidak hanya dalam hubungannya dengan penilaian atau tindakan tertentu, tapi dalam hubungannya dengan nilai lain. Nilai perlu dipahami sebagai bagian-bagian sebuah jaringan nilai yang saling berhubungan, ketimbang sebagai unit yang berdiri sendiri. Karena nilai-nilai kita saling terhubung satu sama lain, satu nilai sering kali mengganggu nilai lainnya. Misalnya, kita sama-sama menghargai nilai kebebasan dan persamaan. Nilai kebebasan mendorong kita untuk memaksimalkan kebebasan individu dan ekspresi diri. Nilai persamaan membuat kita menjamin bahwa tiap individu memiliki hak yang sama atas sarana dan prasarana umum. Namun, dalam pemenuhan nilai persamaan, kita sering kompromi dengan nilai kebebasan. Katakanlah kita mungkin percaya bahwa orang kaya seharusnya membayar lebih banyak pajak dari orang miskin, bahkan ketika orang kaya tersebut menegaskan ini berarti memberikan batasan terhadap kebebasan ekonomi mereka. Atau mungkin kita percaya bahwa kelompok minoritas seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa dalam hal penerimaan kerja, sehingga mereka akan memiliki kesempatan yang sama untuk bisa sukses, meskipun hal ini mungkin akan membatasi kebebasan kelompok mayoritas. Intinya adalah bukan masalah seberapa besar kita menghargai nilai kebebasan atau persamaan, tapi seberapa mampu kita menyeimbangkannya ketika dua nilai tersebut saling bergesekan dalam situasi nyata. Shaver berpendapat bahwa menyadari nilai-nilai kita saja tidaklah cukup. Kita harus melihat bagaimana nilai-nilai kita saling mempengaruhi.
Shaver mengatakan bahwa kita seringkali tergoda untuk memisahkan satu nilai dari nilai lainnya. Misalnya, dalam dunia bisnis kita seringkali beranggapan bahwa orang yang gagal tidak bisa menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Tapi di gereja, kita semua percaya bahwa kita harus membantu mereka yang kurang beruntung. Thomas Green, seorang filusuf pendidikan, memberikan pernyataan dukungan atas pendapat Shaver:
Mungkin saja meyakini beberapa hal yang berlawanan merupakan sesuatu yang penting secara psikologis, sebab kita cenderung mengurutkan kepercayaan kita apa adanya dalam kelas-kelas kecil, dengan perisai yang mencegah fertilisasi silang atau konfrontasi apapun di antara mereka. Oleh karena itu, siapapun boleh memuji nilai kompetisi sebagai sebuah artikel kepercayaan dan dukungan ekonomis, pada waktu bersamaan,kebutuhan akan kerjasama sebagai permintaan fundamental etika sosial. Dengan cara ini, kita dapat terus menerus berpegang pada kepercayaan inti yang secara logis sebenarnya tidak cocok. Ini benar-benar tidak mungkin, selama kita tidak pernah mengijinkan kelas kepercayaan ekonomi mempengaruhi pendirian etis kita atau mengijinkan kepercayaan etis kita menyentuh pikiran ekonomis. Perisai perlindungan yang kita gunakan untuk menjamin pemisahan kepercayaan biasanya tersamarkan sebagai kepercayaan itu sendiri. Kita mengatakan “Etika tidak ada hubungannya dengan urusan bisnis,” atau “Agama tidak boleh ikut campur dalam politik.” Seorang siswa misalnya, bisa saja memiliki iman yang menghalangi kenginan untuk melakukan penyelidikan. Namun, dia bisa menjadi siswa yang sukses, apabila ia tidakpernah membiarkan kepercayaan agamanya mempengaruhi pemahamannya atas apa yang dia pelajari.
Meskipun memisahkan satu “kelompok” nilai dari yang lain merupakan hal yang biasa terjadi, tujuan dasar pendidikan moral, atau pendidikan apapun, adalah untuk membantu para siswa menemukan nilai personal mereka secara utuh. Menurut Shaver, tiga nilai paling penting yang terkait dengan aktivitas mengajar adalah nilai estetik, nilai instrumental, dan nilai moral. Memahami bagaimana nilai-nilai tersebut bekerja bersamaan adalah tugas mendasar seorang pendidik moral, dan juga siswa.
Nilai estetik adalah standar yang kita pakai untuk menilai keindahan. Dibanding guru-guru lain, guru ilmau humanis memandang dimensi estetik bidang mereka dengan lebih langsung. Namun, kita juga sering mendengar guru matematika berbicara tentang “keeleganan” sebuah bukti formal, atau instruktur fisika mengomentari kecantikan dan keindahan suatu peristiwa fisik. Setiap orang membuat penilaian estetik, termasuk ketika memberikan penilaian terhadap penampilan seseorang.
Shaver menekankan bahwa nilai estetik berbeda dari nilai moral. Ketika kita bingung dengan proposisi estetik dengan atribusi kebaikan atau moralitas, kita benar-benar mengaburkan artinya. Ketika kita mengatakan rambut siswa yang kotor tidaklah menarik, atau secara estetik tidak enak dilihat, bukan berarti kita mengatakan bahwa siswa tersebut tidak sopan, terlepas dari pandangan yang diberikan oleh kepala sekolah dan guru tentang hal ini.
Shaver memberikan garis pembeda bukan hanya antara nilai estetik dan dilai moral, tapi juga antara nilai moral dan nilai instrumental. Nilai instrumental merupakan suatu standar yang ditetapkan untuk mencapai standar lainnya. Prinsip tersebut sifatnya derivatif, bukan prinsip dasar. Misalnya, dalam pengajaran, banyak standar pengelolaan kelas kita termasuk nilai instrumental. Peraturan yang menyangkut kedisiplinan, kepatuhan, dan ketepatan waktu ditegakkan bukan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, tapi sebagai pendukung tercapainya pembelajaran efektif. Seragam biasanya dinilai dari sudut pandang pendapat bahwa keidiosinkretikan seragam dapat mengganggu atmosfer pembelajaran siswa. Tujuan instruksional yang spesifik seringkali mengandung nilai instrumental dalam hubungannya dengan tujuan pendidikan yang lebih luas dan jangka panjang. Nilai instrumental merupakan standar perantara yang dirancang untuk mendukung tujuan yang lebih luas.
Shaver mengingatkan agar kita tidak dibingungkan dengan nilai instrumental dan nilai moral. Sama seperti para guru yang mungkin merasa tersinggung oleh siswa yang tidak memiliki selera musik dan pakaian yang sama, sehingga menganggap siswa tersebut “buruk” atau bahkan “tidak sopan”. Guru harus menahan kecenderungan memoralkan suatu nilai instrumental.
Nilai moral, dalam terminologi Shaver, adalah “semua standar atau prinsip, yang kita pakai untuk menilai tepat tidaknya suatu tujuan atau tindakan.” Dua ciri-ciri suatu nilai moral: (1) nilai tersebut sangat bervariasi dalam tingkat kepentingan dan kemudahan dipakainya, dan (2) nilai tersebut lebih dari sekedar selera pribadi.
Shaver menempatkan nilai moral sebagai satu rangkaian dari selera / pilihan pribadi hingga nilai-nilai dasar. Oleh karena itu, nilai-nilai seperti kesunyian dan kebersihan mempunyai nilai moral yang paling sedikit karena sebagian besar menyangkut selera / pendapat pribadi. Sebaliknya, nilai kesucian kehidupan manusia merupakan nilai yang paling mendasar sebab nilai ini sangat esensial bagi manusia. Dalam sebuah masyarakat demokratis, nilai dasar termasuk prinsip-prinsip kebebasan berbicara, perlindungan hukum yang sama, dan kebebasan beragama.
Di antara kedua ujung pilihan pribadi dan nilai dasar terletak jejeran panjang nilai-nilai moral “tingkat menengah”. Kejujuran, kerjasama, dan patriotisme termasuk dalam nilai menengah tersebut. mereka tidak didasarkan pada sifat manusia, namun nilai tersebut merupakan konvensi sosial yang penting.
Nilai-nilai moral mungkin memiliki tingkat kepentingan dan keumuman yang berbeda, namun nilai tersebut mengungkapkan seseuatu yang lebih dari sekedar standar individu. “Karena nilai moral digunakan untuk menilai dan menghakimi keputusan-keputusan etis, dan ini memberikan pengaruh pada orang lain, standar moral bukanlah sekedar selera pribadi.” Ketika kita dihadapkan pada keputusan moral (yaitu, sebuah keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan orang lain), kita perlu bertanya apa yang sebaiknya kita lakukan, bukan apa yang mungkin ingin kita lakukan. Menentukan apakah aborsi, hukuman kapital, atau euthanasia merupakan tindakan yang benar atau salah berbeda tingkatannya dengan menentukan perlu atau tidaknya membuat lebih banyak bubur kentang untuk makan malam. Berbeda dengan nilai estetik dan nilai instrumental, nilai moral menyiratkan adanya pesan dasar kewajiban.
Shaver menjelaskan bahwa memahami perbedaan antara nilai estetik, instrumental, dan nilai moral bukanlah sekedar latihan akademik. Pertentangan antara kelas-kelas nilai serta di dalam masing-masing nilai itu sendiri tidak dapat terhindarkan. Untuk dapat menangani pertentangan nilai secara efektif, diperlukan pengetahuan arti dan fungsi nilai-nilai seseorang. Akan kita lihat dibagian akhir bab ini, mengajar siswa untuk menegosiasikan pertentangan nilai merupakan elemen krusial dalam kerangka Shaver.

Sifat Dasar Demokrasi
Nilai moral yang mendasari dan menopang demokrasi adalah prinsip martabat individu. Konsep martabat menegaskan bahwa manusia memerlukan rasa hormat. Tiap orang memiliki nilai yang melekat pada dirinya. Individu tersebut berhak mendapatkan pengakuan atas kebaikan sifat kemanusiaanya, terlepas dari pertimbangan kekayaan, ras, jenis kelamin, atau kemampuan fisik dan intelektual.
Salah satu atribut keidealan martabat adalah hak untuk membuat keputusan penting. Sifat dasar manusia kita membuat kita merasa perlu untuk memiliki kebebasan determinasi diri, sehingga kita bisa membuat rencana hidup kita sendiri. Hak untuk memilih adalah hak untuk membentuk realitas seseorang dan bukan hanya dibentuk oleh realita tersebut.
Karakter penting keidealan martabat lainnya adalah kepercayaan atas intelijensi atau nalar. Rasa percaya akan intelijensi mendukung gagasan keputusan yang bebas. Tiap individu memiliki potensi untuk membuat keputusan yang bijak dan adil karena mereka memiliki nalar. Intelijensi membuat seorang individu meninjau dan menilai kemungkinan pilihan secara komprehensif. Karena manusia adalah makhluk yang rasional, kita percaya pada potensi mereka dalam pembuatan keputusan yang bebas.
Hak untuk membuat keputusan penting diartikan hanya dalam kondisi pluralisme. Tanpa variasi pandangan yang disampaikan dengan terbuka, nilai, dan gaya, kebebasan memilih yang ideal hanya menjadi hal abstrak yang palsu, dan kemampuan untuk membuat penilaian rasional tidak dapat digunakan. Adanya keserbaragaman kelompok politik, professional, dan budaya memunculkan dan mendukung cara hidup alternatif yang memungkinkan adanya pilihan fundamental. Dalam sebuah masyarakat monolitis, terdapat sdikit alternatif dan pilihan. Kebebasan determinasi diri individu dibatasi. Benda-benda kultural yang digunakan individu untuk mengekspresikan identitas menjadi datar dan seragam. Pluralisme melebarkan area pilihan; memberikan tekstur, warna, dan dimensi pada alternatif seseorang. Pluralisme merupakan kondisi yang sangat diperlukan bagi demokrasi, sebab pluralisme adalah satu-satunya mekanisme alami yang dapat menjamin kebebasan memilih yang berarti.
Pluralisme tidak hanya memungkinkan adanya pilihan otentik tapi juga memajukan penilaian kritis dan beralasan. Tekanan akan berbagai pandangan dalam komunitas mendorong adanya keterbukaan pikiran. Dalam banyak situasi, masalah terpendam yang mungkin terlupakan oleh orang dengan cara pandang yang sama dapat disingkapkan oleh individu yang tidak terlalu konvensional. Shaver memberikan contoh pendatang baru yang mempertanyakan penanganan kelompok minoritas dalam satu komunitas yang “tidak memiliki maslaah minoritas.” Akibatnya mungkin tidak disukai, namun seringkali menghidupkan proses pembuatan keputusan. Lebih lagi, setelah masalahnya diungkapkan, perbedaan pendapat bisa memberikan berbagai pilihan untuk menciptakan solusi. Pertentangan nilai dalam suatu masyarakat memiliki potensi yang membangun.
Pluralisme juga mendorong masyarakat menggunakan akal serta memberikan kondisi pilihan. Ini adalah batu penjuru demokrasi. Akan tetapi pluralisme yang berarti tergantung pada lebih dari sekedar adanya kelompok yang bervariasi. Individu harus memiliki sudut pandang yang sama untuk dapat menghubungkan persetujuan mendasar tentang norma dasar komunikasi dan keadilan. Tingkat kohesi dan konsensus sosial tertentu diperlukan apabila pluralisme diharapkan untuk bisa mengatasi konflik kepentingan yang saling bersaing. Supaya demokrasi bisa berjalan dengan baik, masyarakat harus memiliki kesetiaan dasar etika demokrasi. Mereka harus menghargai martabat individu dan percaya akan nilai akal sehat dan kebenaran. Perbedaan dan keanekaragaman hanya akan bisa berkembang dalam suatu konteks kesatuan.
Kesatuan nasional pada akhirnya akan bersandar pada keyakinan nilai demokrasi fundamental yang sama. Pada tingkatan yang lebih konkrit, kesatuan dibangun di atas penghargaan atas prosedur aturan konflik interpersonal dan antar kelompok yang relatif spesifik. Berbagai prinsip seperti martabat dan rasionalitas terlalu samar-samar untuk bisa digunakan sebagai kriteria normatif dalam memediasi konflik sosial. Prinsip tersebut harus diterjemahkan ke dalam nilai-nilai dengan arti yang lebih konkrit, seperti prinsip kebebasan berpendapat, pers, dan agama, atau doktrin perlindungan hukum yang sama, serta “satu orang, satu suara.” Nilai-nilai demokrasi yang baru-baru ini mendapat kekuatan hukum adalah hak memperoleh tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup, dan kesempatan pendidikan yang sama. Standar moral dasar ini merupakan nilai instrumental, sebab nilai-nilai tersebut mendukung tujuan yang lebih luas, yaitu martabat manusia.
Menurut Shaver, ada sebuah “keyakinan bangsa Amerika” yang memiliki arti emosional yang sama. Pada tingkatan afektif, masyarakat berkomitmen pada standar martabat dan nilai derivatif dan prosedurnya. Terdapat sebuah keyakinan demokrasi yang mempersatukan. Namun konsensusnya general dan emosional, bukan konsensus pada tingkatan interpretasi atau aplikasi rasional. Pengertian “deskriptif” atau kognitif nilai dasar seringkali menjadi bahan perdebatan yang serius. Ketika sebuah nilai seperti persamaan kesempatan belajar diaplikasikan pada kebijakan atau situasi tertentu – misalnya, haruskah orang kulit hitam yang tinggal di tengah kota bersekolah di sekolah pinggir kota? – pengertian deskriptif istilah tersebut harus dijelaskan secara lengkap. Kalau tidak dilakukan, sangatlah tidak mungkin menentukan secara rasional apakah kebijakan yang sedang dibicarakan memenuhi atau melanggar kriteria nilai. Apabila pengertian deskriptifnya ditentukan, masyarakat dapat menafsirkan sebuah istilah nilai secara berbeda. Ini disebabkan mereka memiliki pengalaman yang berbeda, dan konsekuensinya, kerangka referensi yang berbeda pula. Ujung-ujungnya bisa terjadi konflik. Masyarakat bisa jadi menghormati norma demokrasi dasar tapi tidak setuju dengan pengertian konkrit norma-norma tersebut dalam keadaan spesifik.
Hal mutlak yang harus ada dalam pengertian demokrasi adalah nilai-nilai martabat, determinasi diri, inteligensi, pluralisme, dan kohesi (atau komunitas). Demokrasi sendiri merupakan sebuah jaringan nilai dimana semua jalan / jaringan menuju pada harga diri dan martabat manusia. Mengajar dalam latar demokrasi berarti harus berhadapan dengan implikasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Sifat dasar nilai dan pendidikan moral sangat erat hubungannya dengan sifat dasar demokrasi. Para guru perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang dimensi nilai masyarakat demokrasi apabila mereka ingin menjadi pendidik moral yang efektif.

Pendidikan Moral dalam sebuah Masyarakat Demokratis
Nilai demokrasi bersama dengan pemahaman nilai tersebut merupakan tujuan akhir pendidikan. Seorang guru yang yakin pada hak determinasi diri dan rasionalitas tidak dapat melihat peran sekolah dalam imposisi dan indoktrinasi nilai. Guru tersebut harus melihat alasan siswa dan tidak hanya cukup senang dengan perilaku siswa. Dengan ini, tujuan fundamental pendidikan adalah pengembangan intelijensi. Para guru bertanggung jawab untuk menyampaikan nilai moral demokrasi, namun mereka harus menyampaikannya dengan cara yang bisa membuat nilai-nilai tersebut masuk akal untuk dipercaya siswa. Seperti yang ditulis oleh Israel Scheffler:
Mengajar, dalam pengertian standar, adalah memberikan diri demi pemahaman dan penilaian bebas siswa, keinginan mengetahui, serta pada pemahaman siswa tentang hal-hal yang menjadi bagian dari penjelasan yang memuaskan. Mengajarkan seseorang suatu hal yang tidak spesifik bukanlah sekedar berusaha membuat ia mempercayainya.... Mengajar memerlukan lebih dari itu... kita juga berusaha untuk membuat ia mempercayainya untuk alasan yang ada dalam batas kemampuannya menerima, yaitu alasan kita. Dengan cara ini, mengajar mengharuskan kita menjelaskan alasan kita pada siswa, dan dengan demikian, menyerahkan alasan tersebut pada evaluasi dan kritik siswa tersebut....

SEKOLAH DAN NILAI ESTETIKA
Shaver mengatakan bahwa standar estetika sifatnya personal dan subyektif. Dari sudut pandangnya, tidak ada keindahan yang mutlak atau objektif; begitu juga dengan alasan. Tidak ada alasan apapun yang membuat masyarakat harus mendorong adanya standar untuk menilai keindahan. Sementara guru harus memperkenalkan siswa dengan seni yang modern dan universal, mereka harus berhati-hati untuk tidak memutlakkan sesuatu yang hanya merupakan selera artistik kelompok tertentu. Menurut Shaver nilai estetika menunjukkan apa yang indah di mata seseorang, bukan apa yang benar di antara semua orang. Nilai estetika tidak boleh dilihat sebagai suatu kewajiban; nilai tersebut hanyalah selera personal semata. Para siswa perlu untuk belajar berbagai bentuk, gaya, dan kriteria estetika supaya mereka memiliki dasar yang cukup untuk membentuk nilai estetika mereka sendiri. Namun, konsepsi tradisional tentang keindahan tidak boleh dibingungkan dengan imperatif moral.


NILAI INSTRUMENTAL
Sama dengan nilai estetika, guru perlu was-was terhadap transisi yang begitu halus dan tak kentara dari penilaian instrumental ke penilaian moral. Yaitu, mereka harus memastikan bahwa alat atau perantara tidak beralih fungsi menjadi tujuan akhir. Aturan dan prosedur sekolah dan kelas harus memiliki hubungan fungsional dengan pembelajaran yang dikehendaki oleh guru dan siswa. Mempertahankan pola tempat duduk, sistem “pass” untuk pergi ke kamar kecil, hukuman bagi keterlambatan, atau pemberian nilai jelek karena berbicara di luar giliran, semua ini hanya akan dibenarkan apabila mereka mendukung pembelajaran dan konsisten dengan komitmen harga diri dan martabat manusia.
Uji diri tentang hubungan akhir-alat dapat mendorong guru untuk mengurangi kontrol perilaku yang kurang penting. Lebih lagi, meneliti nilai-nilai instrumental, merupakan langkah awal pendiskusian nilai tersebut dengan siswa. Memberikan klarifikasi dan justifikasi standar instrumental berarti mengatakan bahwa mereka akan lolos inspeksi publik dengan baik, sehingga banyak orang akan menganggap mereka dapat diterima. Berbekal akal sehat yang jernih, penyelidikan terbuka dengan siswa mengenai fungsi nilai instrumental akan menjadi lebih santai dan konstruktif, serta tidak terlalu mengintimidasi guru. Para guru yang paham benar tentang nilai-nilai mereka sendiri serta hubungan di antara nilai tersebut akan lebih mudah menyampaikan dan membagi nilai tersebut pada siswanya. Memiliki rasional yang kuat untuk nilai instrumental tentu saja tidak berarti bahwa siswa tidak akan pernah melawan nilai tersebut. “Tapi, ini berarti bahwa tantangan yang kemudian akan muncul dapat mengantarkan siswa pada diskusi dengan perantara sebagai tujuan akhir rasional, bukan pada perdebatan sengit, atau perselisihan dingin yang begitu umum terjadi di sekolah.”

NILAI-NILAI MORAL
Nilai moral merupakan sesuatu yang primer dan utama. Menurut Shaver, dalam pendidikan moral nilai tersebut memiliki prioritas yang lebih tinggi dibanding nilai estetika atau instrumental. Ketika pilihan estetika mulai bergesekan dengan nilai lain, diberikan pertanyaan moral. Misalnya, seorang guru perlu bantuan siswa, terlepas dari kenakalan mereka, untuk memeriksa karya seni yang dianggap berguna. Apakah tindakan guru ini meminta siswa mempelajari seni dibenarkan secara moral? Nilai instrumental pada akhirnya bertanggung jawab pada nilai moral yang memang dirancang untuk didukung oleh nilai instrumental tersebut. Status kelas satu prinsip moral dapat digunakan untuk mengajar dalam semua bidang, tidak hanya dalam area dimana penekanan pendidikan warga negara membuat nilai moral menjadi sangat relevan.

PEMBENTUKAN RASIONAL DALAM PRAKTIKNYA
Shaver berhati-hati untuk tidak mengajukan program khusus pendidikan moral, namun ia menyampaikan beberapa pertimbangan dasar yang relevan dengan instruksi moral. Pertimbangan tersebut meliputi proses identifikasi nilai dan klarifikasi nilai, generalisasi label, analisa konflik nilai, dan pembuatan keputusan yang memenuhi syarat.

Identifikasi dan Klarifikasi Nilai
Nilai membantu membentuk perilaku kita. Nilai tersebut memberikan konsistensi dan kesesuaian dalam hidup kita. Akan tetapi, ternyata nilai itu juga menciptakan ketidak cocokan dan kontradiksi. Seperti yang sudah kita ketahui, kelompok nilai kita – ekonomi, estetika, moral, dan instrumental – bisa saling bergesekan. Kita mungkin menghargai disiplin dan keahlian ketika bekerja, namun ketika berada di rumah, spontanitas dan kesukaan bermainpun dikedepankan. Kita mungkin setuju dengan konsep persamaan manusia tapi tetap saja mengharapkan anak-anak kita menikahi pasangan dengan agama dan suku bangsa yang sama. Kita mungkin juga menuntut persamaan hukum tapi tetap senang ketika mendapat perhatian khusus dari teman-teman kita. Menjelajahi hubungan antara nilai-nilai kita merupakan sebuah langkah penting menuju kesadaran dan penguasaan diri. Kita perlu bertanya pada diri sendiri apa yang menjadi nilai kita, seberapa kuat kita merasakannya, dan bagaimana nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai satu kesatuan. Pencarian diri ini berlaku bagi semua siswa. Menempatkan dan memunculkan komitmen nilai merupakan sebuah proses yang disebut Shaver sebagai “pengidentifikasian nilai.” Singkatnya, pengidentifikasian nilai merupakan sebuah proses paralel menuju klarifikasi nilai, yang nanti akan dibahas di bab 5.
Karena nilai merupakan kelompok dimensional yang seringkali saling bertentangan satu sama lain, dalam kerangka Shaver nilai tersebut tidak dapat sepenuhnya diidentifikasi dan diklarifikasi kecuali diteliti dalam situasi pilihan yang konkrit. Misalnya, seorang siswa mungkin mengemukakan gagasan tentang “perlindungan hukum yang sama” sebagai nilai inti. Apa arti nilai ini? Apakah ini berarti siswa harus dibawa memperoleh integrasi rasial? Apakah ini juga berlaku ketika para homoseksual mencari perlakuan yang sama dalam praktik perumahan dan pekerjaan? Interpretasi seseorang tentang “perlindungan hukum yang sama” tidak sederhana ataupun statis. Sangatlah penting bagi para guru untuk membantu siswa mereka melebihi identifikasi nilai yang dangkal dan biasa.

Generalisasi Label
Shaver mengatakan bahwa dalam sebuah masyarakat demokratis, pendidikan moral harus mengajari siswa menemukan nilai mereka dalam konteks demokrasi dasar, norma moral. Proses menempatkan isu nilai spesifik ke dalam sebuah kerangka legal-moral yang general disebut generalisasi label.
Di sini, Shaver menyarankan agar siswa sebaiknya dibantu melihat konflik nilai tentang prinsip dalam konstitusi A.S. Ia memberi perhatian yang jauh lebih sedikit pada konflik nilai personal (misal, antara cinta dan pekerjaan, ketergantungan dan kebebasan, atau realisasi diri serta tanggung jawab keluarga) dibanding dengan kontroversi publik, atau dengan konflik nilai yang muncul dalam kelas. Siswa perlu untuk mendapatkan pengajaran tentang bagaimana menghubungkan konsep nilai mereka yang masih sederhana dengan aturan dasar pemerintahan demokrasi.
Shaver sangat sadar bahwa kosakata tidak resmi yang digunakan masyarakat ketika mengaplikasikan nilai mereka dalam situasi konkrit seringkali terlihat benar-benar berbeda dari bahasa resmi percakapan moral dan legal. Namun, dia menambahkan bahwa perbedaan ini umumnya lebih jelas kelihatan dibanding kondisi sebenarnya. Misalnya, gagasan tentang keadilan yang dikembangkan anak lewat permainan di dalam kelas. Kalimat “Ini tidak adil” mungkin saja dikatakan dalam sebuah game di taman kanak-kanak, dimana oleh karena suatu konspirasi tersembunyi, para atlet terbaik siswa berada dalam tim yang sama. Atau “Ini tidak adil” mungkin digunakan untuk melakukan protes terhadap seorang wasit yang berat sebelah. Shaver mengamati bahwa di sini ide tentang keadilan mirip dengan konsep politis-legal perlakuan sama di hadapan hukum. Serupa dengan hal tersebut, seorang anak yang menjawab, “Saya punya hak untuk mengatakan apa yang saya inginkan,” ketika ada orang dewasa yang memintanya diam, merupakan contoh yang serupa dengan kebebasan berbicara. Nilai moral demokrasi memberikan sebuah kerangka yang didalamnya banyak terdapat isu nilai interpersonal yang dapat dianalisa.
Generalisasi label sangatlah penting sebab dapat membantu siswa menguasai bahasa moral dalam komunitas demokrasi. Generalisasi label juga mengantarkan siswa kepada banyak kesempatan debat dan pembuatan keputusan. Menurut Shaver:
Membantu siswa untuk mulai menggunakan label dengan arti nilai dasar memiliki beberapa fungsi instruksional dan sosial yang terkait: (1) Menyiapkan dasar bagi identifikasi dan klarifikasi nilai. (2) Memberikan skema konseptual yang lebih kuat pada siswa, karena mereka menghubungkan komitmen mereka sendiri dengan nilai dasar masyarakat. (3) Memberikan bahasa nilai yang lebih kuat pada siswa untuk melakukan analisa, diskusi, dan persuasi. Dan (4) membantu memastikan kosakata nilai yang luas di level nilai dasar di antara orang yang tidak akan menggunakan istilah-istilah seperti ini dalam pemikiran dan percakapan mereka. Singkatnya, proses heneralisasi label itu penting sebab proses ini menghubungkan kosakata nilai siswa yang sedang berkembang dan skema konseptual dengan nilai dasar masyarakat demokrasi yang lebih luas dan kuat.
Sebagai contoh diskusi kelas dimana proses generalisasi label menjadi berarti, perhatikan transkrip hipotetis berikut ini, yang diambil dari sebuah pelajaran:

Masalah. Fokus pada nilai “keadilan” ketika anda membaca bagian ini.
Sebuah artikel surat kabar yang saya bacakan pada teman kamar saya di kelas sembilan mengatakan bahwa seorang mahasiswa kulit putih tidak diperbolehkan masuk ke dalam sebuah sekolah hukum. Ini dikarenakan sekolah tersebut memiliki sistem “quota”, yaitu sistem yang memberikan izin istimewa pada siswa kaum minoritas. Siswa kulit putih tersebut menggugat sekolah karena nilai kualifikasi masuknya lebih tinggi dari para siswa kulit hitam yang mendapat izin masuk.
“Apa reaksimu?” Saya bertanya.
Dick Simmons menyeringai lebar. “Orang kulit putih itu, sekarang dia tahu bagaimana rasanya! Soal waktu juga!”
“Apa maksudmu?”
“Oh, kau tahu sobat! Lihat ke masa lalu dan semua yang sudah terlewati? Biarkan saja si kulit putih itu merasakannya – bagus buat dia! Ini akan membentuk karakternya.” Suara Dick diperlambat dan tajam.
Saya memandang sekilas ke sekeliling kamar. Muka Joanie Anderson memerah penuh amarah. Tangannya masuk ke dalam suasana tegang yang telah dibuat Dick.
“Menurut saya ini tidak adil,” ia berkata lantang. “Maksud saya...”
“Adil!” Dengan setengah berteriak Dick memotong. Ia membalikkan badannya. “Kamu akan berbicara soal adil kepadaku? Hah? Kamu pikir orang-orang kulit putih itu masih berbicara soal keadilan dan semua bualan mereka ketika mereka mengirimkan kapal-kapal budak? Kamu pikir mempekerjakan orang kulit hitam di perkebunan adalah sesuatu yang adil? Atau memisahkan semua keluarga mereka? Atau para tuan kulit putih merusak kehidupan gadis-gadis kulit hitam? Kamu pikir tidak mempunyai hak suara itu adil? Atau rumah, restauran dan sekolah yang terkucilkan?” Dick membiarkan semua pertanyaan tadi menggantung, baru setelah itu mengemukakan maksudnya. “Hey, kalian berhutang pada kami. Dan kalian sebaiknya mulai terbiasa untuk membayarnya!”
Joe Sheridan bahkan tidak peduli untuk mengangkat tangannya. “Dick, kamu keterlaluan. Joanie tidak berhutang apapun kepadamu. Begitu juga saya. Tidak ada yang berhutang.”
Dick menyeringai dingin. “Empat ratus tahun menggali? Itulah hutang kalian pada orang kulit hitam di negeri ini!” Dia mengepalkan tinjunya sebagai lambang kekuatan orang kulit hitam. “Tidak mungkin kamu mengulang waktu!”
Tantangan terdengar jelas dari suara Dick. “Itu benar,” Kata saya. “Orang kulit putih tidak dapat memutar ulang waktu, begitu juga dengan orang kulit hitam. Itu adalah catatan kelam dalam sejarah. Tapi itu juga adalah hal yang besar, sebab sejarah tersebut menunjukkan pada kita seberapa jauh kita telah benar-benar berjalan selama beberapa tahun ini.”
“Orang kulit hitam tidak bergerak kemana-mana kecuali tetap di bawah,” kata Dick.
“Aku tidak tahu,” saya mengangkat bahu. “Maksudku, lihatlah kliping berita yang telah kita diskusikan ini. Mengapa, sepuluh atau lima belas tahun lalu kita tidak pernah bisa berbicara seperti sekarang ini.”
Kedua mata Dick menatap penuh amarah. “Dan kau tahu mengapa? Sebab dulu orang kulit hitam belum belajar bagaimana menggunakan korek api!”
“Kamu pasti punya maksud,” Saya menyerah. “Mungkin itulah yang meyakinkan beberapa politisi kulit putih. Tapi bagaimana dengan orang-orang seperti Joanie dan Joe setiap harinya? Bagaimana denganku? Apakah kamu pikir membakar rumah kami akan mendorong kami untuk mendukung gerakan kulit hitam?”
Dick terdiam sesaat mendengar pertanyaanku. “Mari kita bicara soal nilai keadilah ini,” saya menambahkan. “Mungkin diskusi seperti ini dapat membantu kita membereskan berbagai persoalan untuk kepentingan kita di masa datang.”

Tindak Lanjut. Dick dan siswa-siswa lain yang terlibat dalam diskusi tampaknya memiliki pemahaman berbeda tentang nilai “keadilan.” Dapatkah anda mengidentifikasi berbagai definisi – seperti keadilan, persamaan kesempatan, retribusi – dan siapakah yang sesuai dengan definisi tersebut? Mana yang merupaikan nilai demokrasi dasar?
Bagaimana anda akan bekerja dengan kelas ini untuk membantu mereka mengidentifikasi dan mengklarifikasi komitmen mereka dan menghubungkan komitmen tersebut dengan label-label nilai dasar?

Analisa Konflik Nilai
Penilaian moral melibatkan konflik nilai. Periksalah konsekuensi dari bertindak berdasarkan nilai moral dan anda akan selalu menemukan adanya ideal moral lainnya. Ketika siswa mempertimbangkan implikasi, konsekuensi yang mungkin muncul dari keputusan moral yang dibuat, mereka perlu melihat konsep moral lebih sebagai gagasan dimensional ketimbang gagasan kategoris. Yaitu, mereka harus belajar memperlakukan nilai moral sebagai tingkatan-tingkatan kondisi yang diinginkan di sepanjang skala, ketimbang sebagai tugas semua-atau-tidak sama sekali. Misalnya, anda mungkin menghargai kebebasan berpendapat tapi masih membatasi ekspresinya. Siapa yang akan membenarkan hak untuk berteriak “Api!” di dalam gedung bioskop yang penuh sesak sebagai suatu gurauan? Serupa, anda mungkin setuju dengan standar peraturan mayoritas tapi menyadari perlunya perlindungan hak-hak minoritas. Atau anda mungkin percaya pada pasar bebas tapi tetap mendukung tindakan-tindakan anti polusi pemerintah dan pinjaman pemilik rumah. Komitmen nilai jarang sekali bersifat murni dan absolut. Satu nilai dapat menjadi dasar bagi nilai yang lain tanpa menghilangkan arti nilai itu sendiri.
Shaver berpendapat bahwa dilema nilai seringkali perlu diatur oleh guru kelas. Khususnya dalam sebuah kelas homogen, kondisi pluralisme harus diciptakan dengan bebas. “Untuk membuat suatu sudut pandang yang baru, anda mungkin harus mengambil peran oposisi, atau menggunakan role play siswa, film atau bacaan dari luar.” Para siswa tidak dapat belajar menghadapi konflik nilai kecuali konflik tersebut ada atau diciptakan.
Meskipun di dalam model pembentukan rasional Shaver tidak menuliskan prosedur yang lengkap untuk menganalisa konflik nilai, sebuah strategi yang disarankannya dalam konteks lain sangat berhubungan dengan analisa konflik: penggunaan kasus analogi. Dalam buku berjudul Mengajarkan Isu Publik di Sekolah Tinggi, yang ditulis bersama oleh Shaver dan Donald Oliver, dijelaskan peran kasus analogi:
Tujuan pembentukan analogi aalah untuk memaksa lawan bicara membandingkan beberapa situasi yang sama yang nantinya akan membuat dia memberikan reaksi yang berbeda dan tidak konsisten. Untuk bisa bermanfaat, situasi yang diberikan harus mencakup nilai yang berlawanan yang kedua-duanya mungkin saja benar. Misalnya, ketika sebagian besar dari kita mendukung tindakan koloni Inggris di Amerika selama Revolusi Amerika, mungkin hanya sedikit orang dari kita yang akan mendukung aksi yang sama yang dilakukan kaum Negro di Mississippi, meskipun isunya sama.... Tiap individu dipaksa merubah satu posisi atau untuk merasionalkan ketidak konsistenan yang tampak dengan mencari kriteria yang membedakan dua kasus yang tampaknya sama.
Tantangan kasus analogi sangat fundamental untuk menemukan prinsip yang bermasalah dalam konflik nilai. Para siswa harus bisa melihat isu nilai dalam hal norma demokrasi dasar dan mengaplikasikan norma-norma tersebut secara konsisten dalam situasi yang kompleks.

Pembuatan Keputusan yang Memenuhi Syarat
Pencarian kriteria atau prinsip yang bisa digunakan untuk membedakan dua situasi yang ditunjukkan dengan nilai berlawanan yang sama seharusnya berujung pada sebuah keputusan yang memenuhi syarat. Keputusan yang dinyatakan berdasar prioritas lingkungan apa yang akan diberikan pada satu nilai atau lainnya. Kebutuhan membuat penilaian nilai yang terkualifikasi, bukan penilaian yang kategoris, semakin berkembang melebihi kebutuhan untuk memperlakukan nilai sebagai konsep dimensional. Keputusan yang memenuhi syarat adalah “keputusan yang mempertimbangkan konsekuensi negatif suatu kebijakan atau tindakan yang mungkin terjadi, serta keadaan yang mungkin membuat anda merubah pola pikir dan mendukung nilai yang lain.” Proses menuju posisi yang memenuhi syarat diilustrasikan dengan contoh berikut ini:
Orang amerika keturunan Jepang di pantai barat harus pindah tempat tinggal dengan paksa tak lama setelah penyerangan di Pearl Harbor di 1941. Mari kita mengasumsikan bahwa kita mendukung relokasi tersebut. Dapat dilihat bahwa terdapat konflik nilai antara kebebasan tertentu yang dijamin bagi setiap warga negara, dalam kasus ini hak untuk meneruskan proses hukum, dengan keamanan komunitas atau bangsa. Kita kemudian terpikir akan satu analogi yang membalik posisi kita. Sebut saja ada lima orang Amerika keturunan Jepang dalam sebuah komunitas. Satu orang di antaranya terlihat melakukan pembunuhan. Para saksi yang melihat kejadian dari kejauhan hanya tahu bahwa pelaku pembunuhan memiliki karakter fisik orang timur. Haruskah kelima orang yang memiliki karakter fisik orang timur tadi dipenjarakan untuk melindungi keamanan komunitas? Sebagian besar dari kita akan menjawab “tidak.” Namun, ini merupakan dilema yang sama; keamanan komunitas berhadapan dengan penolakan proses hukum. Bagaimana kita menjelaskan ketidak konsistenan kita? Kita dapat berkata bahwa “keamanan” bangsa atau komunitas memiliki dua pengertian yang berbeda. Dalam kasus relokasi orang Jepang, kerangka legal pemerintah yang menjamin hak dasar kita terancam; dalam kasus pembunuhan, meskipun mungkin nyawa beberapa warga negara dibahayakan dengan membebaskan semua tersangka karena kurangnya bukti, pemerintah sendiri tidak terancam. Kemudian kita sampai pada posisi umum: Pemerintah dapat dibenarkan untuk tidak memenuhi hak dasar warga negara ketika pemerintah sendiri, yang berkomitmen melindungi hak-hak tersebut, terancam hancur; kalau tidak berarti tindakannya salah. Ini bukan berarti bahwa seseorang tidak dapat melawan pihak oposisi, dan berhasil dengan cara yang lain.
Apa yang dimaksud Shaver dengan “posisi general yang memenuhi syarat” pada dasarnya sama dengan apa yang disebut analisa nilai “menyatakan prinsip secara implisit dalam keputusan nilai” (lihat bab 6). Kedua perumusan tadi menekankan bahwa pada praktiknya bentuk ideal martabat pun diungkapkan sebagai paduan atau keseimbangan nilai yang dicapai lewat kesepakatan. Misalnya, penghargaan atas martabat individu tercermin dalam nilai kebebasan dan persamaan. Meskipun demikian, dalam situasi khusus standar martabat secara keseluruhan dapat merepresentasikan kompromi atau kesepakatan antara dua nilai ini. Untuk mencapai posisi yang memenuhi syarat, dengan menggunakan istilah model pembentukan rasional, yang perlu dilakukan adalah fokus pada kondisi tertentu yang membuat satu nilai lebih relevan ketimbang yang lain, dan menyatakan kondisi ini dalam bentuk preposisi umum atau pernyataan kebijakan. Dengan kata lain, para siswa tidak hanya menarik kesimpulan dari sebuah nilai tunggal; mereka harus menunjukkan bagaimana kesimpulan tersebut mencerminkan kompromi atau kesepakatan antara nilai-nilai yang bersaing. Sehingga, bukannya membuat penilaian global seperti “Revolusi politik itu salah,” siswa menarik kesimpulan seperti berikut: “Setiap kali kekuatan pemerintahan mayoritas berhasil mengurangi ketidaksamaan di antara warga negara, dan setiap kali ada kesempatan realistis untuk pada akhirnya menghilangkan ketidaksamaan tersebut, akan lebih baik untuk tetap berada dalam kerangka legal pemerintah.” Atau, daripada berhenti pada generalisasi “Saya percaya akan pendapat yang bebas,” siswa bisa memutuskan, “Pendapat yang bebas harus dijamin dalam semua kondisi kecuali ketika kebebasan tersebut menunjukkan bahaya munculnya kekerasan pada orang lain.”
Bukanlah kebetulan hasil karya awal Shaver dalam pendidikan nilaidisebut pendekatan “jurisprudential”. Sebab proses pencapaian keputusan yang memenuhi syarat, berdasarkan nilai demokrasi, sama dengan proses yang dilewati hakim dalam membuat putusan tentang suatu kasus. Shaver juga menekankan bahwa sama seperti contoh legal yang masih perlu revisi ketika berhadapan dengan situasi baru, siswa juga harus sadar bahwa posisi mereka adalah kondisional (bersyarat). Prinsip pokok martabat manusia tidak dapat dirubah. Yang dapat dirubah adalah perwujudan spesifik prinsip tersebut. Para siswa, sama seperti hakim, harus memiliki pikiran yang terbuka.


Aspek Afektif atau Nonverbal Pendidikan Moral
Pendidikan nilai dalam sebuah masyarakat demokratis termasuk membantu siswa mengembangkan kerangka analitis penilaian dan resolusi konflik nilai. Namun para guru juga wajib mengembangkan komitmen emosional siswa pada doktrin demokrasi. Karena komitmen emosional cenderung terbentuk pada tahun-tahun awal, seperti hasil pengamatan Shaver, sangatlah penting merancang kegiatan pembelajaran di sekolah dasar untuk menjelaskan pentingnya nilai moral melalui cara yang dramatis atau praktis (misal, melalui dramatisasi episode pers bebas John Peter Zenger). Anak kecil mungkin belum bisa membentuk rasional abstrak untuk penilaian nilai. Namun Shaver memperlihatkan bahwa siswa tidak mempelajari nilai moral melalui debat rasional semata. Mereka bisa belajar melalui contoh dan penguatan behavioral. Misalnya, ketka guru memuji siswanya karena saling membantu siswa lain untuk memahami tugas mereka, para siswa tersebut mungkin akan mulai menghargai pembelajaran kooperatif. Atau siswa yang terus-terusan melihat gurunya mendengarkan dengan baik pendapat semua siswanya mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Para guru perlu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara konkrit untuk bertindak adil. Ini dikarenakan anak-anak tampaknya terlebih dahulu belajar aturan perilaku sesuai dengan situasi tertentu, sebelum mereka bisa memahami prinsip umum keadilan. Aturan-aturan seperti menunggu giliran dalam barisan, mengangkat tangan sebelum berbicara, berbagi tugas kebersihan, atau menahan diri untuk tidak memanggil nama, mungkin dianggap penting bagi kebaikan anak tersebut, bahkan ketika justifikasi abstrak untuk aturan tersebut tidak sepenuhnya dipahami. Akhirnya, Shaver menekankan, tujuan pendidikan moral adalah perkembangan cara berpikir moral yang bebas. Namun, dalam area moral sekalipun, anak-anak terlebih dahulu belajar berjalan sebelum mereka mulai berlari. Misalnya, anak-anak terlebih dahulu belajar untuk tidak memukul teman yang lain ketika tidak setuju dengan mereka sebelum mereka mempelajari konsep toleransi. Dengan demikian, Shaver peka terhadap peran pelengkap yang dimainkan oleh pelatihan kebiasaan dalam pendidikan anak-anak.

RINGKASAN DAN PENILAIAN
Pendekatan pendidikan moral Shaver memberikan penekanan pada kebutuhan guru untuk memahami sifat dasar masyarakat demokratis, peran guru dalam masyarakat tersebut, dan sifat dasar nilai. Shaver fokus pada dua hal; secara umum membantu para guru membentuk rasional untuk pembuatan keputusan kependidikan, dan secara khusus mengajarkan konsep dan skill kewarganegaraan demoratis. Meskipun ia membangun sebuah logika prosedur pendidikan moral, Shaver tidak memberikan cetak biru pedagogis. Tugas guru adalah untuk membantu siswa mengembangkan kerangka demokratis untuk identifikasi, klarifikasi, dan analisis nilai serta konflik nilai. Dalam jangka panjang, pendekatan siswa pada isu nilai harus sama eksplisit dan koherennya dengan pendekatan guru.
Kelebihan model yang dimiliki Shaver adalah bisa menghubungkan teori demokrasi dengan praktik pendidikan moral. Tidak ada pendekatan lain yang sedalam ini menganalisa nilai demokrasi dan implikasinya bagi pengajaran. Kerangka pembentukan rasional mempermudah kita untuk dapat melihat mengapa pendidikan moral begitu penting, serta menyarankan arah yang harus ditempuh pendidikan ini dalam lingkungan masyarakat demokrasi.
Terlepas dari semua kebaikan karya Shaver, beberapa elemen dalam model tersebut masih perlu perbaikan. Penggunaan konsep “nilai instrumental” tampak membingungkan, dan definisi tingkatan “pilihan personal” nilai moral tidak begitu jelas dan bisa menyesatkan. Lebih lagi, meskipun ia membuat pengantar ke arah integrasi teori perkembangan kognitif dengan modelnya, Shaver tidak menjelaskan bagaimana pendekatannya dapat disesuaikan dengan anak-anak sekolah dasar. Ia hanya menyarankan agar guru mengandalkan teknik modeling tidak langsung dan non verbal serta penguatan behavioral untuk melengkapi diskusi rasional. Shaver menegaskan bahwa fokus utamanya bukan pada menjelaskan pedagogi, namun hal tersebut bisa juga menjadi bagian modelnya, setidaknya dalam mendiskusikan instruksi untuk anak.
Shaver menyatakan bahwa definisi nilai instrumental yang dia buat memang tidak lazim. Biasanya, sebuah nilai instrumental dibedakan dari sisi satunya atau nilai fundamental, bukan dari nilai estetik dan nilai moral. Dalam sudut pandang konvensional, kelas nilai instrumental tidak terpisah dari kelas nilai estetik atau nilai moral; nilai instrumental bisa termasuk standar estetik ataupun moral. Misalnya simetri, keseimbangan, dan harmoni, bisa dilihat sebagai nilai estetik dan instrumental, sebab nilai-nilai tersebut mengungkapkan prinsip estetik dan juga mendukung tujuan yang lebih luas, yaitu keindahan. Hal yang mencirikan sebuah nilai instrumental adalah fungsinya dalam hubungannya dengan nilai-nilai lain, bukan area pengalaman tertentu (seperti estetika dan moralitas) dimana nilai tersebut digunakan. Sebuah nilai instrumental pada umumnya dianggap sebagai alat atau instrument, bukan sebuah alat yang khusus dan spesifik.
Alasan Shaver memilih melihat nilai instrumental sebagai sebuah kategori yang terpisah adalah karena pemisahan yang ada membuat fokus perbedaan antara isu nilai pendidikan dan kecenderungan memoralkan nilai estetika dan nilai instrumental menjadi lebih tajam. Namun, bukannya dapat menjelaskan, konsep yang dibuat Shaver malah lebih membingungkan. Shaver sendiri memperdebatkan bahwa dulunya semua nilai dalam etos demokrasi adalah moral dan instrumental. Nilai moral ke arah “pilihan personal” di bagian akhir skala nilai moral jelas-jelas menjalankan kapasitas atau tugas instrumental, namun hanya tingkat dasar atau menengah saja. Jadi, pembaca harus mengatur kategori instrumental, moral, moral-instrumental, pilihan personal, nilai kelas menengah, dan nilai moral dasar. Mengapa tidak menganggap semua nilai yang ada dalam karakter atau tindakan yang baik sebagai nilai moral? Nilai moral instrumental dengan begitu bisa menyertakan nilai-nilai seperti kejujuran, keberanian, kemurahan hati, dan kerjasama, yang diambil dari nilai fundamental keadilan dan perbuatan baik. Ini tidak akan merubah substansi posisi Shaver, tapi justru akan membuat terminologi yang dia buat menjadi lebih mudah diatur.
Perlakuan Shaver atas nilai moral mungkin juga dapat ditingkatkan dengan menjelaskan hubungan antara nilai “pilihan pribadi” dan “masalah selera pribadi.” Di satu sisi, Shaver mengatakan bahwa nilai moral tidak akan pernah bisa direduksi hingga selera pribadi semata: “Nilai moral digunakan untuk membenarkan dan menilai keputusan etis, dan ini bisa mempengaruhi orang lain. Oleh karena itu, standar moral bukan sekedar masalah selera pribadi.” Di sisi lain, Shaver mendefinisikan satu kelas nilai moral (“yang paling tidak signifikan”) sebagai “pilihan personal.” Ungkapan nilai seperti ini mungkin bisa diawali dengan frase-frase seperti “Saya lebih baik memilih....” Shaver tidak pernah menjelaskan apa sebenarnya perbedaan antara selera pribadi dan pilihan pribadi. Keduanya lebih mencerminkan sisi psikologis ketimbang kualitas yang objektif. Semua lebih banyak mengatakan tentang perasaan pribadi dibanding praktik atau tindakan yang sedang dibicarakan. Dengan dasar apa kesunyian dan kebersihan dimasukkan dalam nilai moral? Menurut Shaver, kesunyian dan kebersihan berperan sebagai nilai moral ketika kita menggunakannya untuk menilai perilaku kita terhadap orang lain. Namun dalam kasus ini, kedua nilai tersebut menjadi interpersonal dan bukan sekedar standar subjektif. Mengatakan bahwa seseorang harus bersih, secara tidak langsung berarti bahwa kebersihan sendiri merupakian sesuatu yang baik dan bukan sekedar pilihan atau selera pribadi. Meskipun ia menganggap kedua konsep ini berlawanan, konsep tingkatan “pilihan pribadi” Shaver dibingungkan oleh konsep selera personalnya sendiri.
Lebih lagi, model Shaver bisa dipertanyakan dari sudut pandang perkembangan kognitif. Shaver menyatakan peringatan para developmentalis tentang batasan fasilitas abstraksi anak pada usia tertentu. Dan dia mencurahkan perhatian lebih pada bentuk nonverbal pendidikan moral seperti pengajaran melalui contoh dan pengelolaan behavioral. Namun, Shaver memberikan kritik atas tulisan Kohlber, kelihatannya karena meremehkan jarak kognitif anak sekolah dasar. Shaver menyatakan: “Beberapa orang telah mengatakan bahwa sangatlah membuat siswa frustasi – seperti kata Kohlber – ketika mereka dihadapkan pada penalaran moral yang berada satu tingkat di atas level mereka. Kemudian, keputusan pengajaran berdasar rasional tingkat 5 mungkin tidaklah tepat, malahan bisa menimbulkan masalah. Sebaliknya, menurut kami alasan mengapa orang-orang tidak bisa mencapai tingkat 5 dan 6 adalah karena sekolah tidak memberikan lingkungan yang mendukung perkembangan moral.”
Ada beberapa hal yang membingungkan dalam argumen Shaver. Pertama, tidaklah jelas apa yang dia maksud dengan “keputusan pengajaran berdasar rasional tahap 5.” Barangkali guru, sebagai orang yang sudah dewasa dan bisa berpikir dengan baik, akan berusaha mendasarkan keputusan moralnya pada prinsip-prinsip di tingkat 5. Kohlberg akan setuju dengan ini. Memang, developmentalisme kognitif berpendapat bahwa guru baru akan bisa menunjukkan keadilan pada anak ketika mereka memahami kebutuhan anak dengan cara yang sistematis dan komprehensif. Kedua, Kohlberg benar-benar setuju dengan pendapat Shaver, yaitu bahwa sekolah tidak memberikan lingkungan yang mendorong perkembangan moral tingkat 5 dan 6. Banyak karya Kohlberg dalam beberapa tahun ini telah berusaha memperlihatkan bahwa meningkatkan struktur keadilan sekolah bisa memberikan pengaruh yang besar pada penalaran moral siswa (lihat bab 7).
Hal apa yang membuat Shaver tidak setuju? Tersirat dari kritiknya pada Kohlberg, Shaver mengatakan bahwa siswa usia muda hanya akan dapat belajar untuk bisa bekerja di tingkat 5 – mungkin memikirkan istilah abstrak konstitusi A.S. – apabila mereka memang diajar untuk melakukan hal tersebut. Tampaknya Shaver menyatakan secara tidak langsung bahwa apabila kita memang mempunyai komitmen yang tulus pada tujuan pendidikan moral, kita bisa menjadikan proses abstraksi nilai dari situasi konkrit, menalar secara analogis, merumuskan kriteria yang konsisten, dan mengembangkan posisi general yang memenuhi syarat – sebuah proses yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat 5 – sebagai bagian dari kurikulum siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ini mungkin benar, namun Shaver hanya melakukan sedikit hal untuk memperlihatkan secara spesifik bagaimana siswa usia SD – SMP diajarkan penalaran abstrak. Dia tidak memberikan bukti yang mendukung pernyataannya, sehingga muncul keraguan akan validitas pernyataan tersebut. Masih belum jelas bagaimana pedagogi Shaver dapat diadaptasikan pada anak.
Kami telah memperlihatkan sedikit area dimana teori Shaver masih memiliki kekurangan dukungan dan penjelasan. Meskipun demikian model pembentukan rasional menyediakan kerangka yang sangat baik bagi program pendidikan moral. Shaver memberikan catatan yang koheren dan tajam tentang sifat dasar nilai, prinsip-prinsip demokrasi, serta tuntutan analitis kewarganegaraan yang demokratis. Karena model ini memberikan konteks yang begitu luas bagi pendidikan moral, model ini berperan dengan sangat baik sebagai titik tolak berbagai pendekatan yang muncul berikutnya.




4
CONSIDERATION MODEL
(MODEL PERTIMBANGAN)

Model rationale building menekankan pada pentingnya suatu pertimbangan dan penilaian terhadap pendidikan moral. Walaupun Shaver membahas mengenai affective attachment dalam perkembangan moral, akan tetapi dalam pendekatan miliknya tidak ada pengaruh yang signifikan. Pada bab ini kita akan membahas mengenai pendekatan dalam pendidikan moral yang menempatkan sentiment moral di depan dan di tengah. Berdasarkan Schools Moral Education Curriculum Project di Inggris Raya, Peter McPhail dkk telah menulis seri Lifeline, yang diterbitkan dalam versi Inggris dan Amerika Utara. Panduan untuk guru dalam Lifeline berjudul Learning to Care. Buku tersebut lebih menitikberatkan pada pemberian perhatian daripada memberikan penilaian yang merupakan inti perhatian McPhail.
Tujuan dalam seri Lifeline sangat luas sehingga sulit untuk di kerucutkan. Pendidikan moral dalam program McPhail berkaitan dengan moralitas dalam cakupan yang luas, sebagai bagian dari kepribadian secara keseluruhan dan struktur social. Dalam pandangan McPhail, pendidikan moral tidak boleh dibatasi dengan analisis aturan-aturan dan larangan-larangan. Sebaliknya, pendidikan moral harus fokus pada gaya keseluruhan dari seseorang yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain. Secara spesifik, Lifeline ingin menunjukkan bahwa “dalam prakteknya, hidup untuk orang lain adalah sebuah anugerah, memotivasi, dan dapat dideskripsikan sebagai kenyataan hidup untuk diri sendiri.” Pada akhirnya, dalam skema McPhail, tujuan pendidikan moral adalah untuk membebaskan individu dari “hal-hal destruktif dan impuls destruktif terhadap diri sendiri mungkin saja hanya sebagai topeng dari individu itu sendiri – menuju egosentris, narsisme, yang kemudian menjadi keegoisan dan kebengisan serta karakter lainnya yang terbangun dalam respon masyarakat yang kurang senang dan tidak sehat dan juga menghambat kepribadian yang sebenarnya dengan cara mengekspresikan kebutuhan kreatif dan produktif.”
Menurut McPhail, pendidikan moral haruslah terjadi melalui pembebasan individual dari belenggu ketakutan dan ketidakpercayaan. Tujuan dari bimbingan yang diberikan McPhail adalah memberikan wewenang kepada siswa untuk memberi dan menerima cinta, setidaknya cinta dalam persaudaraan. Dalam consideration model, pendidikan moral dapat meliputi kepribadian secara keseluruhan.
Teori
Program Lifeline adalah program yang berdasarkan studi intensif terhadap sebagian besar kebutuhan remaja yang diselenggarakan dari 1967 hingga 1971. Lebih dari 800 siswa sekolah menengah pertama dalam jangkauan umur 13 hingga 18 tahun telah ditanyai mengenai pertanyaan-pertanyaan “critical incident”. Begitupun melalui kuesioner dan wawancara secara individual mereka diminta untuk memberikan salah satu contoh mengenai suatu situasi dimana orang dewasa memperlakukan mereka secara baik dan meberi satu contoh pula menenai suatu situasi dimana orang dewasa memperlakukan mereka secara tidak baik. Dalam pertanyaan tambahan dalam survey yang dilakukan ditanyakan pula mengenai hubungan mereka dengan teman sebaya. Investigasi tersebut mengungkapkan pandangan umum para remaja mengenai “kejadian baik”. Kejadian positif direfleksikan dengan kualitas pertimbangan, humor, dan keinginan untuk berkompromi. Berbagi merupakan hal yang baik; dominasi adalah hal yang buruk, walaupun beberapa individu yang pasif mengizinkan orang lain untuk membuat keputusan bagi mereka. Pesan yang didapat dari penelitian tersebut terlihat jelas dan sesuai dengan pernyataan McPhail: “perlakuan yang baik menunjukkan pertimbangan terhadap kebutuhan seseorang, perasaan, dan minat; perlakuan yang buruk mengindikasikan yang sebaliknya.”
Penelitian McPhail menunjukkan keyakinannya bahwa “jika kamu ingin mengetahui apa yang orang butuhkan dan bagaimana caranya, langkah pertama adalah minta mereka untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah mereka seperti yang mereka lihat dan rasakan dan jangan mengatakan pada mereka masalah apa yang terjadi. Pandangan anak laki-laki dan perempuan terhadap penggunaan kata baik dan buruk dalam survey menunjukkan kepada kita bagaimana moralitas harus hadir dalam kenyataan.”
Karena dia menemukan begitu banyak bukti dalam respon siswa untuk berkomitmen terhadap keterbukaan, saling menghargai dan kepedulian dalam hubungan interpersonal, McPhail menginterpretasikan penelitian tersebut sebagai bukti bahwa “kebutuhan dasar manusia adalah bersosialisasi, mencintai dan dicintai, maka hal itulah yang menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut.” Secara umum, siswa merasa bahwa sekolah terlalu menekankan pada akumulasi dan manipulasi informasi dan memberikan sedikit perhatian untuk membantu mereka memecahkan masalah yang berkaitan dengan kepribadian dan hubungan sosial yang mereka alami. Maka kemudian McPhail memberikan persediaan yang cukup mengenai persepsi dan sikap siswa sendiri dalam mendefinisikan tujuan dari pendidikan moral. Secara tidak langsung, dia menyatakan bahwa alasan yang paling mendesak untuk menerapkan program pendidikan moral adalah kebutuhan yang siswa rasakan.
McPhail menggarisbawahi bahwa sebagian besar remaja dapat membedakan antara kebebasan dengan perizinan. Setidaknya dalam survey, siswa menginginkan ketika mereka mencari kebebasan dalam membuat pilihan dan membuat suatu keputusan, mereka mengharapkan bantuan dari orang dewasa. Terlebih lagi, anak belasan tahun biasanya mengagumi orang dewasa yang memberikan “teladan yang baik” dan hidup dengan standar yang mereka buat, bahkan ketika standar tersebut tidak sesuai dengan kehidupan anak-anak muda. Para guru dan orang tua yang menunjukkan pendirian dan integritasnya dianggap sebagai orang-orang yang mencoba menjaga netralitas dengan cara “membangun pagar”. Berdasarkan data wawancara dan kuesioner, McPhail menyimpulkan bahwa remaja nampak “mampu membedakan dengan baik perbedaan antara keteguhan dengan sikap keras kepala, membedakan antara sikap yang terlahir berdasarkan keyakinan dengan sikap yang terlahir berdasarkan dogma. Bersikap netral sangat dihargai dalam sebuah diskusi yang dipimpin oleh orang dewasa, akan tetapi, pada sebagian besar situasi, mengidentifikasi sikap dan kepercayaan dianggap lebih membantu dalam perkembangan individualitas.” Para siswa sangat terbuka untuk mau belajar dari orang dewasa; apa yang siswa benci, sebagian besar di dominasi oleh orang dewasa.
Walaupun McPhail mengungkap hal penting mengenai rasa hormat dalam hubungan social yang dimiliki oleh para remaja, dia juga tidak mengindahkan ke-tidak dewasa-an yang menjadi karakter anak remaja dalam merespon permasalahan sosial. Ketidakdewasaan ini terutama sekali terlihat pada respon anak belasan tahun. Pada kenyataannya, McPhail menyelenggarakan penelitian tambahan dengan menggunakan sampel yang terdiri dari dari 200 anak laki-laki dan perempuan yang berusia 12 hingga 18 tahun, untuk dapat menemukan hubungan antara umur dengan kedewasaan dalam menilai suatu hubungan sosial. “kedewasaan” yang disebutkan dalam penelitian ini diartikan sebagai respon yang kerap muncul yang diberikan oleh 50 orang dewasa pada sampel yang sebagian besar terdiri dari kelas menengah, dimana orang-orang dewasa tersebut diminta untuk menanyakan pertanyaan yang sama kepada anak belasan tahun. Mendefinisikan kedewasaan dengan cara seperti ini, bertujuan untuk menguatkan nilai yang dimiliki oleh budaya yang paling dominan. McPhail menyadari bahwa menyelaraskan norma yang dmiliki oleh kelas menengah dengan kedewasaan dalam memberikan penilaian merupakan suatu hubungan yang dapat berubah-ubah, akan tetapi, dia merasa bahwa hal tersebut kurang tepat untuk konteks ini.
Dalam berbagai peristiwa, 13 situasi social melibatkan para remaja dengan teman sebayanya, dengan orangtua, dan orang dewasa lainnya disajikan dalam bentuk kuisioner. McPhail mengelompokkan respon yang diberikan kedalam beberapa kategori dari “pasif” sampai “agresif” hingga “dewasa imajinatif.” Walaupun dia gagal untuk mengelaborasikan definisi dari tiap kategori, tetapi dia memberikan contoh respon yang sesuai dengan setiap kategori. Contohnya sebagai berikut,
Situasi. Seorang anak laki-laki atau perempuan yang seumur denganmu, dengan orang yang ramah padamu, menjadi sangat kecewa karena beberapa alasan yang tidak kamu ketahui. Kamu akan:

1. Tidak melakukan apapun
2. Merasa terganggu, tapi tak tahu harus berbuat apa.
3. Meminta bantuan pada orang dewasa
4. Mendiskusikannya dengan temanmu
5. Mengatakan kepada orang yang bersangkutan untuk menghentikannya
6. Membuat mereka senang
7. Menghindar
Pasif
Pasif emosional
Ketergantungan pada orang dewasa
Ketergantungan pada teman sebaya
Agresif
Sangat agresif
Penghindaran
8. Mencoba bertanya pada temanmu tentang masalahnya.
9. Mencoba untuk berbicara dengannya seolah-olah tidak ada hal yang terjadi
10. Membuat temanmu merasa nyaman
11. Membuat sesuatu yang menarik perhatian temanmu
Eksperimental sederhana
Eksperimental canggih
Dewasa Konvensional
Dewasa Imaginatif
McPhail hanya melaporkan data eksperimental dan respon kedewasaan. Sesuai harapan, frekuensi respon kedewasaan yang diberikan oleh anak laki-laki maupun perempuan meningkat dengan tetap sesuai dengan tingkat umur, dari umur 12 hingga 18 tahun. Untuk anak perempuan, puncak respon eksperimental terjadi pada umur 14, sedangkan pada anak laki-laki pada umur 15. Pada usia 18, respon kedewasaan meningkat dua kali lipat yang terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan penelitian tersebut, McPhail menyimpulkan bahwa “ini merupakan cara yang valid dan berguna dalam menggambarkan para remaja untuk merancangnya sebagai masa untuk mengalami pengalaman sosial antara pubertas dengan saat ketika suatu individu telah siap untuk menghadapi permasalahan orang dewasa dan memikul tanggung jawab sebagai orang dewasa.” Secara mencurigakan, McPhail mengabaikan untuk memaparkan dengan jelas mengapa dia dapat menyimpulkan hubungan dari frekuensi respon “eksperimental” terhadap situasi hipotetis dimana anak remaja berada dalam periode eksperimen sosial. Hal tersebut nampak janggal karena dua alasan. Pertama, seperti pernyataan McPhail, kecenderungan pernyataan siswa dalam bentuk respon verbal pada situasi hipotetis adalah tes definitif yang cukup sulit untuk mengukur kualitas dari penilaian sosial mereka. Siswa cenderung lebih altruistik dalam kuisioner daripada dalam kehidupan nyata. Kedua, karena McPhail memilih untuk tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai konsep respon eksperimentalnya, maka sulit untuk melihat hubungan antara respon serupa dengan karakteristik umum dari pemikiran dan tindakan eksperimental.
Walaupun muncul keberatan seperti hal diatas, McPhail menyatakan bahwa tujuan dari seri Lifeline adalah untuk meningkatkan perkembangan kedewasaan dalam penilaian dan tindakan sosial. Dan konsepnya mengenai kedewasaan sepertinya lebih mengarah pada watak seseorang dan kemampuan untuk membantu orang yang membutuhkan sehingga dapat menghasilkan solusi yang berguna dalam menyelesaikan permasalahan sosial. Singkatnya, kedewasaan dilihat sebagai kepedulian kreatif.
Mengajarkan Siswa Untuk Peduli
McPhail memperkenalkan panduan guru dalam seri Lifeline yang memuat kutipan John Ruskin: “pendidikan bukan bermakna mengajarkan orang untuk mengetahui sesuatu yang belum dia ketahui; akan tetapi mengajarkan mereka untuk bersikap sebagaimana mestinya.” Pernyataan tersebut merefleksikan tema utama dalam karya McPhail: pendidikan moral berkaitan dengan penguatan watak dan pembentukan perilaku dan juga mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Menurut McPhail, kita mempelajari nilai moral dengan cara mengobservasi seberapa pentingnya orang dalam hidup kita memperlakukan kita. Tentu saja moralitas adalah hal yang “menular,” sesuatu yang kita ambil dengan berada di sekitar orang-orang yang menganutnya. “seorang siswa lebih banyak belajar dari apa yang dilakukan oleh gurunya daripada apa yang guru ajarkan ….” Belajar dari yang dicontohkan oleh orang lain adalah “dasar dari pengembangan alamiah individu.” Pentingnya pembelajaran observasional dan model sosial tidak dapat terlalu diandalkan. Tingginya level pemikiran moral, sama pentingnya dengan sikap moral, perlu dicontohkan kepada siswa dalam situasi seperti kehidupan yang sebenarnya.
Sikap dan perilaku adalah hal yang “menular,” dari sisi psikologi. Terdapat banyak kebenaran dalam maxim dimana moral merupakan hal yang ditangkap, bukan diajarkan. Akan tetapi, pemberian contoh merupakan bentuk pendidikan dalam bentuk yang paling tinggi. (sebagai sejarawan Inggris, Lord Acton pernah mengobservasi semua dialog Plato, Plato tidak dapat mendefinisikan dasar keadilan secara memuaskan, maka dia menulis dialog mengenai tokoh nobel Socrates, karena dalam kehidupannya, Socrates menunjukkan bagaimana seharusnya seorang manusia, walaupun abstraksi yang diberikan mengaburkan definisi yang sebenarnya.) jika kita data menghargai sifat dasar dari kondisi sosial, pertimbangan akan meningkat dan rasionalisasi akan menurun.
McPhail mendeskripsikan karakterisik kelas yang mengalami “penularan” moral dan guru yang memberikan contoh moral dalam detail yang substansial. Kelas yang menurutnya ideal adalah kelas yang therapeutic dimana “kecurigaan, kecemasan, pembelaan diri, permusuhan dan kegelisahan” telah memudar sedikit demi sedikit. Untuk mengilustrasikan kualitas interaksi guru-siswa yang turu mendukung pertumbuhan moral, dia mengutip salah satu bagian dari penelitian klasik Maslow mengenai Motivasi dan Kepribadian:
(Guru-Subjek) berperilaku dengan cara yang sangat normaldengan cara menginterpretasikan debgan cara yang berbeda mengenai situasi yang ada, misalnya seperti menganggap suatu keinginan sbagai kolaborasi yang baik daripada dianggap sebagai pertikaian keinginan; pergantian martabat palsu – yang dapat terancam dengan mudah dantidak dpat dihindari – dengan kesederhanaan alami yang tidak mudah terancam; menyerah untuk bersikap paling tahu dan paling berkuasa; ketiadaan ancaman dan sifat otoriter terhadap siswa; penolakan untuk memandang siswa sebagai pesaing murid lainnya ataupun pesaing guru; dan menolak untuk mengasumsikan seorang professor sebagai stereotype orang sukses dan menggantinya dengan sesosok manusia yang realisis seperti tukang kayu ataupun tukang ledeng.
McPhail dengan jeas menganggap bahwa dirinya adalah seorang pendidik yang humanis, dalam semangat Maslow dan Carl Rogers. Atas nama humanism, McPhail membicarakan mengenai kebutuhan untuk memiliki pribadi otentik, wawasan dan kreatifitas. Dalam waktu yang bersamaan, dia sepertinya menerima engan sepenuh hati semua teori dan praktek mengenai pengkondisian sosial, dimana berfokus untuk melatih perilaku yang dapat diterima secara sosial daripada mengembangkan pemikiran yang mandiri dan imajinatif. McPhail menuliskan bahwa “setiap manusia terkondisikan dari saat ketika dia pertama kali menghirup udara didunia –sedari bayi- … para pemuda terkondsikan dalam perilakunya setiap hari, oleh setiap guru, polisi, penjaga took, pelatih, teman, ataupun musuh yang pernah berhubungan dengan mereka. Akan tetapi, hampir semua pengkondisian terjadi tanpa disadari.” Implikasinya adalah guru harus memposisikan murid sebagai suatu pengetahuan. Kemudian, seperti yang akan kita lihat nanti pada bab ini, tidak ada teknik yang jelas untuk melakukan pengkondisian (memperkuat perilaku yang tepat dalam tatakrama yang sistematis) terhadap diri mereka sendiri sehingga dapat menghasilkan integrasi personal dan otonomi. McPhail membicarakan mengenai behaviorisme dan humanisme dalam satu nafas yang sama, tanpa mengklarifikasi hubungan antara keduanya.
Yang McPhail tegaskan dengan jelas adalah pertentangannya dengan pendekatan rasional terhadap pendidikan moral, yang menghauskan siswa untuk bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari kewajiban moral. “salah satu keistimewaan destruktif dari pemikiran beberapa rasionalis jerman dan protestan barat adalah bahwa moralitas haruslah menempuh jalan yang menyakkitkan – semakin pahit obatnya, maka semakin manjur – ataupun bahwa tidak ada keputusan yang memenuhi syarat sebagai sebagai suatu moral, kecuali individu itu sendiri benar-benar ingin melakukannya. Sikap seperti itu mungkin memberikan kebangkitan lawakan, sedikit teguran, segala yang saya suka juga nampak ilegal, tak bermoral, atau berlebihan!”
Menurut McPhail, moralitas lebih melibatkan gaya kepribadian daripada gaya dalam pemberian alas an. Dia menggunakan istilah “gaya moral,” yang dia definisikan sebagai suatu cara berperilaku yang “afiliatif secara alamiah,” untuk merepresentasikan inti dari fungsi moral. Moralitas disini lebih merupakan suatu hal yang digunakan untuk menyeimbangkan pengakuan yang dapat memicu konflik daripada dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan harmoni individu.pendidikan dalam “gaya hidup yang baik” tidak didasarkan pada “mengajak siswa untuk menerima secara rasional bahwa mengancam orang lain itu diperbolehkan dengan beberapa pertimbangan. . . .endidikan yang efektif itu sendiri adalah merupakan pembelajaran untuk peduli karena hal itu menunjukkan gaya hidup yang penuh pertimbangan dan memotivasi siswa untuk mengadopsi hal itu karena dirasakan sebagai cara hidup yang atraktif dan berkaitan dengan orang lain.” Pebdidikan moral dalam model pertimbangan bertujuan untuk menunjukkan kepada siswa bahwa peduli merupakan cara yang menyenangkkan. Tidak ada model lainnya yang membuat klaim seperti itu, setidaknya tidak dalam bentuk langsung.
Praktek
Walaupun McPhail menegaskan dalam teori Learning to Care – belajar untuk peduli – bahwa “hubungan lebih penting daripada materi” dalam pendidikan moral, program Lifeline menyertakan seri lanjutan dari produk instruksional, yang telah diuji lapangan pada suatu kelas di Inggris kepada lebih dari 20 ribu siswa. Walaupun kurikulum yang aa ditujukan untuk siswa sekolah menengah pertama, tingkat membaca materi, bahkan materi yang paling sulit sekalipun dapat dicapai oleh siswa kelas lima dan enam.
Lifeline dibagi menjadi tiga bagian, yang menghadiahi siswa dengan situasi social yang lebih rumit. Situasi seperti ini biasanya membutuhkan daya nalar yang kuat lebih dari yang diharapkan oleh McPhailterhada rasionalisasi kesadaran diri dalam pendidikan moral. Kenyataannya, ketika kami membandingkan tujuan spesifik Lifeline pada pengembangan moral, kami melihat bahwa tujuan tersebut sesuai dengan model yang berorientasi intelektual yang dibicarakan dalam buku ini (misalnya Shaver, Kohlberg, dan Coombs). Lifeline dirancang untuk menyokong observasi dan memahami segala isyarat, verbal dan nonverbal yang menjadi kebutuhan, minat, dan perasaan yang dimili manusia. Program ini juga bertujuan untuk mempertajam kemampuan siswa dalam mengkalkulasi dan memprediksi konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu aksi dan juga untuk membantu perkembangan akuisisi pengetahuan ilmiah yang relevan dengan proses memahami konsekuensi. Pada akhirnya, Lifeline bertujuan untuk menghasilkan “efek yang holistic; yaitu yang berkaitan dengan mengutarakan fakta, ide, keterampilan, dan pengalaman yang mengandung keputusan yang dapat mempengaruhi pria dan wanita. Dalam pengambilan keputusan, adalah hal yang penting untuk dapat menerobos batas antara disiplin ilmu dan menghubungkan dan mengkombinasikan pengetahuan yang utuh.” Alasan dan pengetahuan memiliki peran penting dalam model pertimbangan, bahkan jika mereka hanya menjadi pelengkap dalam bebrapa aspek dan teori.
Setiap bagian pada Lifeline meliputi sejumlah unit individual. Bagian 1, In Other People’s Shoes, memiliki tiga unit: Sensitivity, Consequences, dan Point of View. Situasi pada bagian ini dibangun dengan permasalahan interpersonal yang dialami di rumah, sekolah, ataupun di lingkungan sekitar. Bagian kedua, Proving the Rule, memiliki lima komponen: Rules and Individuals, What Do You Expect?, Who Do You Think I Am?, In Whose Interest?, dan Why Should I? Unit-unit tersebut beranjak dari tekanan yang cukup sederhana dan konflikdalam hubungan pribadi menjadi konflik kepentingan dalam kelompok dan permasalahan kekuasaan. Pada bagian tiga, What Would You Have Done?, siswa menghadapi situasi moral yang sulit dan dramatis berdasarkan kejadian nyata di masa lampau. Enam booklet pada bagian ini adalah Birth day, Solitary Confinement, Arrest!, Street Scene, Tragedy, dan Gale in the Hospital. Tujuan dari material diatas adalah untuk memperluas perspektif moral siswa terhadap lingkungan masyarakat masa kini dan mendorong perkembangan kerangka nilai yang lebih universal dan lebih dalam.
In Other People’s Shoes
Tujuan dari bagian ini adalah “untuk memulai dari posisi motivasi dan konsentrasi pada pengembangan pertimbangan terhadap orang lain yang muncul pada setiap orang, dalam ukuran sekecil apapun, maka hal itu akan meluas menjadi suatu lingkaran yang tak terputus.” McPhail menuliskan bahwa materi dan strategi pada bagian pertama terdiri dari fitur berikut:
1. Materinya situasional.
2. Situasi-situasi yang ada berasal dari survey yang dilakukan terhadap para remaja.
3. Pernyataan yang ada dalam situasi yang diberikan dibuat singkat sehingga mendorong mendorong mereka untuk menambahkan pernyataan mereka sendiri berdasarkan kejadian yang pernah dialaminya.
4. Pertanyaan yang diajukan lebig banyak berkaitan dengan hal yang dilakukan dan bukan hanya teori belaka.
5. Role play dan representasi dramatis dari aksi yang diberikan secara umum mengacu pada diskusi dan lebih bertujuan untuk melibatkan emosi dan rasio yang kemudia dianggap sebagai apresiasi realistis dan memahami perilaku manusia.
6. Mendorong kecenderungan alamiah remaja untuk bersosialisasi.
7. Motivasi dasar untuk perilaku yang dipertimbangkan disediakan untuk digunakan sebagai materi dalam disposisi terhadap orang lain yang menghasilkan deedback
8. Daftar kejadian adalah list yang open-ended dan mengindikasikan apa yang guru dan siswa dapat lakukan sendiri.
9. Situasi tidak boleh dijalnkan secara terus menerus hing sampai di titik jenuh. Pilihan siswa harus diperkenalkan pada aktu yang memungkinkan, karena keterlibatan siswa sangat esensial.
10. Situasi pada In Other People’s Shoes jang digunakan sebagai hukuman ataupun pekerjaan tambahan.
Unit 1: Sensitivity (sensitivitas)
Unit ini terdiri dari situasi orang per orang yang dikutip dari para remaja dalam survey yang merupakan hal penting dan problematic. Setiap situasi digambarkan dengan warna yang terdapat pada “kartu sensitivitas.” Berikut ini adalah contoh pertanyaan “apa yang kamu lakukan?” pertanyaan dasar ini ditanyakan setelah menyelesaikan setiap situasi sehingga siswa dapat menyatakan, memerankan, neneragakan, menjelaskan dalam tulisan, menggambar, atau berdiskusi mengenai apa yang akan dilakukan jika dia menghadapi situasi seperti itu. McPhail menekankan bahwagurujangan hanya menekankan pada respon verbal karena “pribadi yang valid dan pembelajaran social tergantung pada kondisi emosional, sama halnya dengan respon verbal.”
Berikut ini beberapa contoh situasi yang muncul pada kartu sensitivitas:
Kamu mengetahui bahwa teman baikmu melakukan suatu hal yang akan membuatnya menderita. Apa yang kamu lakukan?
Ibumu sedang cape dan teralihkan oleh anak kecil sehingga beliau tidak mendengarkan hal penting yang ingin kamu sampaikan. Apa yang kamu lakukan?
Kamu meminjamkan mantel kepada sepupumu; ketika mantel itu dikembalikan, terdapat bekas sundutan rokokpada kerah bajunya. Apa yang kamu lakukan?
Salah seorang kenalanmu seringkali memotong pembicaraan dan mencoba untuk mengganti subjek ketika kamu berbicara dengan orang lain. Apa yang kamu lakukan?

Untuk setiap situasi, McPhail telah menggarisbawahi tipikal respon siswa, yang dia kategorikan dalam beberapa istilah taksonomi moral yang dijelaskan pada halaman 54. Pada taksonomi ini, “kepasifan” dianggap sebagai reaksi kedewasaan terhadap situasi konflik sosial; “pertolongan imajinatif” dianggap sebagai reaksi yang paling dewasa. Reaksi pasif direfleksikan dengan keputusan siswa untuk tidak melakukan apapun. Reaksi “emosional pasif” diindikasikan dengan jawaban “tidak melakukan apapun, tetapi merasa sangat kesal.” “ketergantungan terhadap orang dewasa” satu langkah maju dalam taksonomi, hal ini disarankan jika siswa bergantung pada kekuasaan orang tua ataupun guru dalam memberikan suatu solusi. Di sisi lain, siswa yang menanyakan kepada teman sebaya untuk jwaban yang dibutuhkan, maka dia memiliki “ketergantungan terhadap orang dewasa.” McPhail melihat reaksi “agresif” sebagai solusi yang mengancam dan destruktif, kemudian keagresifan ini ditempatkan pada level yang lebig tinggi dari ketergantungan dan kepasifan dalam taksonomi (tidak ada rasionalisasi dalam pemberian rating ini). Respon “Experimental Crude (eksperimental sederhana)” terlihat merepresentasikan solusi yang bijaksana. Bentuk yang lebih sederhana dari kebijaksanaan masuk kedalam kategori “Eksperimental Sophisticated (eksperimental canggih),” walaupun begitu, McPhail tidak membedakan kedua jenis tersebut secara gamblang. Pada posisi teratas dari taksonomi terdapat respon yang dewasa: “mature conventional (dewasa konvensional)” dan “mature imaginative (dewasa imajinatif).” Respon konvensional menunjukkan sedikit pemikiran mandiri, akan tetapi mereka menunjukkan dasar-dasar prosedur yang benar. Sayangnya, merupakan hal yang sulit untuk membedakan antara “adult dependency” dengan “mature conventional” dalam berbagai contoh. “Mature imaginative” memiliki karakter yang original dan solusi yang efektif untuk permasalahan sosial.
McPhail memperingatkan bahwa taksonomi tersebut jangan digunakan dalam diskusi yang melibatkan level yang lebih tinggi. Hal tersebut menguntungkan karena kategori yang ada dalam taksonomi tersebut tidak didefinisikan dengan jelas. Akan tetapi terdapat beberapa kegunaan dalam sistem klasifikasi. Sistem itu haruslah “membantu guru untuk mengenali kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam situasi yang diberikan . . . membantu guru untuk mengenal kesulitan remaja dalam perjalanannya mencapai posisi yang lebih baik . . . menyediakan daftar respon yang dapat digunakan guru untuk bahan diskusi, role-play, ataupun dalam bentuk lainnya.” Pernyataan diatas kurang dapat menjelaskan secara spesifik kepada guru mengenai cara penggunaan taksonomi tersebut. Sehingga relevansinya kurang jelas.
McPhail memberikan rangkaian prosedur mengajar yang cukup jelas dengan menggunakan kartu sensitivitas. Walaupun McPhail menganjurkan kepada guru untuk bereksperimen dengan strategi alternatif yang dimiliki, akan tetapi beliau telah sukses melaksanakan pendekatan mengajar berikut ini pada berbagai kelas:
1. Bacalah atau tuliskan di papan tulis, situasi yang harus dipertimbangkan.
2. Mintalah siswa untuk menuliskan pada sehelai kertas, hal yang akan mereka lakukan pada situasi tersebut.
3. Mintalah siswa untuk memperagakan hal yang mereka tuliskan atau kumpulkan kertasnya dan pilih salah satu murid untuk mulai memperagakan aksinya.
4. Mintalah sekelompok siswa yang memiliki respon yang sama untuk melakukan role-play mengenai situasi tersebut, respon yang mereka miliki dan hal yang sekiranya akan terjadi dalam situasi tersebut.
5. Pancinglah kritisisme siswa terhadap respon yang diberikan dan aspek lainnya yang terdapat dalam role-play yang diberikan.
6. Lanjutkan dengan menyajikan role-play yang dilakukan oleh siswa selama mereka masih berminat untuk melakukannya.
7. Buatlah ringkasan yang dibuat oleh siswa dan juga guru mengenai respon yang telah diajukan oleh guru dengan aturan yang jelas. Akan lebih baik jika guru mengundang pihak yang pro dan kontra untuk berdiskusi dan memberikan penilaian akhir.
Unit 2: Consequences (konsekuensi)
Unit ini terdiri dari 71 kartu situasi. Situasi yang diberikan pada unit “konsekuensi” berbeda dengan yang ada pada unit “sensitivitas”. Unit “konsekuensi” melibatkan sejumlah besar partisipan dan bertujuan untuk mengoreksi kecenderungan untuk menilai moralitas secara eksklusif seperti “bagaimana A memperlakukan B” yang didapat dari kepedulian remaja terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Situasi yang diberikan dapat menstimulasi remaja untuk berpikir mengenai moralitas dalam hubungan orang per orang, hubungan dengan pihak ketiga, dengan pandangan yang lebih objektif dan dalam perspektif yang berbeda.
Pertanyaan dasar yang muncul dalam kartu konsekuensi adalah “apa yang akan terjadi selanjutnya?” sama halnya dengan bab sensitivitas, kartu dapat dibagikan kepada per orang maupun kelompok, baik pilih-pilih maupun secara acak yang digunakan sebagai stimulus untuk role-play, miming, menulis, diskusi, karya seni, ataupun suatu survey sehingga prediksi siswa mrngenai konsekuensi yang akan terjadi dalam suatu situasi dapat didokumentasikan. McPhail melaporkan bahwa sebagian besar guru berpendapat bahwa siswa menikmati permainan kartu tersebut, mereka menyukai ketidakpastian mengenai kartu apa yang akan didapatkan. Berikut ini contoh-contoh situasi dalam “konsekuensi”:

Seseorang mencari kawan untuk minum minuman keras lebih dari seharusnya.
Seseorang membeli anak anjing tanpa mempertimbangkan apakah dia mampu
memeliharanya.
Seseorang mengendarai mobil tanpa memiliki asuransi.
Seseorang menyalahkan kelompok minoritas atas segala hal buruk yang terjadi di
negaranya.
Unit 3: Points of View
Unit ini mengkonsolidasi dan melengkapi bagian pertama program Lifeline. Unit ini mendorong siswa untuk “berperan sebagai orang lain” sebelum mereka akhirnya mengatakan apa yang akan mereka lakukan pada situasi tertentu. Terdapat 63 situasi konflik dalam unit ini. Situasi-situasi itu disusun berdasarkan tema berikut:
Perilaku seks; konflik usia; perilaku siswa; konflik SARA; dan konflik psikologis. Misalnya dalam kategori seks, terdapat informasi sebagai berikut:
Situasi 1. Posisi anak perempuan
Saya adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga saya dan sayalah yang mengurus pekerjaan rumah tangga ketika ibu saya di rumah sakit. Saya merasa bahwa saudara laki-laki saya seharusnya ikut membantu saya dalam melaksanakan urusan rumah tangga, maka saya pun menyuruhanya untuk bersih-bersih dan mencuci piring, tetapi dia menolak melakukannya dan mengatakan bahwa itu bukan pekerjaan laki-laki.
Coba posisikan dirimu menjadi gadis itu. Apa yang akan kamu lakukan, katakan, dan rasakan mengenai hal tersebut? Solusi apa yang dapat diberikan?
Posisi anak laki-laki
Saudara perempuan saya mengurusi pekerjaan rumah tangga ketika ibu kami di rumah sakit. Dia menyuruh saya untuk bersih-bersih dan mencuci piring. Tapi saya tidak mau melakukannya karena saya rasa itu adalah pekerjaan perempuan.
Coba posisikan dirimu menjadi anak laki-laki itu. Apa yang akan kamu lakukan, katakan, dan rasakan mengenai hal tersebut?
Proving the Rule (membuktikan aturan)
Tujuan “proving the rule” pada bagian kedua program Lifeline adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memnerikan solusi terhadap berbagai masalah yang biasa muncul ketika mereka akan mencapai masa dewasa.
Materi yang diberikan tidak fokus pada masalah sosial dan moral masa kini, seperti masalah ketergantungan obat ataupun perilaku seks yang tidak bertanggung jawab. McPhail yakin bahwa “kita harus menekankan aspek positif dalam pekerjaan yang kita lakukan.” Proving the Rule bukanlah unit yang secara langsung menganalisis isu publik yang kontroversial, walaupun begitu, keterampilan dan disposisi dalam unit ini relevan dengan pemahaman mengenai masalah kritis sosial.
Proving the Rule mengeksplorasi masalah yang menurut Paul (seorang remaja) hadapi dalam setting sosial di sekolah, di rumah dan pekerjaan. Lima booklet dalam unit ini memiliki fokus yang berbeda dan di bahas seperti dibawah ini.
Unit 1: Aturan dan Individu
Unit ini terdiri dari sejumlah situasi singkat yang menyoroti masalah yang pernah dialami Paul. Tema dalam unit ini adalah:
1. Kompleksitas suatu aturan. “Aturan” disini meliputi hukum, regulasi, prinsip dan aturan yang berlaku umum dan jenis-jenis aturan yang berbeda tersebut memasuki ranah moralitas dengan berbagai cara.
2. Permasalahan yang muncul ketika terdapat konflik antar aturan.
3. Permasalahan yang muncul ketika terdapat kecenderungan terhadap suatu aturan.
4. Pentingnya keputusan dalam moralitas.
“Paul seorang pelanggar hukum” merupakan salah satu contoh situasi dalam unit ini:
Paul menjadi sukarelawan untuk kotak amal sekolah. Waktu itu hari rabu dan dia sudah berjanji mengajak Liz ke bioskop. Tetapi dia sedang tidak memiliki uang. Maka dia pun “meminjam” beberapa dolar dari uang amal dan tertangkap basah sehingga dia dipanggil Kepala Sekolah. Kepala sekolah memanggil orang tua Paul dan memberi tahu kepada mereka bahwa Paul di skors selama satu minggu.
Pertanyaan:
1. Apakah menurutmu kepala sekolah bersikap adil dalam situasi tersebut? Apa yang kamu lakukan jika kamu menjadi kepala sekolah?
2. Menurutmu bagaimana reaksi orang tua Paul terhadap situasi ini? Apakah mereka juga akan menghukum Paul? Jika ya, bagaimana?
3. Pikirkan beberapa aturan dimasyarakat yang sudah tidak berlaku. Kemudian pikirkan apa yang akan kamu lakukan jika:
a. Apakah kamu merasa bahwa hukuman yang diberikan adil?
b. Jika tidak, hukuman apa yang menurutmu adil.
4. Bagaimana dengan orang-orang yang melanggar aturan dan tidak ditangkap. Dalam situasi di sekolah, di bioskop, dan di rumah.
Yang harus dilakukan
1. Dialog dalam role-play yang melibatkan tokoh Paul dan Kepala Sekolah.
Unit 2: Apa yang kamu harapkan?
Unit ini dirancang untuk membantu remaja menguji norma dan struktur yang dimiliki orang dewasa secara lebih eksplisit. Bagian pertama unit ini menyoroti tentang ekspektasi sosial dan moral; bagian kedua mengenai ekspektasi hukum.
Pada unit 2, siswa diharapkan untuk dapat memperluas perspektif sosial yang telah ada pada unit 1. Konsep hukum dan institusi dalam masyarakat secara umum, mengalami kenaikan yang signifikan. Konflik yang diberikan dalam unit “apa yang kamu harapkan” meliputi implikasi hukum dan psikologis dari kurangnya perhatian ayah kepada anaknya dalam hal pendidikan dan kedewasaan, hak siswa untuk melindungi loker mereka dari pihak yang tidak berwenang, dan seorang pekerja yang dieksploitasi bosnya. Melalui materi ini, siswa mendiskusikan masalah yang cukup sulit dalam hubungan sosial.
Unit 3: menurutmu aku siapa?
Booklet ini berkaitan dengan masalah persepsi orang dan mendefinisikan diri sendiri. Gagasan seperti stereotyping, scapegoating, dan idealisasi terhadap figur publik serta masalah komunikasi akan dibahas dalam unit ini. Premis yang dimiliki dalam unit ini adalah para remaja perlu mengembangkan konsep personal yang aman dan realistis ketika mereka harus menghadapi masalah sosial yang berkaitan dengan integritas. Menurut McPhail, booklet ini dirancang untuk membantu remaja dalam menghadapi situasi konflik dan mempertentangkan ekspektasi dengan membantu mereka membangun ide mereka sendiri. Berikut ini adalah pelajaran yang dapat diambil dari unit ini sebagai berikut:
Teman-teman John menganggapnya sebagai orang yang cerdas karena dia adalah mekanik yang baik. John senang dengan anggapan itu. John sangat tidak menyukai sekolah, maka dia pun tidak bergaul dengan anak-anak cerdas di sekolah.
John menyebut mereka kutu buku.
Mereka pun memanggil John sebagai orang bodoh.
John dan sekelompok siswa ini tidak pernah bicara satu sama lain karena mereka tidak menghargai satu sama lain.
John perlu dikagumi sebagai mekanik yang baik karena dia melihat dirinya sebagai orang yang seperti itu. Sekelompok siswa lainnya juga perlu dikagumi pekerjaan mereka yang baik di sekolah.
Sebagian besar orang mengelompokkan orang lain kedalam “tipe-tipe” ataupun “jenis-jenis” tertentu.tentu saja kita tidak dapat melabeli mereka begitu saja. Jika anda melabeli seseorang hanya berdasarkan salah satu aspek yang ada dalam dirinya, maka anda tidak akan mengetahui hal apapun yang sebenarnya dari dirinya.
Dapatkah seseorang memberimu label “remaja” dan berpendapat mengenai dirimu?
Pertanyaan
1. Tulislah daftar label yang pernah kamu gunakan untuk menilai orang lain.
2. Gambarkanlah beberapa toples, beri label, kemudian masukkan nama-nama orang yang pernah kamu labeli sesuai dengan label yang ada pada toples.
Unit 4 dan 5: “Untuk kepentingan siapa?” dan “kenapa harus saya?”
Unit ini menyajikan situasi yang paling kompleks dan paling nyata. Unit 4 fokus pada hubungan kelompok. Siswa dibantu untuk dapat menemukan unsur kepentingan pribadi dan kepentingan politik dalam kegiatan kelompok dan juga untuk dapat memperlihatkan konflik yang mungkin muncul dalam aktivitas seperti itu. Tema utama unit 5 adalah otoritas orangtua, otoritas kelompok, aturan sosial, media, mitos, dan pengetahuan. Tujuan yang terkandung dalam unit ini adalah menjelaskan kepada para remaja mengenai hakikat kewenangan yang mereka pahami selama ini. Siswa dibantu untuk menguji otoritas dengan cara yang objektif dan informatif. Pada unit 4, terdapat suatu situasi dengan judul “kehidupan sekolah”, yang menggambarkan sekelompok siswa SMA yang melakukan aksi untuk bisa mendapatkan kelas baru dan laboratorium yang baru. Pada suatu segmen di unit 5 yang membahas otoritas media, memunculkan pertanyaan mengenai kredibilitas media dalam menyampaikan berita. Kedua unit tersebut memunculkan pemikiran yang kritis dan sistematis.
What Would You Have Done? (Apa yang telah kamu lakukan?)
Pada bagian ini, saat-saat dramatis dalam sejarah memberikan batu loncatan untuk refleksi moral. Pada seri ini terdapat enam booklet yang masing-masing dibuat dengan kondisi historis yang berbeda. Birth Day (Hari lahir), ber-setting di Durban, Afrika Selatan, pada 1904 yang bercerita mengenai bayi orang Afrika yang ditangani oleh dokter misionaris yang berasal dari Amerika. Solitary Confinement (penjara/kurungan yang tersendiri) memiliki setting di Inggris pada tahun 1917 dan menerapkan sikap berhati-hati dalam bidang militer. Arrest! (penangkapan) ber-setting di Amsterdam pada tahun 1944 dan berkaitan dengan penangkapan Anne Frank dan keluarganya yang beragama yahudi yang bersembunyi dari tentara Jerman yang saat itu menduduki Belanda. Street Scene (peristiwa jalanan) terjadi di Los Angeles pada tahun 1965 dan fokus pada suatu episode dimana seorang pria kulit hitam diminta untuk menghentikan mobilnya karena mabuk ketika mengemudi. Tragedy (Tragedi), Vietnam Selatan 1966, memiliki karakter utama seorang laki-laki berumur 14 tahun yang dirawat di rumah sakit karena luka bakar serius. Gale in the hospital (Gale di rumah sakit) ber-setting di London, tahun 1969 yang merupakan kisah mengenai seorang gadis remaja yang dirawat di rumah sakit karena efek dari mengkonsumsi obat-obatan terlarang. “What Would You Have Done?” dapat di integrasikan dengan studi akademik lainnya seperti Sejarah, Ilmu Sosial, dan bahasa Inggris.
Kurikulum yang dimiliki Lifeline berisi pendekatan pendidikan moral yang komprehensif. Situasi yang diberikan dimulai dari yang sederhana yang hanya melibatkan orang per orang kemudian berlanjut hingga ke masalah yang semakin kompleks. Materi dalam Lifeline dapat diberikan kepada kelompok maupun perorangan dan bisa dalam bentuk essai hingga sosiodrama. Menurut para guru yang di Inggris yang telah menggunakan Lifeline, mereka mengatakan bahwa kurikulum dalam Lifeline sukses menarik minat siswa dan mengembangkan kepedulian sosial siswa.

Ringkasan dan Penilaian
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Model yang McPhail tawarkan terlihat lebih mengesankan dalam hal pelaksanannya jika dibandingkan dengan teorinya. Untuk kajian teoritis yang lebih lengkap, kami sarankan anda membaca model Kohlberg, Shaver, Newmann. Akan tetapi, kekurangan teori McPhail ini jangan sampai menggelapkan nilai yang dimiliki dalam materi Lifeline. Kartu dan booklet dirancang dengan atraktif, isinya disesuaikan dengan kehidupan sebenarnya, dan pertanyaannya pun dibuat untuk dapat menstimulasi pemikiran siswa. Sayangnya, ketiadaan landasan teoritis membuat guru menjadi kurang yakin akan fokus dan tujuan kurikulum yang ditawarkan.
Argumen teoritis McPhail kurang koheren. Analisisnya mengenai sumber motivasi dalam perilaku moral, sangat terfragmen dan tidank konsisten. Dia berpendapat bahwa “orang cenderung memperlakukan orang lain dengan pertimbangan kebutuhan, perasaan, dan ketertarikan tanpa ada penilaian terhadapan nilai yang telah ada sebelumnya. Kita diyakinkan bahwa hal itu terjadi dan hal itu terjadi karena memperlakukan orang lain dengan baik merupakan hal yang menyenangkan. Tidak perlu dilakukan penelitian mengenai etika ataupun moralitas untk dapat mengetahui bahwa terdapat kepauasa tersendiri jika kita dapat memberikan apa yang orang lain butuhkan. “ maka kita punbertindang dengan moral karena kita merasa senang melakukannya. Virtue tentu saja memiliki rewardnya tersendiri dalam model pertimbangan. Walaupun begitu, McPhail gagal untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dia maksud dengan “kesenangan” dan atas dasar apa dia dapat memutuskan bahwa itu adalah motivasi paling penting dalam perilaku moral. Dia kemudian tidak menjelaskan lebih lanjut megenai hala tersebut, tetapi malah menambahkan bahwa terdapat 16 faktor lainnya yang termasuk ke dalam motivasi moral. Faktor tersebut berkisar antara semangat umat Kristen terhdapa agape, atau cinta yang tidak terkondisikan, sampai gagasan Freudian mengenai superego, hingga gagasan Bergson moral spontan. Akan tetapi McPhail hany berkontribusi sedikit dengan mengintegrasikan ke 16 perspektif tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Laporannya lebih seperti seperti serangkaian konflik persepsi daripada menjadi sebuah sintesis. Dia sepertinya ingin memiliki kuenya dan juga ingin memakannya – dia ingin mengklaim bahwa kesenangan adalah prinsip dasar dalam motivasi moral, tetapi penjelasan lainnya yang bertentangan pun masuk akal.
McPhail cenderung menyembunyikan ke-tidak konsisten-an dibalik retorika pengelakan. Dia menyatakan bahwa “pengkondisian” dan “pemrograman” adalah persediaan kebutuhan yang dimiliki guru. dia berpandangan bahwa, “. . . setiap manusia sudah terkondisikan … Semua orang dewasa pernah mengalami msa pertumbuhan remaja. Kami berpendapat bahwa lebih baik kita mengetahui sesuatu yang sedang terjadi, untuk mengakui dan memahami adanya pengaruh dari hal itu, daripada kita menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kita memberi kebebasan kepada anak kita untuk tumbuh dengan caranya sendiri. Itu adalah pnipuan terhadap diri sendiri yang cukup berbahaya.” Kemudian McPhail menyiratkan konsep determinis dan mekanis dalam perilaku moral. Kemudian dia juga menuliskan bahwa kita harus membantu siswa untuk dapat menjadi orang yang “fleksibel, humanis” dan mampu untuk “memilih, membangun dan mengembangkan kondisi masyarakat sekitar, tempat dimana mereka dan anak-anak mereka akan tinggal . . . . sekali waktu mereka kehilangan kendali terhadap lingkungannya, merasa ahwa dirinya hanyalah bidak dari proses historis yang abstrak, maka mereka akan mengalami banyak kesulitan dalam menganggap dirinya sendiri mauoun orang lain sebagai satu individu yang utuh.”
Bagaimana guru menyiapkan siswa untuk mnghadapi segala kemungkinan? Bagaimana membebaskan karakter seseorang? Atau dari sudut pandang lain, mengapa kita perlu mengkondisikan jika perilaku moral adalah hadiah itu sendiri? Gagasan mengenai kebebasan dan determinisme biasanya tidak dikritisi dan tidak diperhatikan. McPhail berusaha untuk mengintegrasikan gagasan-gagasan berikut yang direfleksikan sebagai berikut:
Bentuk lain dari ketakutan biasanya di ungkapkan dalam istilah mengkondisikan dan mencuci otak siswa. Kinerjanya tidak bergantung pada kondisi orang yang melakukan pengkondisian itu, secara ilmiah, Skinnerian merasakan kata-kata yang disalahgunakan tersebut. Tidak ada respon “benar” yang dihadiahi dengan permen, tidak ada respon “tidak” yang dihadiahi hukuman. Apa yang salah atau benar, sesuai atau tidak sesuai, menyenangkan atau tidak ditentukan oleh feedback siswa secara individu dan kolektif, dan bukan ditentukan oleh sang penguji coba. Imbalannya adalah hal yang dirasakan individu mengena fungsi mereka untuk kemanusiaan.
Pengkondisian seperti apa yang muncul di pikiran mereka? Lalu apa yang dia maksud dengan pernyataan bahwa yang menentukan kebenaran dari suatu kondisi adalah feedback dari siswa? Apakah dia bermaksud untu menyatakan bahwa apa yang diputuskan adalah benar secara moral? Lalu bagaimana dengan istilah “peer-dependent”, atau “agresif” maupun “experimental crude,” yang McPhail gunakan? Apakah feedback dari siswa dapat memberikan penilaian akhir dalam keputusan moral? Bagaimana hal tersebut berkaitan dengan ide yang menyatakan bahwa kita mendapatkan imbalan karena fungsi kita dalam kemanusiaan? Bukankan imbalan yang diberikan pada remaja berbeda pada tiap tahap pertumbuhan moralnya? Apakah pemuda yang “agresif” mendapatkan imbalan yang sama dengan yang “dependent?” McPhail meninggalkan kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi aspek pokok dalam teorinya.
Kami telah menggarisbawahi bahwa taksonoi McPhail mengenai respon moral sulit di definisikan. Terlebih lagi, tidak ada penjelasan mengenai bagaimana mekanisme seorang remaja dapat berpindah dari suatu tahap ke tahap selanjutnya. Jika pengkondisian dianggap salah satu aspek dalam perkembangan moral, maka disini McPhail tidak memperlihatkan bagaiman hal itu mempengaruhi transisi seseorang dari satu level respon kepada level selanjutnya. Sepertinya, jika pengkondisian memiliki pengaruh yang kuat, maka guru dapat mengkondisikan siswa untuk berperilaku layaknya orang dewasa tanpa menunggu mereka untuk dapat melewati fase tertentu. Kemudian McPhail menyatakan bahwa masa remaja adalah masa untuk melakukan eksperimen sosial dimana seorang remaja harus didorong untuk mencoba berbagai peran dan identitas. Sekali lagi, merupakan hal yang sulit untuk dapat menemukan batasan yang jelasdalam posisi psikologis McPhail.
Guru harus berhati-hati dalam memandang kecenderungan McPhail untuk mendefinisikan kedewasaan moral yang berkaitan dengan etnis mayoritas. Seperti yang disebutkan dalam survey penelitian, McPhail menyelaraskan norma yang ada dalam komunitas kelas menengah dengan kedewasaan moral. Sedangkan dalam seri Proving the Rule, dia sepertinya berusaha untuk mengembangkan pemikiran kritis dan “postconventional”, dengan meminjam istilah dari model Kohlberg, pembuatan keputusan yang original dan independen tidak terlalu ditekankan dalam tulisan teoritis McPhail. Dan juga dalam panduan untuk guru, tidak terdapat pembahasan mengenai bagaimana cara menggali respon siswa untuk dapat menstimulus pemikiran siswa dalam level yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, model pertimbangan dilihat sepertinya lebih memperhatikan perkembangan respon konvensional daripada penilaian sendiri (otonomi).
Kekuatan dari pendekatan pertimbangan bersandar pada materi Lifeline. Jika guru dapat memasukkan pandangan teoritis kedalam materi seperti yang diberikan pada model lainnya (seperti Shaver dan Kohlberg), maka program Lifeline memberikan kontribusi yang sangat bernilai dalam usaha pendidikan moral.



Referensi
Sumber utama
McPhail, Peter, J. R. Ungoed-Thomas, and Hillary Chapman. Lifeline. Niles, III.: Argus Communication, 1975.
Bacaan lainnya
Erikson, Erik H. Identity: Youth and Crisis. New York: Norton, 1968.
Flavell, J. H. The Development of Role Taking and Communication Skills in Children. New York: Wiley, 1968.
Kaye, B., and I. Rogers. Group Work in Secondary Schools. London: Oxford University Press, 1968.
Shaftel, Fannie, and George Shaftel. Role Playing for Social values: Decision Making in The Social Studies. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967.












5
PROSES PENILAIAN
DAN
MODEL KLARIFIKASI

Hidup dalam demokrasi dapat memaksimalkan kesempatan seseoran dalam pengambilan keputusan. Pilihan yang dibuat oleh seorang individu merefleksikan nilai pribadi dan pada saatnya akan membantu menentukan nilai-nilai tersebut. Klarifikasi nilai berupaya membantu individu memutuskan apa yang harus diberi nilai. Advokat klarifikasi nilai menyampaikan bahwa dalam area yang “kaya nilai” seperti politik, agama, persahabatan, cinta, seks, ras dan uang, pembuatan keputusan adalah subjek yang sangat berpengaruh. Siswa dihadapkan pada pengaruh pengasuhan orang tua, teman sebaya, sekolah dan agama, yang terkadang berlawanan satu sama lain. Dampak dari variabel tersebut, seperti orang tua yang bekerja, perceraian, televisi, sekolah besar, guru yang berbeda, teman yang beragam, dan perjalanan terkadang berakibat pada kebingungan nilai. Fungsi dari pendidikan sekolah khususnya, yang berkaitan dengan pendidikan nilai, juga membingungkan. Saat sekolah telah menjadi lebih bergabung secara geografis, sekolah tersebut telah berpindah dari mengajar nilai yang seragam dalam suatu komunitas kecil menjadi mengajar tanpa ada nilai yang khusus, menekankan pemerolehan pengetahuan. Tetapi sekolah tersebut melanjutkan untuk mengajar tentang nilai melalui kurikulum tidak tetap atau kurikulum “tersembunyi.” Yang terlalu sering, apa yang diajarkan adalah kepatuhan pada kekuasaan dan kesadaran bahwa teladan orang dewasa tidak sesuai dengan nilai dan nasihat moral mereka sendiri.
Jawaban dari masalah ini, Louis Raths, Merril Harmin, dan Sidney Simon telah mengemabngkan model untuk pendidikan nilai yang disebut klarifikasi nilai. Model ini adalah upaya untuk membantu orang menurunkan kebingungan nilai dan meningkatkan serangkaian nilai melalui proses penilaian (valuing process).
Pokok yang mendasari proses ini adalah kebutuhan untuk menghhindari indoktrinasi dari pandangan dan meningkatkan kegunaan alasan dalam penentuan nilai. Proses klarifikasi nilai didesain untuk meningkatkan pilihan nilai berakal melalui proses pemilihan, penghargaan dan tindakan.
Klarifikasi nilai memiliki empat elemen:
1. Fokus pada kehidupan. Klarifikasi nilai fokus ada masalah kehidupan yang relevan. Hal ini membuat siswa fokus pada gaya hidup mereka dan bagaimana prioritas pribadinya merefleksikan hirarki nilai.
2. Penerimaan terhadap sesuatu. Penting untuk menunjukkan pada siswa penerimaan yang nonjudgmental terhadap posisi nilai mereka. Hal ini tidak hanya berarti bahwa kita mengkomunikasikan penerimaan akan apa yang seseorang katakan atau lakukan. Penerimaan ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam menerima diri mereka sendiri sebagai individu dan menjadi jujur pada diri mereka sendiri.
3. Undangan untuk refleksi lebih lanjut. Klarifikasi nilai tidak hanya membangun penerimaan tetapi juga refleksi nilai. Hal ini dilakukan melalui (a) “pilihan yang lebih terinformasi, (b) kesadaran yang lebih akan apa yang seseorang junjung dan hargai, dan (c) integrasi yang lebih baik dari pilihan dan penghargaan ke dalam perilaku sehari-hari.”
4. Asupan kekuaatan personal. Pendukung klarifikasi nilai berpegang bahwa saat individu terlibat dalam klarifikasi nilai, mereka dapat memperoleh rasa arah dan pemenuhan diri.

TEORI
Model klarifikasi nilai berasal dari analisis hubungan antara nilai dan perilaku. “Kami telah menemukan bahwa beberapa jenis masalah anak-anak terkadang muncul di sekolah dan di rumah yang dapat dilihat disebabkan oleh nilai, atau lebih tepatnya, karena kekurangan nilai.” Memperluas anggapan ini, teori ini menyatakan bahwa seberapa jelas kita melihat diri kita dalam hubungannya dengan masyarakat akan menetukan perilaku yang akan kita tunjukkan. Kirschenbaum menekankan poin ini dalam upayanya untuk mengklarifikasi teori ini:
Keprihatinan mengenai konsekuensi posisi seseorang –baik personal maupun sosial– telah menjadi pusat proses klarifikasi. Sejak awal, klarifikasi nilai telah mendorong “kejelasan” statis, malahan, hal tersebut adalah perkembangan berkelanjutan dari nilai seseorang, temasuk tindakan yang diambil, yang diberi nilai.
Ahli teori klarifikasi nilai percaya bahwa mereka yang jelas mengenai hubungan apa yang ada di antara mereka senduru dan masyarakat akan menjadi yang paling sering menunjukkan kualitas positif, bertujuanm entusiastik, bangga dan konsisten. Mereka yang kebingungan menunjukkan kecenderungan menjadi apatis, bertingkah laku tak karuan, tidak pasti, tidak konsisten, gamang, terlalu menyesuaikan diri, dan terlalu berselisih paham. Kebingungan mengenai nilai seperti itu tidaklah mengejutkan dalam masyarakat demokratis yang kompleks yang secara konstan mengalami “future shock.” Tetapi kita tidak harus menerima kondisi kebingungan ini. Model klarifikasi nilai adalah upaya untuk memberikan solusi pendidikan –sebuah proses penilaian yang dapat diajarkan –yang akan mengurangi gejala perilaku kebingungan nilai.

Apa itu Nilai?
Nilai-nilai berasal dari pengalaman sosial. Orang yang secara konstan mencari dan mempelajari panduan terhadap perilaku; panduan ini cenderung memberi fokus pada kehidupan dan disebut dengan nilai. Salah satu tujuan daru klarifikasi nilai ini adalah untuk membantu orang-orang memperoleh nilai yang memungkinkan mereka untuk menghubungkan pada dunia mereka yang selalu berubah dalam cara yang cerdas dan memuaskan. Nilai bukanlah posisi yang tetap atau kebenaran abadi. Malahan, nilai adalah dasar-dasar yang menuntun pribadi individu dan pengalaman sosial.
Oleh karena itu kami melihat nilai sebagai sesuatu yang secara konstan berkaitna dengan pengalaman yang membentuk dan mengujinya. Untuk siapa pun, nilai bukanlah kebenaran yang sangat keras dan teguh karena nilai adalah hasil dari tempaan gaya hidup dalam serangkaian lingkungan tertentu.
Model klarifikasi nilai tidak berhubungan dengan apa yang seseorang percayai seperti dengan bagaimana ia mempercayai.
Oleh karena itu kami tidak dapat memastikan apakah nilai, gaya hidup, akan sesuai untuk tiap orang. Tetapi, kami memiliki sejumlah pemikiran mengenai proses apa yang sangat efektif untuk memperoleh nilai.

Proses Penilaian
Untuk sampai pada nilai kita sendiri, kita harus terlibat dalam proses pemilihan, penghargaan, dan bertindak dalam seluruh nilai tersebut. Proses klarifikasi nilai secara keseluruhan sebenarnya melibatkan tujuh subproses:
Pemilihan : (1) secara bebas, (2) dari alternatif-alternatif, dan (3) setelah pertimbangan yang matang dari konsekuensi tiap alternatif.
Penghargaan: (4) berpegang teguh, bahagia dengan pilihan; (5) berkeinginan untuk menguatkan pilihan di depan umum.
Bertindak: (6) melakukan sesuatu dengan pilihan (7) secara berulang-ulang, dalam pola kehidupan yang sama.
Penjelasan dari tujuh subproses tersebut dapat diteruskan seperti berikut:
1. Pemilihan secara bebas. Terdapat sedikit kecenderungan bahwa seorang individu yang dipaksa untuk mengadopsi nilai tertentu akan mengintegrasikan nilai tersebut ke dalam struktur nilainya.
2. Pemilihan dari alternatif. Hal ini sangat erat berkaitan dengan subproses pertama. Membuat sejumlah pilihan yang ada pada individu meningkatkan kesempatan dimana individu dapat memilih dengan bebas.
3. Pemilihan setelah pertimbangan konsekuensi. Penilaian adalah sebuah proses pemikiran matang dimana individu berupaya secara sadar untuk merefleksikan apa yang akan terjadi, jika ia memilih sebuah nilai tertentu. Memilih sesuai suara hati tidak akan membawa pada sebuah sistem nilai berakal.
4. Penghargaan dan berpegang teguh. Menurut raths, kita sebaiknya menghargai nilai kita dan mempertimbangkannya sebagai aspek integral dari kehidupan kita. Kita seharusnya bangga akan nilai-nilai yang kita pegang.
5. Penguatan. Jika kita telah memilih nilai kita secara bebas setelah mempertimbangkan konsekuensinya, lalu kita seharusnya berkeinginan untuk menguatkan nilai-nilai ini. Kita tidak harus malu akan nilai yang kita pegang tetapi sebaiknya membaginya ketika ada kesempatan muncul.
6. Bertindak atas pilihan. Nilai yangkita pegang sebaiknya muncul dari tindakan kita. Faktanya, aktivitas kita sebaiknya merefleksikan nilai yang kita pegang.
7. Pengulangan. Jika kita bertindak berdasarkan nilai yang kita hargai, kita sebaiknya melakukannya dengan konsisten dan dalam pola yang berulang. Jika tindakan kita tidak konsisten dengan nilai yang kita pegang, maka sebaiknya kita memeriksa hubungan antara nilai dan tindakan kita dengan lebih dekat.

Proses penilaian diterapkan pada tiga jenis kandungan. Pertama, terdapat aspek-aspek dari kehidupan seseorang yang disebut sebagai indikator nilai (contohnya, tujuan atau aspirasi). Sehingga, diskusi dapat difokuskan pada klarifikasi persoalan dan aspirasi siswa. Sumber lain dari kandungan ini adalah masalah pribadi yang kita hadapi. Hal ini termasuk permasalah mengenai cinta, persahabatan, seksualitas, pekerjaan, pernikahan dan loyalitas. Akhirnya, sejumlah permasalahan sosial dapat diperiksa melalui klarifikasi nilai. Permasalahan seperti kemiskinal dalam komunitas, rasisme, kebebasan berpendapat dan hak untuk mogok dapat dimasukkan sebagai proses klarifikasi nilai.
Satu masalah dengan menerapkan tujuh subproses kurang akan kriteria spesifik. Berapa banyak alternatif yang harus ada? Berapa sering tindakan yang harus diulangi? Apa yang dianggap sebagai “matang” dalam mempertimbangkan komsekuensi? Menyadari ini, Kirschenbaum telah meluaskan proses klarifikasi nilai dengan melingkupinya dengan lima dimensi: berpikir, merasakan, memilih, berkomunikas dan bertindak.
Berpikir dan merasakan telah menjadi perhatian besar yang utama pada perluasan model Kirschenbaum. Secara umum, klarifikasi nilai adalah penerapan keterampilan berpikir kritis terhadap domain afektif. Kirschenbaum, dalam menjelaskan dimensi kognitif dan afektif, menekankan kebutuhan berpikir kritis, berpikir berbeda, dan pemikiran moral. Pada saat yang sama ia menekankan kebutuhan untuk perkembangan pendewasaan konsep diri dibawah dimensi merasakan.
Proses klarifikasi nilai, ujat Kirschenbaum, perlu melibatkan percakapan sosial, komunikasi. Berbagi pemikiran dan perasaan dengan yang lain adalah tuntutan kritis dari model ini. Sehingga siswa harus selalu terampil dalam keterampilan mendengan dan pemecahan konflik. Pemilihan dan tindakan dimensi diusulkan oleh Kirschenbaum serupa dengan subproses yang digabungkan dalam subproses yang asli.

PRAKTIK
Intinya, model klarifikasi nilai bersumber dari dialog kelas. Pendekatan tidak bertujuan untuk menaruh nilai-nilai tertentu; malahan, tujuannya adalah untuk membantu siswa menggunakan tujuh subproses dalam menilai dalam kehidupan mereka sendiri dan menerapkan proses penilaian ini dalam perilaku dan kepercayaan yang ada dan yang muncul.
Untuk menyelesaikan tugas ini, guru menggunkan teknik atau latihan yang didesain secara spesifik yang dikembangkan untuk membantu siswa mengklarifikasi nilai mereka berdasarkan kriteria yang dispesifikasi dalam tiap tujuh subproses. Guru dan siswa ditolong dalam proses ini dengan pengenalan indikator nilai. Indikator nilai mungkin terlalu luas untuk dianggap sebagai nilai (contohnya mampu memenuhi seluruh tujuh kriteria), tetapi merupakan kesatuan dari nilai yang akhirnya muncul. Raths, harmin, dan Simon mendaftar delapan indikator nilai sebagai berikut: (1) cita-cita atau tujuan, (2) aspirasi, (3) sikap, (4) minat, (5) perasaan, (6) kepercayaan dan pendirian, (7) aktivitas, (8) kekhawatiran, masalah dan rintangan.
Cita-cita atau tujuan biasanya merupakan indikator nilai karena menunjukkan arah secara umum. Meskipun begitu, cita-cita atau tujuan dapat digali dengan siswa untuk melihat apakah tujuh proses dapat diterapkan untuk mengembangkan nilai. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan tujuan adalah
Kami berpikir untuk melakukan ...
Pada umur 15 tahun, saya akan ...
Saya menulis rencana ...
Ketika saya mendapatkan ... saya akan melakukan ...
Aspirasi dapat menunjukkan komitmen jangka panjang. Lagi-lagi guru dapat membantu siswa dalam menguji kedalaman komitmen ini melalui tujuh kriteria penilaian. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan aspirasi adalah
Di masa depan ...
Ketika saya tumbuh dewasa ...
Suatu hari saya akan ...
Rencana jangka panjang saya adalah ...
Sikap. Terkadang kita mendukung atau melawan sesuatu, dan ini biasanya merepresentasikan sebuah sikap terhadapa sesuatu. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan sikap adalah
Saya setuju ...
Saya melawan ...
Saya rasa ...
Menurut pendapat saya
Saya percaya bahwa ...
Minat merepresentasikan sikap yang lebih kasual terhadap sesuatu. Minat dapat menunjukkan arah umum tetapi jarang memenuhi syarat sebagai nilai. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan aktivitas adalah
Saya senang membuat (atau melakukan) ...
Hobi saya adalah ...
Saya senang membaca tentang ..
Perasaan merefleksikan penyampaian emosi yang mungkin atau tidak akan merefleksikan komitmen nilai yang lebih dalam. Perasaan butuh untuk diperiksa dengan tujuh kriteria agar dapat melihat apakah perasaan tersbut merepresentasikan nilai. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan perasaan adalah
Saya merasa marah ketika ...
Saya mendengar berita baik mengenai ...
Saya mengalami waktu yang berat ketika ...
Kepercayaan dan pendirian. Di permukaan, kepercayaan akan tampak seperti nilai, tetapi terkadang seseorang tidak akan berpegang pada kepercayaan atau tidak akan memilih kepercayaan secara bebas. Sehingga itu tidak perlu menjadi nilai.
Aktivitas dapat juga merepresentasikan nilai. Hanya pada pemeriksaan, dapatkah kita memastikan apakah aktivitas merefleksikan nilai-nilai dasar. Contohnya, seseorang dapat pergi ke gerja tetapi kehdairan ini tidak mungkin di luar pilihan individu. Sehingga aktivitas dapat atau tidak dapat menunjukkan sebuah nilai. Kata kunci yang biasa menandai pernyataan aktiviatas adalah
Sepulang sekolah, Saya biasanya ...
Salah satu hal terbaik yang kami lakukan ketika Halloween adalah ...
Minggu kemarin kami ...
Kekhawatiran, masalah, rintangan. Hal ini menunjukkan permasalahan tetapi biasanya tidak merepresentasikan nilai yang berkembang dengan baik.
Indiakator nilai terkadang diungkapkan dalam percakapan kelas biasa dan merupakan petunjuk mengnai apa yang siswa percayai sebagai nilai. Memberi siswa dengan kesempatan untuk mengungkapkan indikator nilai ini adalah bagian dari lingkungan yang perlu diciptakan dan merupakan tujuan dari teknik dan strategi yang diberikan oleh pengikut klarifikasi nilai.


Respon Klarifikasi
Karena proses klarifikasi nilai melibatkan diskusi, guru harus berhati-hati untuk tidak memaksakan sistem nilai mereka sebagai jawaban yang “benar.” Atmosfer dimana seluruh perasaaan dihargai, dipercaya dan bebas untuk berbicara atau tetap diam dan mendengarkan yang lain adalah sebuah keharusan. Partisipan harus mengenali bahwa menerima pemikiran atau perasaan orang lain tidak dinyatakan sebagai suatu persetujuan. Proses klarifikasi adalah usaha sukarela dan menghargai privasi tiap individu.
Tujuan dari startegi klarifikasi nilai adalah untuk menciptakan sebuah dialog yang tanpa ancaman. Dialog yang “lembut,” berarti bahwa konfrontasi atau penyelidikan konstan tidaklah beralasan. Tidak seperti diskusi dan dialog dalam model lain, seperti pada diskusi Kohlberg, ini adalah keinginan untuk menjadi “toleran dan bersemangat, tetapi tidak keras hati.”
Contoh yang aik dari dialog ini didemonstrasikan dalam “respon klarifikasi” yang mendasari seluruh teknik klarifikasi nilai kelas lain. Startegi menjawab ini dimaksudkan untuk menstimulasi pemikiran mengenai nilai seseorang dengan nyaman. Ini adalah contoh dari pertanyaan klarifikasi.

Respons Klarifikasi Disarankan oleh Tujuh Proses Penilaian
1. Memilih dengan bebas
a. Berapa lama kamu telah merasakan ini?
b. Apa yang akan orang katakan jika kamu tidak melakukan apa yang kamu katakan harus kamu lakukan?
c. Apa kamu mendapat bantuan dari orang lain? Apa kamu memerlukan bantuan yang lebih? Dapatkah saya membantu? ...
2. Memilih dari alternatif
a. Apa lagi yang kamu pertimbangkan sebelum memilih ini?
b. Berapa lama kamu melihat keadaan sekitar sebelum kamu memutuskan?
c. Adakah alasan dibalik keputusanmu? ...
3. Memilih secara matang dan reflektif
a. Apa yang akan menjadi konsekuensi dari tiap alternatif yang ada?
b. Sudahkan kamu memikirkan ini dengan baik?
c. Asumsi apa yang terlibat dalam pilihanmu? Mari kita lihat bersama ...
4. Menghargai dan berpegang teguh
a. Berapa lamu kamu menginginkannya?
b. Apa baiknya hal itu? Mengapa hal itu penting bagimu?
c. Haruskah semua orang melakukannya dengan caramu? ...
5. Penguatan
a. Maukah kamu mengatakan pada kelas bagaimana perasaanmu?
b. Apakah kamu berkata bahwa kamu percaya akan ... (ulangi pemikirannya)?
c. Kamu tidak berkata bahwa kamu percaya akan ... (ulangi pemikirannya)? ...
6. Bertindak berdasarkan pilihan
a. Apakah langkah pertamamu, kedua, dll.?
b. Sudahkah kamu memeriksa konsekuensi dari tindakanmu?
c. Saya telah mendenganya; sekarang, adakah yang dapat saya bantu? ...
7. Pengulangan
a. Pernahkan kamu merasakan ini sebelumnya?
b. Sudahkah kamu melakukan ini? Apa kamu sering melakukannya?
c. Apa rencanamu untuk melakukannya lebih dari ini? ...

Respon klarifikasi dciriikan oleh elemen berikut:
1. Respon klarifikasi menghindari proses memoralkan atau memfokuskan pada jawaban “benar” atau “salah.”
2. Tujuannya adalah untuk memberi tanggung jawab pada siswa untuk menentukannya sendiri.
3. Respon klarifikasi tidak selalu mengharapkan siswa untuk menjawab dan membiarkan mereka untuk “pass.”
4. Tujuan dari respon klarifikasi sangatlah terbatas. Itu tidak bertujuan untuk mengubah perilaku tetapi mengatur suasana hati.
5. Respon klarifikasi tidak digunakan untuk mewawancara siswa tetapi untuk menstimulasi pemikiran.
6. Perpanjangan diskusi tidak selalu berasal dari respon klarifikasi tetapi hanya dialog singkat. Faktanya, guru biasanya menghentikan pembicaraan dengan berkata “senang berbicara denganmu,”etc.
7. Respon klarifikasi ditujukan untuk individu. Hal tersebut adalah yang paling bermanfaat dalam pertemuan tatap muka individu dibandingkan dengan diskusi kelompok.
8. Guru tidak menjawab apa yang semua orang katakan atau lakukan di dalam kelas.
9. Respon klarifikasi tidak berupaya untuk memindahkan siswa ke jawaban yang “benar.” Mereka tidak melibatkan pertanyaan yang memindahkan siswa terhadapa sebuah jawaban yang ada di dalam pikiran guru.
10. Tidak ada serangkaian pola untuk respon klarifikasi. Respon harus muncul secara alami dalam bagian percakapan dan tidak digunakan dalam cara mekanik.
Berikut adalah contoh dari guru yang menggunakan respon klarifikasi:
T: Apa yang benar-benar kamu sukai dari ilmu pengetahuan alam?
S: Secara rinci? Coba kupikir. Ya ampun, saya tak yakin. Saya rasa saya suka itu secara umum saja.
T: Apa kamu melakukan sesuatu di luar sekolah yang berhubungan dengan IPA?
S: Tidak juga.
T: Terima kasih, Lise. Saya harus kembali bekerja sekarang.
Teknik respon klarifikasi sangat penting dilakukan dengan dialog satu lawan satu.
Lembar jawab nilai adalah strategi yang lain. Raths menyarankan agar siswa menulis respon mereka di lembar jawaban. Dapat diteruskan dengan diskusi informal tetapi penekanan dalam lembar penilaian ada pada penulisan dan refleksi pribadi. Jika diskusi dilakukan dengan lembar jawab nilai, Raths menyatakan bahwa kelompok siswa yang kecil lebih sering digunan dibandingkan dengan diskusi dengan kelompok besar, yang cenderung lebih mengancam. Di bawah ini adalah lembar jawab nilai.

Lembar Jawab Nilai 9. Mengenai Kemerdekaan Sosial
Undang-undang Pendidikan Pertahanan Nasional tahun 1958 menetapkan bahwa seorang siswa yang tidak mendapatkan pinjaman pemerintah pusat untuk tujuan pendidikan harus menandatangani pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa ia “tidak percaya, dan bukan anggota dan tidak mendukung organisasi apapun yang percaya atau mengajarkan, penggulingan Pemerintahan Amerika Serikat dengan kekuatan atau kekerasan atau dengan metode ilegal atau tidak secara konstitusional.”
1. Bagaimana pendapatmu mengenai persyaratan tersebut? (Pilih satu.)
__ Tampak masuk akal. Saya tidak keberatan menandatangani surat pernyataan seperti itu.
__ Tampak tidak masuk akal, tetapi tidak terlalu serius.
__ Tampak tidak masuk akal, dan sangat serius. Saya tidak akan menerima uang di bawah kondisi seperti itu dan percaya bahwa hukumnya sebaiknya diubah.
__ (pendapat lain; tulis di sini.)
2. Beberapa orang berpikir untuk melakukan “sumpah setia” dengan serius dan menolak untuk menerima uang dengan dasar seperti itu. Faktanya, sebanyak 32 universitas unggul negara telah secara resmi memberitahukan Dinas Pendidikan bahwa mereka telah mundur atau menolak untuk berpartisipasi dalam program tersebut karena persyaratan tersebut. Enam puluh tiga institusi yang lain juga berpartisipasi, tetapi di bawah protes. Menurutmu, mengapa sejumlah sekolah menolak sumpah tersebut?
3. Ketetapan tersebut dicabut oleh Kongress pada tahun 1962. Presiden Kennedy berkata ketika ia menandatangani pencabutan tersebut bahwa sumpa itu “menghina” mahasiswa. Menurutmu, di bawah kondisi apa pemerintah sebaiknya mengubah hukum ketika masyarakat keberatan?
4. Bahas perasaanmu mengenai masalah ini lebih lanjut. Mungkin kamu ingin membahas hubungan umum antara warga negara dan pemerintah, atau apa yang akan kamu lakukan pada situasi spesifik yang digambarkan di atas, atau apa yang akan kamu lakukan di masa yang akan datang jika ada dibawah situasi seperti itu.

Akhirnya, terdapat beberapa strategi yang dapat melibatkan diskusi kelompok besar. Contohnya, strategi kesatuan nilai dapat melibatkan seluruh kelas.
Tujuan
Kesatuan nilai (values continuum) berlaku untuk membuka rentang kemungkinan alternatif pada masalah yang muncul. Siswa mulai menyadari bahwa kebanyakan masalah memiliki banyak corak abu-abu, dan lebih cenderung untuk bergeser dari, hitam-putif yang terkadang terjadi ketika masalah kontroversial dibahas di dalam kelas. Kesatuan tersebut juga mendorong siswa untuk membuat masyarakat menguatkan opini dan kepercayaan mereka.
Prosedur
Sebuah masalah diidentifikasi baik oleh guru maupun oleh kelas. Masalah ini mungkin telah disajikan selama pembahasan kelas atau telah dipersiapkan sebelumnya oleh guru. Kami akan menggunakannya sebagai sebuah contoh masalah kontrol ekonomi pemerintahan –terkadang pemikiran mengenai sosialisme versus kapitalisme.
Guru menarik garis yang panjang di papan tulis, dan ia, atau ia dan kelasnya, menentukan dua posisi kutub masalah. Contohnya, satu posisi ujung adalah “Kontrol pemerintah penuh terhadap hubungan perekonomian,” dan posisi ujung yang lain adalah “Sama sekali tidak ada kontrol pemerintah terhadap sistem perekonomian.” Dua posisi ini ditempatkan pada ujung garis yang berlawanan, seperti yang ditunjukkan seperti berikut ini.
Guru lalu membuat tanda titik-titik sepanjang kesatuannya, sambil berkata, “Di antara ujung titik ini terdapat banyak posisi pendapat yang lain. Saya akan berputar di sekeliling kelas dan meminta kalian untuk memberitahu saya di pihak mana kalian berdiri dalam masalah ini. Jelaskan secara singkat posisi kalian, tanpa memberikan alasanmu untuk menguatkan posisi tersebut. Beritahu saya seberapa banyak kontrol yang kalian pikir akan dibutuhkan dan tunjukkan di sekitar kesatuan mana kalian menempatkan diri kalian sendiri. Selanjutnya kalian dapat membagi alasan kalian untuk posisi yang kalian ambil. Kalian bisa melewatkannya jika kalian mau.”
Guru berkeliling kelas atau memanggil sukarelawan.
Guru menaruh nama mereka di garis dan secara jelas memberitahu apa arti dari penempatan yang mereka ambil. Jika lima hingga sepuluh siswa menjawab, maka ini biasanua cukup untuk mendapatkan perbedaan opini dan memberi setiap orang waktu untuk menentukan posisi dia sendiri. Guru lalu dapat menaruh namanya sendiri di garis dan menjelaskan apa posisinya, atau ia juga dapat melewatinya.
Sekarang setiap siswa di ruangak kelas telah mempertimbangkan masalah mereka sendiri, dan diskusi bebas dengan mudah akan segera berjalan.
Dengan strategi diskusi, proses empat langkah dapat digunakan. Pertama, topik dipilih. Beberapa cara untuk memulai diskusi termasuk menggunakan kutipan, gambar tanpa tulisan, adegan dari drama atau film, dan pertanyaan provokatif. Kedua, siswa sebaiknya memiliki kesempatan untuk berpikir sebelum berbicara. Hal ini terkadang dapat dicapai dengan menyuruh siswa menulis respon mereka terhadap strategi atau pertanyaan tertentu. Ketiga, kelas dapat mendiskusikan pertanyaan dalam kelompok kecil atau sebagai kelompok besar. Kelompok kecil dapat dimanfaatkan untuk awal periode singkat, lalu kelas dapat bertemu sebagai suatu keseluruhan. Akhirnya, siswa dapat duduk dan merefleksikan pengalamannya melalui pertanyaan tersebut seperti
Saya mempelajari bahwa ...
Saya menemukan bahwa ...
Saya mulai berpikir ...



VOTING NILAI
Di sini guru menyurvei kelas untuk melihat seberapa berbeda individu dalam merasakan masalah nilai. Hal itu juga membiarkan siswa untuk menguatkan secara publik nilai-nilai mereka.
Guru membacakan pertanyaan dengan nyaring, dan siswa dapat memilih masalah dengan mengangkat tangan mereka dengan dengan mengangkat tanda setuju atau menunjuk jempol ke bawah tanda tidak setuju. Siswa yangtidak memutuskan dapat meilpat tangan mereka. Beberapa pertanyaan dapat digunakan termasuk yang ini: Berapa banyak dari kalian
1. Berpikir bahwa remaja sebaiknya diizinkan untuk memilih pakaian mereka sendiri?
2. Akan membesarkan anaknya dengan lebih ketat dibandingkan ketika kalian dibesarkan?
3. Menonton TV lebih dari tiga jam per hari?
4. dll.

URUTAN RANKING
Strategi ini meminta siswa untuk memilih nilai dengan membandingkan pilihan-pilihan lalu menguatkan nilai mereka. Setelah siswa melengkapi pertanyaan urutan ranking ini, pilihan tersebut dapat didiskusikan dalam kelompok kecil atau dengan kelas sebagai suatu keseluruhan. Beberapa pertanyaan urutan ranking termasuk
1. Tempat mana yang kamu pilih saat Sabtu sore?
__ pantai
__ hutan
__ toko diskon
2. Bagaimana cara belajar terbaikmu?
__ lewat ceramah
__ lewat belajar mandiri
__ lewat seminar
3. Yang mana yang akan jadi prioritas paling kecilmu hari ini?
__ angkasa
__ kemiskinan
__ pertahanan
__ ekologi

PILIHAN YANG TAK TERHINDARKAN
Disini siswa memilih antara dua alternatif. Jika guru berharap, ia akan menempatkan alternatifnya di salah satu sisi ruang kelas lalu siswa lain dapat berpindah ke sisi lain yang merepresentasikan pandangannya. Beberapa contoh pilihan yang tak terhindarkan termasuk yang berikut ini:
Apakah kamu
___ 1. Lebih pada orang yang hemat atau boros?
___ 2. Lebih menyukai New York atau Colorado?
___ 3. Lebih kepada penyendiri atau senang berkelompok?
dll.

GAME FOKUS NILAI
Beberapa startegi klarifikasi nilai fokus pada keterampilan menyimak. Strategi ini meminta siswa untuk merespon akar kalimat seperti “Saya merasa sangat baik ketika saya berada dalam sekelompok orang yang ...” Lalu triad terbentuk dan tiiap siswa akan memiliki perhatian penuh dari dua yang lain dalam kelompok selama lima menit. Tiga aturan sangatlah penting dalam proses ini.
1. Aturan dalam fokus. Tiap anggota kelompok akan menjadi orang yang fokus selama periode lima menit. Jangan biarkan perhatian kelompok bergeser dari fokus personal hingga waktunya habis atau hingga ia berkata ‘berhenti.’ Jaga kontak mata dengan orang yang sedang fokus pada level yang masih nyaman. Pertanyaan dapat ditanyakan pada orang yang fokus jika mereka tidak menggeserkan fokus mereka ke anggota kelompok.
2. Aturan penerimaan. Jadilah orang yang hangat, suportif, dan menerima fokus orang lain. Anggukan, senyum dan ekspresi memahami ketika dengan sungguh-sungguh diberi bantuan komunikasi penerimaan. Jika kamu tidak setu dengan orang yang fokus, jangan mengekspresikan ketidaksetujuan atau perasaan negatif selama bagian diskusi dari game ini. Akan ada waktu untuk ini nanti.
3. Aturan untuk keluar. Upaya untuk memahami posisi, perasaan dan kepercayaan orang yang fokus. Tanya pertanyaan yang akan membantu mengklarifikasi alasan untuk perasaan orang yang fokus. Yakinkan bahwa pertanyaanmu tidak bergeser dari fokus terhadap dirimu sendiri, atau uangkapkan perasaan negatif yang mungkin kamu miliki mengenai orang yang fokus atau mengenai apa yang ia sedang katakan.

KALIMAT BELUM SEMPURNA
Strategi yang membantu siswa mengeksplorasi sikap dan tujuan tertentu. Apa yang terkadang muncul dari aktivitas ini adalah kesadaran akan perkembangan nilai. Beberapa kalimat yang dapat dilengkapi termasuk berikut ini
1. Pada hari Sabtu, saya suka ...
2. Jika saya mempunyai 24 jam lagi untuk hidup ...
3. Jika saya mempunyai mobil saya sendiri ...
Guru lalu berjalan keliling kelas meminta siswa untuk melengkapi kalimatnya secara lisan. Siswa bebas untuk melewatkan pertanyaannya.

PENELITIAN
Pendukung klarifikasi nilai telah mengumpulkan sejumlah bukti penelitian dan mengklaim bahwa klarifikasi nilai dapat menuju pada
• Pengurangan dalam intensitas dan/atau frekuensi dari delapan pola perilaku yang tidak jelas
• Pengurangan dalam beberapa bentuk perilaku yang menyimpang atau mengganggu (seperti penggunaan obat-obatab dab tindakan kelas yang tidak kooperatif)
• Peningkatan dalam arahan diri dan kepercayaan pada orang lain (termasuk penerimaan diri lebih)
• Pendewasaan ekspresi nilai (pergeseran dari nilai-nilai yang secara umum dihakimi tidak dewasa dan yang dihakimi lebih dewasa)
• Perkembangan dalam iklim pembelajaran (lebih banyak partisipasi, lebih bertanggung jawab terhadap apa yang telah terjadi, lebih tertarik untuk belajar)
• Peningkatan dalam hubungan sosial (lebih banyak teman, penyatuan kelompok yang lebih besar, lebih banyak empati untuk orang lain)
• Peningkatan dalam hasil pembelajaran (khususnya dalam membaca dal pembelajaran pada level aplikasi kehidupan)
• Pelepasan tekanan pribadi (mengungkapkan masalah, melepaskan ketakutan)
• Peningkatan dalam harapan dan keyakinan (lebih percaya bahwa masalah dapat diselesaikan, kemajuan itu mungkin, kekuatan personal dapat disusun)
• Peningkatan dalam hubungan siswa-guru (lebih banyak siswa yang merasa bahwa guru itu baik dan sangat membantu; lebih banyak guru yang merasa bahwa siswa layak mendapatkan penghargaan dan kasih sayang)
Menyadari kesulitan yang melekat pada perancangan studi dan masalah penelitian pada pengukuran yang layak, para pengklarifikasi nilai memberikan ringkasan studi yang mereka percaya dapat mendukung pernyataan teori mereka.
Pada tahun 1977 Kirschenbaum meninjau 19 siswa yang ia percaya cenderung untuk mendukung klarifikasi nilai. Pada umumnya dikatakan, hasil tinjauan Kirschenbaum berat pada rasa penghargaan dibandingkan dengan teori klarifikasi nilai dalam tindakan. Meskipun begitu, kebanyakan studi yang ia laporkan sangat samar-samar dari segi hasilnya dan kurang pengalaman begitu juga kurang signifikan secara statistik yang diperlukan oleh peneliti lain. Reviu yang serupa disertakan pada edisi Values and Teaching tahun 1978.
Raths, Harmin dan Simon juga menyatakan bahwa guru terlibat dalam penelitian informal mereka sendiri. Contohnya, siswa dapat diberi tingkatan berdasarkan perilaku yang berhubungan dengan nilai-nilai. Anak-anak dapat diukur berdasarkan apati, tingkah laku yang tidak karuan, dll., untuk melihat jika klarifikasi nilai meningkatkan rasa integrasi dan tujuan mereka. Sebuah grafik dapat digunakan untuk membuat penilaian ini. Grafik ini dapat diisi pada awal tahun lalu di akhir tahun setelah menggunakan program klarifikasi nilai. Kelompok kontrol dapat juga dilakukan. Meskipun begitu, masih terdapat sedikit bahaya bahwa pengharapan guru dapat mempengaruhi penilaian ini.
RINGKASAN DAN PENAKSIRAN
Saat banyak yang telah ditulis mengenai klarifikasi nilai dalm dua belas tahun terakhir, prinsip dasar teori tetap utuh. Prinsip-prinsip tersebut paling baik diringkas dalam Nilai dan Pengajaran:
Kami percaya bahwa tiap orang harus memperoleh nilai personal dari aturan yang telah ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai yang benar-benar menembus kehidupan dengan cara yang masuk akal dan konsisten cenderung tidak dibuat dengan cara yang lain. Sehingga itu adalah proses pembuatan keputusan yang penting bagi kita. “Daripada memberi anak muda kesan bahwa tugas mereka adalah untuk berdiri mengawasi nilai-nilai yang kuno,” ujar John Gardner (1964), “kita sebaiknya berkata pada mereka sesuatu yang suram tetapi merupakan kejujurna yang menyegarkan bahwa itu adalah tugas mereka untuk menciptakan kembali nilai-nilai tersebut secara berkelanjutan pada masa mereka sendiri.” Memberikan siswa proses penilaian adalah memberikan mereka sesuatu yang sebaiknya mendukung mereka dengan baik.
...
Ada asumsi dalam teori nilai kita dan dalam strategi pengajaran bahwa manusia dapat sampai pada nilai-nilai dengan proses pemilihan, penghargaan, dn berperilaku. Sedikitnya kita berasumsi bahwa manusia dapat sampai pada sesuatu melalui proses tersebut, dan dengan dukungan dalam literatur, kami lebih memilih untuk menyebutnya sebagai sesuatu yang “bernilai.”
...
Teori klarifikasi nilai tidaklah tanpa masalah. Ketika penerimaan dan kegunaannya telah meluas sepanjang dekade lalu, begitu juga dengan kritik-kritiknya. Kritik tersebut biasanya jatuh pada salah satu dari dua kategori yang berhubungan: (1) perbedaan antara nilai moral dan nonmoral, dan (2) masalah nilai dan relativisme etika.
Pertama adalah masalah dalam mendefinisikan nilai sebagai sesuatu yang memenuhi kriteria dari tujuh langkah proses penilaian. Kriteria apa pada tiap langkah tersebut yang mungkin menentukan tindakan yang akan sesuai? Dua contoh dari masalah ini diajukan oleh Lockwood. Baik kekuatan pro dan anti-aborsi mengklaim nilai kehidupan. Dapatkah pendukung tiap sisi, bersandar pada klaim menghargai kehidupan? Begitu juga, selama Perang Vietnam, dapatkah pendukung dan lawan dari pengeboman Vietnam Utara mengklaim menghargai kedamaian? Jika jawabannya pada dua kasus ini adalah iya, lalu kita menemukan kriteria nilai tersebut sebagai sesuatu yang berubah-ubah dalam membantu seseorang untuk memutuskan bagaimana harus bertindak.
Teori klarifikasi nilai sebaiknya dalam posisi menegaskan nilai yang sama yang dapat mendukung satu sama lain tindakan yang kontradiktif. Penegasan tersebut akan muncul untuk merusak satu dari tujuan fundamental dari klarifikasi nilai –pengembangan nilai yang memberikan penduan yang jelas dan konsisten untuk berperilaku.
Oleh karena itu, walaupun teori dapat berhasil dalam membantu seorang individu untuk menjadi waspada akan masalah nilai, hal tersebut akan memunculkan konflik nilai. Karena para pengklarifikasi nilai menekankan maslaah individu dan pribadi (minat, selera, kesukaan), masalah dari konflik nilai dalam teori masih belum ditunjukkan secara baik. Begitu juga paradoks dari teori tersebut bahwa itu bukan hanya membantu mengklarifikasi nilai tertentu dengan baik tetapi juga menyebabkan peningkatan kebingungan ketika jelas bahwa “nilai yang diklarifikasi” dapat membuat konflik di dalam diri sendiri atau antara perorangan. Pada titik tersebut teori menyediakan sedikit panduan konflik-klarifikasi. Tetapi pendukung klarifiaksi nilai berharap untuk memberikan suatu proses yang membantu menentukan nilai panduan untuk hidup kita. Ironisnya, teori klarifikasi nilai dapat memberi kebingungan yang lebih jauh. Masalah-masalah seperti rasisme, perang, kemiskinan dan hak manusia menegaskan untuk menghargai konflik dan menuntut resolusi. Lepas dari relativisme konflik, orang dapat menggunakan kekuasaan mereka dan kekuatannya dengan jelas.
Contohnya, pertimbangkan dua guru yang mengangkat masalah apakah menyontek dapat diterima saat mengerjakan tes. Beberapa siswa mungkin menunjukkan bawha mereka pikir hal itu dapat diterima. Tetapi ini dapat berakibat melawan aturan yang telah dibuat oleh guru untuk kelas tersebut. Guru yang menggunakan klarifikasi nilai haruslah berhati-hati, seperti pada proses penilaian. Jika guru membuka masalah mencontek sebagai suatu diskusi, dan siswa memutuskan bahwa menyontek itu tindakan benar maka guru harus menerima posisi tersebut atau terpaksa menggunakan kekuatan dan memaksa bawha mencontek tidak akan terjadi di kelasnya. Jika banyak konflik muncul di antara proses penilaian terbuka dan posisi guru, siswa dapat melihat proses penilaian sebagai “game” dan tidak mengkaitkannya dengan masalah nyata yang dapat muncul di sekolah. Guru mungkin harus membatasi masalah yang akan disebutkan di kelas jika masalah tersebut secara fundamental berlawanan dengan konsep dia mengenai bagaimana seharusnya sesuatu dijalankan. Meskipun begitu, guru akan berakhir pada penggunaan kekuasaan secara berubah-ubah, yang berjalan berlawanan dengan etika dasar dari klarifikasi nilai.
Kriteria ini sangat membatasi guru untuk menilai masalah yang biasanya aman dan lemah, sehingga mungkin akan meminimalkan terjadinya konflik. Lebih lagi, kriteria merupakan masalah baru bagi siswa karena kriteria “perluasan yang masuk akal” dan “tidak disukai” atau “berbahaya” akan dipandang dengan berbeda oleh tiap guru, sehingga menguatkan kepercayaan bahwa nilai itu relatif. Lockwood menyesali kecenderungan terhadap peningkatan relativisme dalam model klarifikasi.
Pertama, program pendidikan nilai yang memberikan perhatiannya pada permasalahan pilihan personal dan keinginan merepresentasikan potongan dan pandangan kabur moralitas. Program yang menghindari komtroversi yang berkaitan dengan konflik nilai, resolusi konflik dan justifikasi moral, meremehkan kompleksitas dari masalah nilai dalam hubungan kemanusiaan. Kedua, program pendidikan nilai, yang mungkin tanpa disadari, didasarkan pada relativisme etika harus menerima kemungkinan bahwa siswanya akan mencakup relativisme etika begitu juga sudut pandang moralnya.
Dimensi moral yang disebutkan di atas berhubungan dengan kurangnya perbedaan antara niali moral dan nonmoral dalam teori klarifikasi nilai. Masalah moral dan nonmoral adalah masalah yang seimbang. Ambil sebagai contoh, beberapa pertanyaan yang diajukan dalam teknik voting nilai: “Berapa dari kalian yang (1) mengawasi berat badan, (2) ingin bekerja paruh waktu, atau (3) akan mendukung aborsi legal?” Tiap-tiapnya berhubungan dengan pilian, tetapi hanya tiga yang berkaitan dengan masalah moral.
Penggunaan kata “akan” juga menunjukkan kebingungan antara “sesuatu yang pasti” dan “sebaiknya” dalam masalah moral. Pertanyaan “sebaiknya,” atau pertanyaan mengenai apa yang sebaiknya kamu lakukan, biasanya berkaitan dengan masalah moral. Tidak semua pertanyaan “sebaiknya” mendefinisikan masalah moral. Jelasnya, “Apakah kamu sebaiknya mengawasi berat badanmu?” dapat meminta jawaban mengenai penampilan atau masalah medis tetapi bukan masalah moral. Kebanyakan dari teknik klarifikasi niai fokus pada kondisi “akan” atau “sekarang.” Pada startegi lembar jawab nilai, instruksi untuk siswa “Baca tiap delapan situasi di bawah ini dan coba identifikasi apa yang akan kamu lakukan dalam tiap kasus.”
Kurangnya perhatian, atau pemahaman mengenai dimensi moral –pertimbangan justifikasi untuk perilaku yang wajib –dikuatkan lebih jauh dalam peringatan bahwa guru tidak bertanya pertanyaan “mengapa.” Pertanyaan “mengapa” menanyakan dasar atau alasan yang mendasari suatu kepercayaan (fondasi moralnya), tetapi klarifikasi nilai tidak meniadakan pertanyaan tersbut untuk alasan itu. Malahan, siswa yang tidak memiliki alasan yang jelas untuk pilihannya dapat membuat alasan untuk kepentingan guru dan untuk menyesuaikan dengan harapan teman sebayanya. Ini tampaknya akan membantah peringatan yang ada untuk menghargai dan mempercayai pandangan siswamu.
Peringatan klarifikasi nilai tampaknya akan meningkatkan kesadaran, kewaspadaan terhadap masalah nilai, khususnya yang ada pada domain nonmoral. Teknik dan startegi tampaknya membangkitkan respon siswa dan dapat berakibat dalam kelas yang lebih menyenangkan, ramah dan relevan. Sedangkan teori tampaknya akan memiliki sifat kontradiktif dan terbatas dalam definisinya mengenai moral dan nilai, itu dapat dilihat sebagai sedikitnya titik awal yang bagus untuk meningkatkan perhatian personal dan sosial yang penting. Itu juga telah menjadi pendekatan popular dengan guru karena startegi yang menyerupai game lebih mudah digunakan di kelas dan membantu menciptakan iklim yang lebih relaks dan terbuka. Tanpa terlalu banyak modifikasi, seorang guru dapat dengan mudah memfokuskan lebih pada konflik nilai dan dimensi moral dari konflik setelah masalahnya diangkat.
























6
ANALISIS NILAI

Analisis nilai sangat erat hubungannya dengan model pembentukan dasar pemikiran (rationale). Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan fondasi filosofi dari pendidikan nilai; keduanya menghargai sentralitas konflik dalam pembuatan keputusan mengenai nilai-nilai; keduanya mencari alasan sebagai kunci pemisah dalam perselisihan mengenai nilai; dan keduanya cenderung menekankan masalah publik yang kontroversial. Apa yang paling membedakan analisis nilai dari pembentukan dasar pemikiran adalah analisis nilai memiliki perhatian yang lebih banyak terhadap pedagogi. Analisis nilai menempatkan prosedur selangkah demi selangkah untuk membantu siswa berhubungan dengan masalah nilai.
Lebih lagi, analisis nilai pedagogi berkembang di jalan yang berbeda dengan klarifikasi nilai atau model perkembangan moral kognitif. Analisis nilai lebih berhubungan secara langsung dibandingkan dengan salah satu dari model-model tersebut dalam hal membantu siswa mengumpulkan dan mempertimbangkan fakta-fakta yang terlibat dalam penetapan nilai. Model pertimbangan, klarifikasi nilai dan perkembangan kognitif juga berhubungan dengan konteks dan konsekuensi, tetapi perlakuan analisis nilai lebih eksplisit dan terus menerus.
Laporan yang cermat mengenai analisis nilai dinyatakan dalam Values Education, yang mana merupakan buku tahunan keempat puluh dari Dewan Nasional Studi Sosial. Walaupun konsepsi buku tahunan dikembangkan oleh sebuah tim yang terdiri dari para pendidik, filsuf dan ahli psikologi termasuk Jerrold Coombs, Milton Meux dan James Chadwick, demi keringkasan kami akan merujuk pada model di seluruh bab ini seperti pada pendekatan Coombs.
Coombs menarik perbedaan antara kriteria nilai dan prinsip nilai yang unik yang unik pada model ini. Penting untuk memahami perbedaan ini sebelum bergerak pada pertimbangan strategi pengajaran. Kriteria nilai, menurut Coombs, berasal dari beberapa kelas kondisi. Biasanya kriteria yang ada termasuk pada perbuatan yang salah adalah berbuat curang, berbohong, mencuri, membunuh dan menyakiti orang lain; dan perbuatan yang baik adalah memegang janji, membayar hutang, dan menjaga kesehatan. Kriteria nilai, Coombs mencatat, “tidak mengkhususkan kelakuan dimana suatu tipe kondisi tertentu yang akan dinilai dalam seluruh situasi. Yang ditunjukkan hanyalah bagaimana kondisi akan dinilai dalam hal yang utama atau hal lain yang seimbang.” Contohnya, kriteria nilai bahwa berbohong itu salah pada umumnya dapat diterma dan valid. Tetapi berbohong dapat menjadi benar, katakanlah, ketika berbohong akan dapat menyelamatkan hidup seseorang atau mengurangi penderitaannya. Sehingga kita dapat mengakui standar yang berkaitan dengan berbohong ini sebagai kriteria nilai dan masih menyadari bahwa, dalam situasi yang menjadi pengecualian, hal itu tidak dapat diterapkan.
Kriteria nilai, Coombs melanjutkan, memberikan “kekuatan” untuk fakta. Kriteria tersebut menentukan apakah fakta menguatkan evaluasi positif atau negatif. Dalam kasus euthanasia, contohnya, kriteria nilai “membunuh itu salah” memberikan kekuatan negatif terhadap fakta bahwa euthanasia bersangkutan dengan pembunuhan. Fakta ini mendukung evaluasi negatif dari euthanasia. Apakah masalah nilai ini sederhana atau kompleks dari segi sifat dan tingkat relevansi faktanya. Jika seluruh fakta seragam positif dan negatif dalam kekuatannya, keputusannya akan cenderung mudah untuk dibuat. Itu akan menjadi sulit ketika fakta relevan memiliki kekuatan yang berlawanan, yaitu, ketika sejumlah fakta menyatakan bahwa objek nilainya baik dan sejumlah fakta menunjukkan bahwa itu tidak baik. Lalu evaluator harus menyeimbangkan fakta dan sampai pada keputusannya.
Sebuah contoh dimana Coombs menawarkan akan membantu membuat semua ini jelas. Anggaplah ini tahun 1970 dan seorang evaluator mencoba untuk memutuskan apakah Amerika Serikat sebaiknya menarik diri dari perang di Vietnam atau tidak. Ia menerima fakta (f) dan kriteria (c) berikut:
(f) 1. Perang di Vietnam semata-mata adalah perang saudara.
(c) 1. Satu negara sebaiknya tidak masuk ke dalam perang saudara dari negara lain.
(f) 2. Penarikan AS akan berakibat pada pengurangan tingkat orang yang terbunuh.
(c) 2. Membunuh atau menyebabkan kematian dalam jumlah besar merupakan perbuatan yang salah
(f) 3. Penarikan AS akan mengurangi level perselisihan saudara di AS.
(c) 3. Masyarakat yang stabil dan damai adalah sesuatu yang bagus.
dll.
Dari kompilasi ini, evaluator dapat berujung pada kesimpulan bahwa AS sebaiknya menarik pasukan dari Perang Vietnam. Penilaian evaluator, menurut Coombs, menyatakan prinsip-prinsip berikut ini: bangsa sebaiknya tidak terlibat dalam perang saudara untuk menyelamatkan negara dari pemerintahan represif jika keterlibatan tersebut meningkatkan level kematian dalam perang dan mengalihkan perhatian bangsa dari menekan masalah sosial. Prinsip kompleks ini muncul sebagai hasil dari proses pembuatan keputusan. Hal itu merefleksikan hasil dari analisis nilai dibandingkan dengan proses penentuannya itu sendiri. Apa yang dibawa pada konteks penetapan nilai, Coombs berpendapat, bukanlah prinsip nilai melainkan kriteria nilai. Tiap kriteria nilai memberikan dasar untuk mengevaluasi ciri-ciri tertentu dari objek nilai, memberi kekuatan positif ataupun negatif terhadap ciri-ciri tersebut. Prinsip nilai berlaku pada objek nilai sebagai suatu keseluruhan. Merupakan prinsip bahwa menimbang klaim dari kriteria rival yang beragam, bahwa kita menyadari akan sebuah prinsip hanya setelah keputusan nilai telah dibuat dan alasannya diberikan.
Seperti yang telah dinyatakan pada Bab 1, perbedaan Coombs antara sebuah kriteria dan sebuah prinsip serupa dengan perbedaan Shaver antara sebuah nilai dan posisi umum yang memenuhi syarat. Bagi Shaver, nilai adalah kriteria untuk menghargai manfaat atau kelayakan sebuah objek, tindakan atau sifat. Ketika kita membuat sebuah keputusan yang sulit, Shaver menekankan, kita harus menyeimbangkan nilai yang bertentangan (contohnya, stabilitas vs perubahan, kerja vs bermain, industri vs ekologi). Posisi yang memenuhi syarat yang dapat kita raih adalah pernyataan di mana nilai kita berkaitan satu sama lain dalam situasi tertentu. Pernyataan ini memberikan fungsi yang sama seperti prinsip gagasan Coombs. Baik “posisi yang memenuhi syarat” maupun sebuah “prinsip” menyebutkan prioritas nilai dalam kasus yang ada.
Kembali pada contoh Coombs mengenai Perang Vietnam, prinsip tidak hanya menyatakan bahwa “sebuah bangsa sebaiknya tidak terlibat dalam perang saudara bangsa lain”; melainkan, itu menyatakan bahwa “sebuah bangsa sebaiknya tidak terlibat dalam perang saudara untuk menyelamatkan sebuah negara dari pemerinatahan regresif jika keterlibatan tersebut meningkatkan level kematian dalam perang dan mengalihkan perhatian bangsa dari penekanan masalah sosial.” Kriteria atau nilai, yang tidak dipengaruhi campur tangan, tidak diberlakukan sebagai sesuatu yang absolut tetapi sebagai nilai yang memenuhi syarat dalam penerapan pertimbangan penting lainnya. Agaknya, intervensi sebaiknya tidak dibenarkan, berdasarkan prinsip, jika sebuah bangsa tidak meningkatkan level kematian dan tidak membahayakan komitmen bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan domestiknya. Kedua prinsip tersebut, dalam pengertian Coombs, dan sbuah posisi yang memenuhi syarat, dalam bahasa Shaver, merefleksikan sebuah sistem nilai dibandingkan dengan hanya pernyataan nilai tunggal saja.
Kohlberg pun menekankan bahwa penetapan moral memerlukan seorang individu untuk berada pada beragam kepercayaan moral hierarki logis. Contohnya, seseorang dapat menilai baika hak kepemilikan dan kehidupan manusia. Dalam sebuah keputusan dimana pelanggaran terhadap hak kepemilikan menyebabkan keselamatan hidup (contohnya, ketika seseorang harus mencuri sebuah toko agar mendapatkan obat bagi seseorang yang sedang kritis), nilai kehidupam menuntut proritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kepemilikan. Nilai persahabatan dan kejujuran, kekuasaan dan kebenaran, dan kesetiaan dan keadilan mungkin akan menimbulkan konflik juga. Untuk memecahkan konflik seperti itu, seseorang harus melihat hubungan logis diantara nilai dan mengenai yang mana yang fundamental dan yang mana yang merupakan turunan. Bagi Kohlbergm prinsip moral mampu membuat orang mencapai nilai yang ada pada jalan yang konsisten. Ini adalah suatu alasan mengapa “pemikiran prinsip moral” dianggap lebih “layak” dibandingkan dengan penilaian berorientasi aturan atau dalam bentuk minat sendiri.

STRATEGI UNTUK MENGAJAR ANALISIS NILAI DAN PEMECAHAN KONFLIK NILAI
Terdapat enam prosedur inti dalam analisis nilai. Prosedur ini membentuk dasar dan sejajar dengan enam tugas dalam urutan pemecahan konflik:
Tugas Analisis Nilai Tugas Pemecahan Konflik
1. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi permasalahan/pertanyaan nilai 1.Mengurangi perbedaan dalam interpretasi masalah/pertanyaan nilai
2. Mengumpulkan fakta-fakta pokok 2.Mengurangi perbedaan dalam pengumpulan fakta-fakta pokok
3. Menilai kebenaran dari fakta-fakta pokok 3.Mengurangi perbedaan dalam penilaian kebenaran dari fakta-fakta pokok
4. Mengklarifikasi relevansi fakta 4.Mengurangi perbedaan dalam relevansi fakta
5. Sampai pada keputusan nilai tentatif 5.Mengurangi perbedaan dalam keputusan nilai tentatif
6. Menguji prinsip nilai yang ada dalam keputusan 6.Mengurangi perbedaan dalam pengujian penerimaan prinsip nilai

Walaupun dua strategi tersebut sejajar, kami menampilkan tiap-tiapnya secara terpisah dalam bab ini.

Tugas Analisis Nilai
1. Mengidentifikasi dan mengklarifikasi permasalahan/pertanyaan nilai. Permasalahan nilai terkadang dinyatakan dalam artian yang ambigu atau meragukan. Kebingungan seperti itu dapat berakibat sedikitnya karena dua alasan. Pertama, sudut pandang dimana penilaian yang dibuat tidaklah jelas. Contohnya, dalam pertanyaan “Apakah mahasiswa sebaiknya mengambil alih gedung universitas untuk menarik perhatian terhadap keluhannya?” pertanyaan tersebut tidak jelas apakah kita diminta untuk mengevaluasi tindakan tersebut dari sudut pandang keefektifitasannya atau dari sudut pandang moralnya. Kedua, objek nilai yang ditanyakan mungkin tidak terlalu spesifik. Contohnya, pertimbangkan pertanyaan berikut ini “Apakah menggunakan obat-obatan dibenarkan?” Kita tidak tahu apakah kita harus fokus pada obat tertentu atau obat-obatan secara umum. Ketika siswa tidak mengetahui secara jelas apa yang akan mereka evlauasi atau dari sudut pandang apa mereka harus membuat evaluasi, pertimbangan mendalam cenderung membuat frustasi dan tidak produktif.
Guru perlu mengklarifikasi pertanyaan mengenai nilai dan mengajarkan siswa untuk melakukan hal yang sama. Seorang guru dapat memperkenalkan dan mengklarifikasi sebuah pertanyaan nilai mengenai obat-obatan dengan menspesifikasi sudut pandang moral sebagai standar penilaian dan dengan mendefinisikan “obat-obatan” dalam istilah zat yang bersifat adiktif, dapat menguabj kesadaran. Untuk mengkristalkan definisinya lebih lanjut, guru dapat memberikan contoh zat yang dapat dan tidak dapat dianggap sebagai obat-obatan dalam contoh ini.
Pada saat itu, guru dan siswa dapat berbagi tanggung jawab dalam mengklarifikasi pertanyaan nilai. Dalam kasus ini, guru dapat menggali definisi sebenarnya dari suatu objek nilai dan sudut pandang yang relevan. Proses klarifikasi juga dapat ditunda dengan bebas sehingga kebingungan berkembang dan siswa dapat melihat sendiri pentingnya klarifikasi.
2. Mengumpulkan fakta-fakta pokok. Sebelum mengumpulkan fakta yang relevan dengan keputusan nilai, siswa harus mampu untuk membedakan antara pernyataan yang faktual dan evaluatif. Pernyataan faktual melaporkan atau menggambarkan kondisi atau kejadian yang dapat diobservasi. Pernyataan evaluatif memberi ranking sesuatu terhadap yang berhubungan dengan nilainya. Pernyataan evaluatif merupakan panduan bagaimana seseorang harus bertindak, memilih atau merasakan sesuatu; pernyataan faktual tidak menunjukkan fungsi ini. Merupakan fakta, contohnya, bahwa mobil berjalan dengan bensin. Merupakan suatu evaluasi jika kita mengatakan bahwa kita sebaiknya memasukkan bensin ke dalam mobil. Kita tidak dapat menilai atau memverifikasi sebuah evaluasi berdasarkan observasi semata. Tidak peduli seberapa banyak kita memeriksa, menguji atau mendorong mobil, kita tidak dapat menemukan konsep “sebaiknya” dalam sifat dasarnya. Kita mungkin memutuskan menurut sudut pandang observasi kita bahwa kita sebaiknya mengisi mobil dengan bensin, tetapi kita tidak mengobservasi ini.
Sekali siswa telah jelas mengenai perbedaan antara pernyataan faktual dan evaluatif, mereka perlu belajar untuk mengumpulkan fakta dalam rentang yang luas dari sumber yang sebanyak mungkin. Selama fase pengumpulan fakta ini, guru sebaiknya
1. Meminta siswa menyusun fakta dalam permasalahan yang berbeda (contohnya ekonomi, ekologi, estetika, moral)
2. Meminta siswa membedakan fakta dalam dasar apakah mereka memiliki “kekuatan” positif atau negatif
3. Menggolongkan tes yang spesifik di bawah data yang lebih umum
4. Meranking fakta berdasarkan signifikasi keputusan nilainya
Untuk menyederhanakan dan mensistematikakan proses ini, siswa dapat mengembangkan sebuah pemetaan yang dapat mengorganisasikan data tersebut, seperti pada contoh di gambar 6.1.
3. Menilai kebenaran dari fakta-fakta pokok. Fakta yangrelevand enga keputusan nilai dapat berupa fakta khusus, fakta umum atau fakta kondisional. Pernyataan fakta khusus menggambarkan kejadian atau kondisi tunggal, seperti “George Washington adalah Presiden Amerika Serikta pertama.” Fakta umum merupakan generalisasi yang dapat diuji secara empiris dengan merujuk pada fakta khusus yang mendukung atau menyangkalnya. “DDT dapat membunh orang” adalah sebuah fakta umum, sesuatu yang dapat dibernakan atau disalahkan dengan cara mengobservasi orang yang mengkonsumsi DDT. Contoh dari fakta kondisional adalah “Jika pekerja montir memperpanjang pemogokan mereka hingga beberapa bulan lai, [maka] harga mobil tahun depan pasti akan naik.”
Guru perlu membantu siswa mengembangkan sikap kritis terhadap pernyataan faktual. Pernyataan faktual sebaiknya dihargai dalam sudut pandang seperti pertanyaan berikut ini
1. Bagaimana kamu tahu jika hal ini benar?
2. Bukti apa yang dapat menunjukkan bahwa hal itu benar?
3. Siapa yang mengatakan bahwa ini adalah masalah?
4. Mengapa kita harus percaya akan apa yang dikatakan orang ini?
5. Apakah yang lain setuju dengan apa yang ia katakan?
4. Mengklarifikasi relevansi fakta. Siswa harus menilai relevansi fakta dalam hal sudut pandang yang umum dan kriteria spesifik dimana keputusan nilai akan dibuat. Dalam upaya memutuskan apakah seorang hakin secara moral sesuai untuk menduduki Pengadilan Tinggi Amerika Serikat, contohnya siswa dapat mempertimbangkan jumlah pemeriksaan pengadilan yang telah dipimpin yang dicabut karena kesalahan prosedural. Walaupun fakta ini mungkin memiliki kekuatan dalam menilai keompetensi seorang hakin secara keseluruhan, hal ini tidak perlu relevan dengan keputusan yang berkaitan dengan kompetensi moralnya.
Dengan cara seperti itu, siswa dapat menyimpan sudut pandangnya dengan kuat dalam ingatannya, tetapi memanfaatkan fakta dengan dasar kriteria yang meragukan. Contohnya, siswa dapat berpendapat bahwa kesejahteraan secara moral salah karena memberikan uang kepada orang yang tidak berpenghasilan. Disini kriteria siswa adalah bahwa menerima uang yang bukan penghasilannya kesalahan moral. Dan juga, ketika ditanyakan, siswa mengakui bahwa tidak ada yang salah secara moral mengenai orang yang mewarisi uang yang bukan mereka hasilkan sendiri. Penerima kesejahteraan menerima uang yang bukan penghasilannya sehingga menjadi tidak relevan jareba kriteria yang didukungya ditolak.
Kartu bukti merupakan alat konkrit yang membantu menentukan relevansi fakta. Sebuah contoh kartu fakta dapat memuat informasi berikut ini:
Penetapan Nilai : Kesejahteraan adalah salah secara moral. (Sudut pandang moral)
Fakta : Kesejahteraan memberika uang kepada mereka yang tidak berpenghasilan.
Kriteria : praktik yang memberikan uang pada mereka yang tidak berpenghasilan adalah salah secara moral. (Sudut pandang moral)
5. Sampai pada keputusan nilai tentatif. Ini adalah puncak dari empat tugas sebelumnya. Ini hanya sebuah keputusan yang dibuat dalam sudut pandang analisi hingga saat itu.
6. Menguji prinsip nilai yang terkandung dalam keputusan. Sebuah keputusan nila dianggap rasional hanya jika evaluator dapat menerima prinsip nilai yang terkandung dalam keputusannya. Empat tes untuk menentukan kecukupan prinsip nilai pun tersedia.

TES KASUS BARU
Prinsip nilai dirumuskan secara eksplisit. Lalu evaluator mempertimbangkan apakah ia dapat menerima penilaian yang diikuti oleh upaya untuk menerapkannya pada kasus yang relevan.
Guru perlu membantu siswa menemukan prinsip nilai yang melekat pada peniaian mereka, mengenai situasi yang sama, dan menentukan apakah prinsip bertahan dengan baik secara seimbang dalam situasi berikut ini. Contohnya:
S: Saya tidak berpikir kita sebaiknya memiliki pendapatan jaminan tahunan, karena beberapa orang akan mendapatkan uang tanpa harus bekerja utuk mendapatkannya. (S membuat evaluasi dan memberi alasan untuk mendukungnya.)
T: Lalu apakah kamu berpikir bahwa orang tidak akan mendapatkan uang tanpa bekerja untuk mendapatkannya? (T merumuskan prinsip yang ia rasa tanpak implisit dalam evaluasi S.)
S: Ya. (S menguatkan prinsip yang dirumuskan oleh T.)
T: Beberapa orang mewarisi banyak uang. Mereka tidak bekerja untuk uang ini. Apakah menurutmu mereka tidak seharusnya mendapatkannya? (T mengidentifikasi kasus baru dan menanyakan pada siswa apakah ia dapat menerima evauasi yang dihasilka dari penerapan prinsip terhadap kasus ini,)



TES PENGGOLONGAN
Prinsip nilai dirumuskan secara eksplisit. Lalu evaluator berupaya untuk mengumpulkan fakta yang menunjukkan bahwa prinsip nilai adalah sebuah contoh dari sejumlah prinsip nilai yang lebih luas yang ia terima. Contohnya:
T: Lalu, kamu berpikir bahwa setiap usaha komersial yang berbahaya terhadap kehidupan laut merupakan sesuatu yang tidak baik? (T merumuskan prinsip nilai implisit dalam evaluasi S.)
S: Ya. (Siswa menguatkan prinsip yang dirumuskan oleh T.)
T: Mengapa? (T menggali prinsip yang lebih luas.)
S: Karena itu adalah hal yang buruk yang dapat membahayakan sumber alam yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. (S memberi prinsip nilai yang lebih umum.)
T: Apa hubungannya dengan usaha komersial yang berbahaya terhadap kehidupan laut sebagai sesuatu yang tidak baik? (T berupaya untuk memperoleh fakta untuk melengkapi argumen)
S: Kehidupan laut memproduksi makanan dan oksigen yang lebih banyak yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia.

TES PERTUKARAN PERAN
Evaluator secara imajinatif bertukar peran dengan oranglain yang dipengaruhi oleh penerapan prinsip. Lalu evaluator mempertimbangkan apakah ia masih dapat menerima prinsip seperti yang diterapkan dalam peran ini. Contohnya:
S: Saya rasa seseorang yang pergi melanjutkan kuliah harus dibebaskan dari wajib militer.
T: Misalnya kamu tidak pergi kuliah karena kamu tidak memiliki uang yang cukup atau tidak memiliki nilai yang cukup baik. Apakah kamu masih berpikir bahwa setiap orang yang melanjutkan kuliah sebaiknya dibebaskan dari wajib militer?



TES KONSEKUENSI UNIVERSAL
Evaluator membayangkan konsekuensi apa yang akan terjadi jika setiap orang dalam situasi yang sama akan terlibat dalam tindakan yang sedang dievaluasi. Lalu evaluator mempertimbangkan apakah akan menerima semua konsekuensi ini. Contohnya:
S: Saya tidak melihat sesuatu yang salah dengan menolak membayar pajak penghasilan saya ketika pemerintah akan menggunakannya unruk sesuatu yang tidak saya setujui.
T: Apakah kamu telah mempertimbangkan apa yang akan terjadi pada pemerintahan dan negara jika semua orang menolak membayar pajak penghasilan ketika mereka berpikir bahwa pemerintah akan mengguanakannya untuk sesuatu yang tidak mereka setujui?
Dalam mengundang siswa untuk menguji kecukupan prinsip nilai mereka, guru mendorong pemikiran yang lebih kompleks, dapat dipahami dan lebih konsisten. Tes analisis nilai serupa dengan “penyelidikan” yang dikembangkan dalam model Kohlberg. Lebih lagi, Coombs sadar bahwa tes ini harus diadaptasi ke dalam tingkat perkembangan siswa. Individu yang ada pada tingkat perkembangan ego rendah memiliki kecenderungan untuk mengkutubkan masalah, mencari penyelesaian dengan kasar, mengaburkan perbedaan antara alat makna dan tujuan, dan dengan mudah digoyahkan dengan sumber kekuatan atau status yang tinggi. Dalam bentuk yang tidak dimediasi, tes analisis nilai dapat muncul lebih sebagai serangan daripada sebuah bantuan bagi siswa. Guru harus menghargai kapasitas siswa untuk menoleransi anbiguitas dan kompleksitas.
Coombs tidak menspesifiaksinya dalam cara yang sistematis, bagaiman guru dapat mengakomodasi beragam tingkatan pekembangan ego, walaupun ia menyinggung hasil karya Kohlberg sebagai panduan yang memungkinkan. Tetapi, kecuali bagi sejumlah saran umum, pembaca harus menciptakan pedagogi sensitif secara berkembang.

Tugas Penyelesaian Konflik
Penyelesaian konflik nilai adalah sebuah sambungan penting bagi analisis nilai dalam model Coombs. Tidak ada model pendidikan nilai lain yang fokus dengan sangat eksplisit pada area ini. Dasar dari versi Coombs-meux mengenai penyelesaian konflik adalah premis yang menyebabkan konflik nilai, dan “makna psikologi” dari konflik bagi pihak yang terlibat tidak secara langsung relevan dengan proses penyelesaian maslah dan dapat diabaikan. Asumsinya adalah bahwa jika ada konflik penetapan nilai, sumber konflik harus berbeda dengan satu atau lebih dari enam tugas analisis nilai yang dilakukan. Implikasinya adalah jika semua orang mengikuti prosedur analitis yang sama, perbedaan dalam penetapan nilai akan dapat diminimalkan.
Enam tugas penyelesaian konflik secara langsung sejajar dengan langkah analisis nilai. Intinya, konflik akan diselesaikan dengan mengurangi perbedaan dalam perlakuan siswa pada teknik analisis nilai.
1. Mengurangi perbedaan dalam menginterpretasikan pertanyaan nilai. Prosedur ini adalah pembuktian sendiri. Ketika siswa mengasumsikan sudut pandang yang berbeda atau menetapkan makna berbeda terhadap objek nilai, guru harus membantu mereka menemukan dasar atau menyadari bahwa, tidak berhasil menemukan dasar, dimana evaluasi mereka menemui konflik.
2. Mengurangi perbedaan dalam pengumpulan fakta-fakta pokok. Jika cabang konflik dari sebuah kebingungan pernyataan faktual dan evaluatif, guru harus mengkalrifikasi perbedaan antara dua jenis pernyataan ini. Jika siswa memiliki kualitas dan kuantitas bukti yang beragam sebagai hasil dari menggunakan sumber yang berbda, guru dapat meminta dilakukannya pembagian data.
3. Mengurangi perbedaan dalam menilai fkata-fakta pokok. Perbedaan dalam menilai kebenaran fakta dapat berasal dari masalah dalam metode atau aturan ilmiah dari bukti –seorang siswa mungkin kebingungan antara hubungan dengan sebab, contohnya. Atau, siswa dapat menggunakan standar kekerasan yang berbeda yang berkaitan dengan bukti. Mereka mungkin tidak setuju mengenai bagaiman banyak fakta dibutuhkan untuk mendukung sebuah generalisasi. Guru perlu membawa sumber ketegangan ini ke eprmukaan dan mengundang siswa untuk mengujinya secara kritis, dengan pertimbangan pencapaian konsensus.
4. Mengurangi perbedaan dalam relevansi fakta. Umumnya, perbedaan relevansi bergantung pada perbedaan beban yang diberikan pada kriteria nilai. Contohnya, untuk seseorang yang sangat peduli terhadap amsalah kesehatan tetapi hanya sedikit peduli pada ekonomi, fakta bahwa polusi udara dapat menyebabkan emphysema adalah kepentingan utama. Individu yang lebih berpikiran secara ekonomi mungkin akan sngat mempetinbangkan fakta bahwa upaya untuk menahan polusi udara melalui pemasangan kontrol yang mahal akan meningkatkan harga otomobil.
Guru dapat meminta pada siswa untuk mengklarifikasi perbedaan dalam kriteria yang menekankan dan menggali implikasi seperti perbedaan berikut: “John dan Bill, implikasi apa yang menurut kalian akan muncul karena perbedaan kalian?” Bill, karena kamu menganggap bahwa fakta mengenai DDT tidak relevan, apa yang akan berdampak pada dirimu yang berkaitan dengan tindakan yang akan kamu ambil atau rekomendasikan, yang berencana akan diadposi atau direkomendasikan?
Biasanya, ketika terjadi perbedaan dalam kriteria, perbedaan ini berkutang. Siswa mungkin tanpa mengetahuinya akan memberikan prioritas yang lebih terhadap masalah spesifik dibandingkan dengan mereka jika akan merefleksikan masalahnya secara eksplisit.
5. Mengurangi perebdaan dalam keputusan nilai tentatif. Perbedaan ini terkadang muncul ketika siswa sampai pada penetapan nilai tentatif secara prematur atau merumuskannya dalam istilah yang sangat luas. Sebagai sebuah pertolongan, guru dapat mengajukan bahwa penetapan nilai umum dapat dibagi dua menjadi dua atau lebih penetapan nilai yang lebih spesifik: “John dan Bill, walaupun kamu tidak setuju mengenai apakah DDT baik (istilah nilai yang umum), kamu dapat menyetujui bahwa DDT murah dan praktis [keduanya meruapkan istilah nilai yang spesifik], tetapi tetap tidak setuju mengenai apakah DDT aman atau tidak [istilah nilai yang spesifik].”
6. Mengurangi perbedaan dalam menguji penerimaan prinsip nilai. Perbedaan dalam penerimaan prinsip nilai “dikurangi dengan meningkatkan dasar pertimbangan dan pengalaman yang biasa pada evaluator dalam tes prinsip mereka.” Intinya, siswa diminta untuk mempertimbangkan kasus baru yang biasa, aturan baru yang biasa, dan konsekuensi baru yang biasa.
Dalam sesi model penyelesaian konflik di Values Education, sebuah tes pertukaran peran digunakan untuk menggali perbedaan dalam prinsip nilai dan menyarankan butir persetujuan. Masalah di bawah diskusi adalah mengajukan penghasilan tahunan minimum jaminan (GMYI). Dua siswa, Keith dan Terry, menyatakan prinsip nilai mereka seperti berikut:
K: Setiap GMYI yang membawa 34.1 juta orang pada status non kemiskinan tanpa menghapuskan keuntungan sangatlah dibutuhkan, walaupun akan berdampak pada kerja pencegahan dan peningkatan harga bagi levem pendapatan non kemiskinan, dan walaupun hal tersebut mungkin akan mendapatkan banyak pertentangan di Kongres.
T: Tiap GMYI yang meningkatkan anggaran belanja federal dari $4 juta hingga $7 juta selama pengusulan anggaran belanja sekrang, menambah lebih banyak lagi orang pada program bantuan pajak, dan menggandakan keuntungan adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, walaupun itu menetapkan standar nasional untuk pembayaran kesejahteraan dan membawa jumlah signifikan pada keluarga dengan pendapatan level bawah hingga level non kemiskinan.
Selama tes pertukaran peran, dimana Keith diminta untuk mengambil perspektif pembayar pendapatan menengah dan Terry diminta untuk berperan sebagai fakir miskin yang bergantung pada GMYI, Terryi, khususnya digerakkan untuk melihat masalah dalam sudut pandang yang baru. Prinsip nilainya yang berkaitan dengan GMYI tidak secara eksplisit atau secara formal berubah karena hasil dari pengalaman bertukar peran, tetapi dilakukan dengan perasaan:
T: Ketika bertukar peran dengan seseorang yang seharusnya menerima keuntungan, saya tidak mengubah prinsip nilai saya tetapi benar-benar berempati dengan orang-orang tersbeut. Kenyataan bahwa saya mungkin tidak memiliki cukup uang untuk menyokong saya menambah perhatian moral saya dan mengurangi perhatian ekonomi saya. Perasaan saya yang didorong perubahan ini yang termasuk keputusasasan, permusuhan dengan setiap orang yang berpenghasilan lebih, dan kekhawatiran akan kesejahteraan keluarga.
Guru bertanya pada Terry bagaiman ia memandang prinsip nilai aslinya. Ia menjawab:
T: Saya tetap berpikir seperti itu, lebih kepada apa adanya, tetapi, lebih banyak saya berbicara tentang hal itu, lebih banyak perhatian terhadap masalah moral dibandingkan dengan masalah ekonomi, karena itu akan muncul tiap kali kita berbicara mengenai ekonomi karena Keith akan mengangkatnya.
Hasil dari percakapan ini adalah Terry melanjutkan untuk berpegang pada posisinya, tetapi dengan keraguan dan kualifikasi yang lebih besar (yang mengingat kembali pembahasan James Shaver mengenai “pembuatan keputusan yang memenuhi syarat” dalam model pembentukan dasar pemikiran). Keith pun menguatkan kembali komitmennya pada GMYI, tetapi mengambil ancaman inflasi dengan lebih serius. Baik Keith maupun Terry mengakui perbedaan anara keduanya tetapi menjadi lebih sadar akan masalah mereka.
Coombs dan Meux berhati-hati dalam menyebutkan bahwa kegagalan untuk mencapai penyelesaian lengkap pada konflik nilai bukanlah suatu tanda kegagalan pedagogi. Mungkin faktor dalam situasi nilai (contohnya, memberi bobot yang berbeda pada kriteria berbeda) yang menghasilkan penetapan nilai berlawanan pada tempat pertama masih berkerja pada kesimpulan proses yang berhati-hati. Meskipun demikian, walaupun ketika penyelesaian tidak tercapai, proses penyelesaian masalah tidaklah tanpa dampak. Salah satu dari hasil yang lebih penting adalah bahwa pengurangan signifikan dalam konflik mungkin akan terjadi dalam tiap orang. Setiap pertanyaan kontroversial yang signifikan dengan individu akan melibatkan dua atau lebih nilai yang berlawanan. Pada kasus Terry (dalam masalah GMYI), konflik antara masalah ekonomi dan moralnya; penggabungan kriteria dan pengujian prinsip membawa kepentingan relatif dari dua masalah ini kedalam fokus yang lebih tajam. Prosedur penyelesaian konflik dapat mengurangi konflik intrapersonal, jika bukan konflik interpersonal.
Ditambah lagi, upaya untuk menyelesaikan konflik dapat berdampak dalam peningkatan pemahaman pad aperspektif orang lain. Jawaban Terry menyatakan manfaatnya:
T: Apa kamu tahu apa yang saya pikir penyelesaian konflik muncul dari mana? Kamu mengambil maslah utama (sangat sulit untuk menyelesaikan masalah utama), tetapi kamu jatuh pada hal yanglebih kecil dan mulai setuju tentangnya, dan kamu membuat sedikit laporannya –mencari tahu bagaimana perasaaan orang lain.
Tugas penyelesaian masalah, mengundang siswa untuk mengambil perspektif orang lain, dan juga perspektif baru mereka yang dicerminkan pada kasis dan peran hipotetis yang serupa. Dalam hal ini, konsisten dengan orientasi Kohlberg, walaupun Coombs tampaknya menanggung gerakan yang berubah-ubah dari keterampilan mengambil perspektif sosial dibandingkan dengan Kohlberg dan mungkin menurunkan kesulitan yang mungkin dihadapi anak dalam pengujian prinsip dan inkuiri kritis. Tetapi strategi penyelesaian konflik dengan jelas merupakan penambahan yang berguna bagi daftar metode pendidik moral. Model Coombs adalah satu-satunya yang masuk pada startegi tersbut. Tampaknya akan efektif dalam mengembangkan keterampilan pembuatak keputusan kelompok siswa dan memajukan dasar pemikiran moral yang lebih layak.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kekuatan dasar dari analisis nilai adalah bahwa hal tersebut memberik proses yang detail dan selangkah demi selangkah dalam menganalisi pertanyaan nilai, khususnya masalah kebijkan umum yang kompleks uang melibatkan jumlah fakta dan konsekuensi yang besar. Dengan terlibat dalam enam prosedur, individu sampai para penilaian yang berdasarkan pada standar rasionalitas yang ketat. Tidak ada model yang menyajikan deskripsi prosedur yang menyeluruh untuk berkenaad dengan masalah nilai.
Begitu juga kekuatan pendekatan yang mungkin menjadi kekurangan. Siswa dapat melihat analisis nilai sebagai latihan akademik. Secara masuk akal, siswaw dapat bekerja melalui prosedur analitik di dalam kelas dan melanjutkan bertindak dalam cara yang tidak rasional di luar kelas. Proyek lain dalam pendidikan nilai telah mengidentifikasi masalah ini. Siswa dapat, seperti yang dinyatakan Newmann, sangat memandang proses analisis nilai yang sistematis sebagai sebuah “permainan” yang memiliki relevansi marginal terhadap masalah nyata mereka. Ketika mereka berhadapan dengan dilem dan pertanyaan nilai dalam kehidupan sehari-hari mereka, mereka tidak memiliki waktu untuk membuat daftar fakta dan kartu bukti. Agaknya, transfer analisis nilai pada pertanyaan hari per hari dapat dibuat, tetapi Coombs gagal untuk melakukannya.
Keterbatasan kedua adalah kurangnya komponen afektif. Coombs merujuk pada temuan ahli psikologi ego yang secara eksplisit berkaitan dengan pengaruh, tetapi pembahasannya mengenai perkembangan ego terbatasi oleh masalah konseptual atau kognitif. Ia mengabaikan fungsi yang berkaitan dengan ego seperti empati, keihklasan dan kesadaran identitas. Terdapat sedikit perhatian terhadap masalah keterlibatan perasaan siswa mengenai situasi nilai, mengenai bagaimana fantasi dan imajinasi dapat digerakkan dalam analisis nilai. Pendekatannya sangat logis. Idealnya, model Coombs akan ditambah dengan pendekatan lain, seperti model pertimbang dan klarifikasi nilai, untuk mengakomodasi masalah afektif ini.









7
MODEL
PERKEMBANGAN MORAL KOGNITIF

Bab sebelumnya telah membahas berbagai macam dimensi dalam model pendidikan moral: pendidikan moral dalam konteks demokarasi, pendidkan moral sebagai peningkatan kemampuan seseorang utuk mengklarifikasi berbagai isu atau persoalan nilai, pendididkan moral sebagai pertimbangan untuk berbagai hal lain, dan pendidikan moral dengan menggunakan data dan kajian logis. Model perkembangan moral kognitif Lawrence Kohlberg berkaitan dengan dimensi-dimensi tersebut dan memperkenalkan satu penekanan lain yang baru yaitu perkembangan alasan moral. Kohlberg telah memadukan filsafat, psikologi dan pendidkan untuk membuat penjelasan yang komprehensif mengenai perkembangan moral dan mebuat model pendidikan moral.
Pendekatan pendidikan moral Kohlberg didasarkan pada adanya perbedaan yang jelas antara nilai-nilai moral dan amoral dan adanya formulasi yang tepat terhadap konflik yang muncul dalam pembuatan keputusan. Teori perkembangan moral dan teori pendidikan moral Kohlberg menganggap penilaian moral sebagai representasi proses berfikir yang alami. Kohlberg berpendapat bahwa pemikiran yang bermoral harus dipahami dalam istilahnya tersendiri dan tidak bisa disederhanakan sebagai proses nilai yang umum. Selain itu, penilain moral harus melibatkan prroses memilih berbagai nilai yang berlawanan. Kesadaran terhadap nilai moral hanyalah satu langkah untuk dapat memahami nilai-nilai yang seringkali menjadi suatu konflik ketika kita harus mengambil suatu pilihan atau suatu keputusan.
Meskipun kita mengacu pada teori Kohlberg sebagai teori perkembangan moral, sebenarnya lebih tepat lagi teori Kohlberg adalah teori perkembangan keputusan moral atau moral judgment. Bisaanya moralitas disamakan dengan sifat-sifat yang ‘baik’ atau dengan tingkah laku yang ‘pantas.’ Sementara bagi Kohlberg, moralitas merupakan proses logis seseorang memahami dan menyelesaikan konflik moral. Misalnya, konflik yang dialami seorang siswa yang ingin mengungkapkan nilai-nilai kejujuran dan loyalitas. Namun, dia akan menguji sejauhmana kapasitanya dalam suatu keputusan moral ketika dia dihadapkan dalam suatu situasi yang problematik. Suatu situasi mungkin akan muncul ketika dia melihat temannya mencontek atau berlaku curang dalam suatu tes. Nilai-nilai kejujuran dan loyalitas akan menghantuinya. Haruskah dia memberitahu guru atas prilaku buruk yang dilakukan temannya atau dia tidak memberitahukannya demi kesetiakawanan? Kualitas keputusan moral yang dimiliki seseorang bukan terletak pada pilihan akhirnya melainkan pada alasan-alasan mengapa dia menganggap suatu pilihan tertentu itu benar.
Yang membedakan teori Kohlberg dengan model-model teori lainnya adalah teori Kohlberg yang menyatakan adanya tahapan-tahapan dalam keputusan moral (the satges of moral judgement). Kohlberg tidak begitu saja berkata bahwa anak-anak harus belajar untuk memilih nilai-nilai atau untuk menengahi konflik nilai. Dia hanya menggambarkan secara empiris struktur alasan-alasan moral dan transformasinya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Definisi alasan moral untuk anak berusia tujuh tahun jelas berbeda dengan mereka yang berusia tujuh belas tahun. Para pendidik moral harus benar-benar memahami perbedaan perkembangan tersebut.
Inti sari dari teori Kohlberg adalah adanya konsep “pentahapan.” Tahapan mengacu pada pola alasan dan menunjukkan ciri-ciri berikut:
1. Tahapan adalah system berpikir yang terorganisasi secara tersusun dan menyeluruh. Ini berarti bahwa setiap orang konsisten dalam tingkat keputusan moral mereka.
2. Tahapan membentuk suatu urutan yang sama. Dalam setiap kondisi selain trauma, pergerakan itu selalu kedepan dan tidak pernah kebelakang atau mundur. Setiap orang tidak pernah melompati tahapan, dari tahap satu langsung ke tahap lima misalnya, tetapi berurutan dan bergerak selalu ke tahap berikutnya. Ini terjadi di budaya manapun.
3. Tahapan adalah “penggabungan yang hierarkis”. Berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi melibatkan pemikiran dalam tingkatan yang rendah. Hal itu merupakan kecenderungan untuk bisa mencapai tingkatan yang paling tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa tahapan berikutnya itu ‘lebih tinggi’ dari tahapan sebelumnya karena tahapan tersebut dapat mengelola fakta-fakta, kepentingan, dan kemungkinan-kemungkinan dalam hidup yang makin beragam dan kompleks.
Catatan lainnya mengenai konsep tahapan adalah bahwa anak tidak mengembangkan tahap-tahap kognitifnya dengan cara mereka mempelajari keterampilan, pengetahuan dan sikap tertentu. Meskipun tahapan perkembangan kognitif yang mereka alami berdasarkan pada pengalamannya, tahapan tersebut bukan merupakan refleksi langsung dari budaya atau dunia luar si anak. Pola mental anak bukanlah produk masyarakatnya semata, namun mental tersebut berkembang karena hasil interaksi antara anak dengan dunianya. Inteaksi ini mendorong adanya restrukturisasi kognitif anak bukan pemaksaan budaya pada anak yang dilakukan secara langsung. Dengan kata lain, anak tidak akan menerima nilai-nilai masyarakatnya meskipun otaknya seperti wadah yang kosong. Anak menerima dan mengasimilasi nilai-nilai berdasarkan logika internal dan personalnya. Anak tidak begitu saja mencerminkan moral budaya yang ada dimasyarakatnya namun dia akan menginterpretasinya secara berbeda dibandingkan dengan cara interpretasi orang dewasa. Pada saat yang sama, dalam menghadapi kenyataan sosial dan dalam upaya memahaminya, cara berpikir anak mengalami perubahan. Seperti ketika seorang anak bermain dengan teman sebayanya, dia secara bertahap akan membangun konsep keadilan (fairness). Interaksi dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembaankan perspektif perlunya suatu peraturan. Budaya tidaklah menanamkan perspektif ini, anak mengembangkannya secara alamiah untuk mengakomodasi pengalaman sosial yang makin kompleks. Dengan demikian, tahapan merupakan suatu bentuk, dan bentuk dibentuk oleh pengalaman sosial. Tugas seorang guru sangatlah kompleks. Dia harus mengapresiasi tahapan baru yang dialami siswa sambil menciptakan suatu lingkunagn yang akan membantu siswa melangkah pada tahapan yang lebih maju.
Suatu tahapan moral direfleksikan dalam semua pola bagaimana seseorang merespon dilema moral yang terjadi. Baik peneliti maupun guru tidak dapat menentukan tahapan pemikiran seseorang terhadap moral berdasarkan kesedaran seseorang terhadap satu masalah atau dilema saja. Mengapa dalam bab ini kita fokus pada satu dilema saja, ini hanyalah demi kesederhanaan dan kejelasan saja serta untuk menunjukkan bagaimana respon tertentu terhadap dilema menunjukkan setiap tahapannya. Contoh dilema yang biasanya digunakan oleh anak-anak maupun dewasa adalah dilema Heinz. Pertanyaan-pertanyaan penyerta dirancang untuk menggali atau menyelidiki solusi logis responden.
Di Eropa ada seorang wanita yang dinyatakan hidupnya tidak akan lama lagi disebabkan oleh penyakit kanker yang dideritanya. Hanya ada satu obat yang dokter kira dapat menyelamatkan nyawanya. Obat tersebut berupa radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota tersebut. Untuk membuat obat itu diperlukan biaya yang sangat mahal. Tapi kemudian apoteker tersebut mematok harganya sepuluh kali lipat dari harga yang sebenarnya dibutuhkan untuk membuat obat tersebut. Dia menghabiskan $200 untuk radium dan dia mematok harga $2000 untuk obat dalam dosis yang kecil. Suami wanita itu yang bernama Heinz sudah mendatangi semua orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi setelah semua dikumpulkan dia hanya mampu mengumpulkan $1000, setengah dari harga obat yang harus dia beli. Dia memberi tahu apoteker tersebut bahwa isterinya hampir mati dan meminta apoteker tersebut untuk menjual obatnya dengan harga yang lebih murah atau memberikan kesepatan padanya untuk melunasinya kemudian. Namun apoteker itu berkata, “Tidak. Saya sudah susah payah menemukan obat ini. Dan karenanya, saya ingin mendapatkan banyak uang dari jerih payah yang sudah saya lakukan.” Karena itu, Heinz menjadi putus asa dan berpikir untuk membobol toko apoteker tersebut dan mencuri obat itu untuk isterinya.
1. Haruskah Heinz mencuri obat itu? Mengapa ya atau mengapa tidak?
2. Jika Heinz tidak mencintai isterinya, haruskah dia mencuri obat tersebut untuknya? Mengapa ya atau mengapa tidak?
3. Anggap orang yang akan meninggal itu bukanlah isterinya tetapi orang yang tidak dia kenal. Haruskah dia mencuri obat tersebut untuknya? Mengapa ya atau mengapa tidak?
4. (Jika kamu bersedia mencuri obat untuk temanmu), dan anggap itu dilakukan untuk hewan peliharaan temanmu yang amat dia cintai. Haruskah dia mencuri obat tersebut untuk binatang peliharaan itu? Mengapa ya atau mengapa tidak?
5. Mengapa orang harus melakukan apapun yang mereka bisa untuk menyelamatkan hidup seseorang, bagaimanapun caranya?
6. Tentu saja mencuri merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan Heinz. Apakah itu salah secara moral? Mengapa ya atau mengapa tidak?
7. Mengapa orang harus sebisa mungkin menghindari untuk melanggar hukum?
8. Bagaimana hubungannya dengan kasus Heinz?

DEFINISI TAHAPAN
Dalam teori Kohlberg, perkembangan moral dalam semua budaya mengikuti tiga tahapan mulai dari egosentris kemudian sosial, hingga universal (lihat tabel 7.1). Penilaian moral seseorang tumbuh sedikit demi sedikit tergantung pendapat personal dan iterpersonalnya, dan dalam tahapan yang paling tinggi, dapat menjadi jangkar dalam prinsip-prinsip keadilan universal. Tahapan yang paling tinggi lebih mampu untuk mengatasi kompleksitas moral dalam cara yang stabil dan konsisten.
Tahap Pra-konvensional
Pada tahap pra-konvensional, seseorang memahami issu atau permasalahan moral dari perspektif kepentingannya. Seorang anak dalam tahap ini tidak mempedulikan apa yang dianggap masyarakat itu benar atau yang marasayakat anggap sebagai suatu hal yang baik, namun dia hanya akan mempedulikan konsekwensi nyata dari tindakannya misalnya hukuman atau penghargaan. Perspektif ini fokus pada kepentingan nyata yang anak kejar sekaligus menghindari resiko yang tak bisa dielakkan.
Tahap 1: berorientasi pada hukuman dan kepatuhan (the punishment-and-obedience orientation). Pada tahap ini anak hanya memikirkan masalah dan solusi fisik saja. Apa yang benar baginya adalah apa yang dapat membuatnya terhindar dari hukuman. Pada tahap 1 ini dalam merespon dilema Heinz adalah bahwa Heinz harus mematuhi pemerintah, dia akan dihukum jika dia tetap melakukan pencurian obat tersebut. Anak percaya bahwa Heinz tidak mampu menentang pemerintah, hukumannya bisa sangat berat.
Tahap 2: the instrumental-relativist orientation. Pada tahap dua standar baru dalam keputusan muncul yaitu standar keadilan (fairness). Adil itu terwujud jika seseorang yang memiliki alasan baik untuk melakukan sesuatu dinilai dengan alsannya tersebut bukan dengan kesewenang-wenangan dari pemerintah. Pemerintah yang dalam tahap 1 menjadi pusat, dalam tahap 2 menjadi relatif. Pemerintah sama seperti orang lain dalam hal dia harus bermain dengan mematuhi peraturan permainan, yaitu keadilan dan kejujuran.
Aturan keadilan dalam tahap 2 dimaknai secara fisik dan fragmatik seperti “jika kamu menggaruk punggung saya, saya akan menggaruk punggung kamu” dan tidak melibatkan loyalitas atau kesetiakawanan dan balas budi. Keadilan merupkan moralitas namun dalam tahap 2 keadilan berarti bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bisa menghindar dengan cara yang dia bisa. Dari prerspektif preconventional, jika guru memberikan test dan tidak diawasi dengan baik maka adil bagi siswa untuk mencontek. Siswa pada tahap ini akan bertanya, “Memangnya siapa yang akan tersakiti atau dirugikan jika saya mengambil jawaban guru? “ Jawaban bahwa hal itu dapat menyakiti seseorang bagi anak belum bisa dimengerti atau belum masuk akal. Bagaimana ceritanya hal itu bisa menyakiti seseorang jika siswa dengan mencontek mendapatkan poin atau nilai yang bagus dan tak ada seorng pun yang kehilangan sesuatu? Bahaya dipahami hanya sebagai akibat yang konkret dan kasat mata; menyakiti perasaan seseorang dianggap bukan merupakan bahaya. Tak heran jika guru mengalami banyak masalah untuk meyakinkan siswa bahwa mencontek itu tidak baik (salah jika dilihat dalam perspektif moral).
Dalam kasus Heinz dan apoteker, kebanyakan anak tidak melihat bagaimana apoteker menyebabkan Heinz dalam kesengsaraan sebagai sebuah masalah. Mereka melihatnya sebagai hal yang wajar dan alamiah saja jika Heinz ingin mencuri obat tersebut dan memberikannya pada isteri tercintanya berarti dia peduli pada isterinya. Kalaupun dia tidak mencurinya, dia tidak akan menerima resiko apapun—itu semua urusan dia. Kenapa mengganggu? Responden pada tahap 2 tidak melihat suami sebagai orang yang memiliki kewajiban pada isterinya. Melainkan, jika dia mau, suami punya hak untuk mencuri obat tersebut untuk diberikan kepada isterinya. Selain itu, pikir mereka, kalaupun Heinz tetap mencurinya dia tidak akan dihukum. Hakim macam apa yang tidak bisa memahami alasan mengapa Heinz mencuri? Adakah alasa lain yang lebih baik untuk mencuri selain demi menyelamatkan nyawa isteri? Pada tahap pra-konvensional, isu hukum tidak muncul tetapi sejauh mana sesuatu itu harus “disebarkan” untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang sah. Aksi yang muncul terhadap dilema Heinz semuanya berdasarkan perspektif individu yang terlibat: Heinz, isterinya, apoteker dan hakim.
Didalam masyarakat kita, tahap 2 ini mulai berkembang pada anak usia tujuh atau delapan tahun dan cukup dominan hingga usia tamat sekolah dasar. Penilitian yang dilakukan terhadap para remaja menunjukkan bahwa diantara masyarakat kelas menengah alasan-alasan pada tahap 2 ini berkurang secara drastis tetapi cukup dominan diantara anak muda kelas pekerja dan kelas bawah. Di kalangan orang dewasa hal ini terus berlangsung hingga waktu yang cukup lama tetapi lebih sebagai tahap awal saja.

Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional seseorang memahami suatu masalah dari perspektif anggota-masyarakat. Individu menyadari bahawa masyarakat menghendaki suatu tindakan itu dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seseorang harus berusaha keras tidak hanya untuk menghindari hukuman atau kecaman melainkan untuk menjadi orang dan anggota masyarakat yang baik sehingga bisa diterima di masyarakat.
Tahap 3: interpersonal concordance atau “good boy-nice girl” orientation (keserasian interapersonal dan konfromitas). Pada tahap 3 motivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bermoral adalah untuk memenuhi harapan orang lain. Karena alasan melakukan sesuatu yang benar berubah, konsep apa yang benar yang berhubungan dengan orang lain juga berubah. Pada tahap 2 apa yang benar adalah hak untuk memenuhi kepentingannya tanpa membahayakan atau merugikan siapapun. Pada tahap 3 lebih pada harapan diri dan juga orang lain. Kesadaran bahwa orang lain mempunyai harapan yang positif pada anda mendorong terciptanya hubungan interpersonal. Ketika dua orang menjalin suatu hubungan, mereka saling memberikan kepercayaan dan berharap bahwa satu sama lain akan menghormati dan menjaga kepercayaan yang diberikan. Hubungan lebih dari sekedar saling memberikan manfaat (seperti yang dilihat pada tahap 2); hubungan melibatkan suatu komitmen. Melanggar komitment atau menodai kepercayaan yang diberikan, bagi orang yang berada pada tahap 3 ini, dianggap sebagai tindakan yang fatal.
Dilema Heinz menunjukkan ciri seperti ini dengan sangat jelas. Apa kewajiban Heinz terhadap isterinya? Dilihat dari sudut pandang tahap 2, Heinz tidak memiliki kewajiban apapun sama sekali. Dia tentu saja memiliki hak untuk menyelamatkan nyawa isterinya jika dia mau, namun jika dia tidak melakukannya, tak seorang pun punya hak untuk menentangnya bahkan isterinya sekalipun. Dilihat dari perspektif tahap 3, dengan menikahi wanita ini, Heinz mempunyai komitmen yang jelas kepadanya. Dia harus peduli dan mencoba untuk menyelamatkan hidupnya. (Apakah ini termasuk dia mencuri obat demi isterinya merupakan poin yang responden di tahap 3 tidak setuju). Meskipun dia tidak lagi mencintai isterinya, fakta bahwa dia pernah mencintainya dan pernah berkomitmen dengannya menunjukkan bahwa dia harus khawatir kepadanya.
Dalam hubungannya dengan apoteker, responden tahap 2 percaya bahwa apoteker memiliki hak untuk memperoleh keuntungan, meskipun dia tega tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada Heinz (dan meskipun Heinz jadi dendam kepadanya), dia tidak mempunyai kewajiban untuk melakukanya. Sebaliknya, responden tahap 3 seringkali merasa kesal dan marah ketika berpikir mengenai tindakan apoteker; “Orang macam apa dia? Tidakkah dia memiliki hati? Dia memang mungkin tidak mengenal Heinz dengan dekat, namun sebagai apoteker dan sebagai anggota suatu profesi di bidang kesehatan, dia berkomitmen untuk membantu orang-orang menjadi sehat, dan sekarang dia mengabaikan dan mengusir Heinz hanya dengan alasan yang benar-benar sangat egois”. Egois, dari perspektif tahap 3, adalah bentuk lain dari penodaan dan penghianatan pada kepercayaan dan komitmen dan egois selalu dianggap salah.
Tahap 3 berkembang pada remaja tahap awal; yang merupakan tahap yang dominan selama masa remaja; dan tahap 4 merupakan tahap yang dominan pada sebagaian besar orang dewasa dalam masyarakat kita. Ini merupakan cara yang cukup matang untuk mengatasi masalah atau konflik yang muncul diantara orang-orang yang saling kenal. Tahap 3 ini tidak cocok ketika seseorang harus mengatasi masalah pada tingkat masalah yang ada di masyarakat. Untuk masalah tersebut, tahap 4 dan selanjutnya terbukti lebih cocok dan tepat.
Tahap 4: Social system dan conscience. Pada tahap 4 ini seseorang memiliki perspektif yang didasarkan pada sistem sosial dimana dia berada dan ikut serta: masyarakat dan berbagai institusi dimana dia bergabung.
Kemampuan untuk melihat masalah sosial dari perspektif system secara menyeluruh memberikan dasar-dasar baru pada penalaran moral. Mari kita kembali pada dilema Heinz. Pada tahap 3, responden lebih memperhatikan komitment Heinz sebagai suami dan “ketidakmanusiawian’ apoteker dan kegagalannya untuk memenuhi apa yang diharapkan dari profesinya; mereka biasanya tidak memperhatikan pengaruh keputusan yang Heinz ambil terhadap system sosial. Namun, dari perspektif tahap 4, pengaruh terhadap system sosial merupakan perhatian utama. Responden pada tahap ini setuju bahwa Heinz berkewajiban untuk menyelamtkan nyawa isterinya dan bahwa apoteker telah bertindak tidak manusiawi, namun mereka juga memperhatikan jika Heinz mencuri, maka dia dapat melemahkan aturan moral yang ada dalam masyarakat. Hukum bagi mereka merupakan nilai dasarnya. Mereka tentu saja tidak perlu bertindak seperti advokat yang memperjuangkan “hukum dan aturan” melainkan mereka harus menghoramati bahwa setiap masyarakat terikat dengan kesepakatan-kesepakatan moral dan sosial yang banyak diantaranya dijadikan suatu aturan hukum dan tentu saja pelanggaran pada kesepakatan-kesepakatan tersebut mengancam kesatuan dan solidaritas system sosial yang ada.
Ini tidak bermaksud mengatakan bahwa umumnya responden tahap 4 memutuskan bahwa Heinz jangan mencuri untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Meskipun mereka menghormati keberadaan hukum, mereka juga menghormati pentingnya suatu nyawa. Jika dipikirkan, dilema ini paling sulit diselesaikan di tahap 4. Para responden menyadari bahwa nyawa manusia itu suci dan tujuan dari hukum adalah untuk menjaga kesuciannya tersebut. Oleh karena itu ketika nilai-nilai hukum dan kehidupan bertentangan secara nyata, mereka sulit untuk memilih diantara keduanya.
Penalaran tahap 4 mulai berkembang sebelum masa dewasa pertengahan. Tahap ini dianggap tahap yang paling seimbang dan sering terbukti sebagai tahap yang paling tinggi dimana orang dewasa berkembang. Pada tahap ini, mengatasi masalah sosial biasanya dilakukan sama baiknya dengan mengatasi isu-isu interpersonal. Kohlberg percaya bahwa pemikiran seperti ini tidak cocok dengan situasi dimana system hukum dan kepercayaan bertentangan dengan hak-hak azasi manusia. Jika seseorang tinggal dalam system sosial yang secara sistematis mengabaikan sebagian hak asasi manusia, haruskah orang tersebut setuju untuk tidak menentang atau bahkan melawan pada apa yang dianggapnya tidak adil demi mempertahankan atauran sosial dan moral yang ada? Penalaran tahap 4 tidak memiliki jawaban yang cocok terhadap pertanyaan ini. Untuk sementara, orang-orang pada tahap ini mungkin berpendapat bahwa untuk mengubah system, jika system tersebut didasarkan atas ketidakadilan, mereka harus memilih antara ketaatan dan penentangan meskipun mereka memilihnya dengan terpaksa. Kohlberg meyakini bahwa dengan ciri yang ada pada tahap 4, tidak ada kriteria untuk lebih memilih penentangan daripada ketaatan. Oleh karena itu dia melukiskan tahap pasca-konvensional akan lebih sesuai untuk mengatasi konflik moral tersebut.

Tahap Pasca-Konvensional, Otonom, dan Prinsip
Pada tahap ini, seseorang memahami masalah moral lebih didasarkan pada perspektif sosial. Karena itu, seseorang dapat melihat hukum dan norma yang ada didalam masyarakatnya dengan lebih luas dan mempertanyakan “Prinsip apakah yang mendasari suatu masyarakat yang baik itu?”
Tahap 5 dan 6: Kontrak sosial dan Prinsip etika universal. Keduanya merupkan tahap penalaran moral yang prinsipil dan merupakan tahap paling kontroversial dalam teori Kohlberg. Tahapan itu diambil dari beberapa filsafat, namun sebagaian ahli filsafat moral tidak setuju dengan susunan tahapan “tertinggi” Kohlberg. Karena sedikitnya data empiris yang ada pada tahap tersebut dibandingkan dengan tahapan yang lain dan karena itu tahapan-tahapan tersebut dipertanyakan secara serius oleh para psikolog.
Tahap 5 mendefinisikan tindakan yang baik dalam hal hak-hak individu dan standar yang telah diuji secra kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Kewajiban moral dilihat dari perspektif kontrak sosial. Keuntungan dari konsep ini adalah bahwa tidak adanya upaya untuk menentukan rumusan pasti mengenai suatu kewajiban untuk setiap hubungannya, sebagaimana yang biasa dilakukan di tahap 4. Namun, komitmen sosial dilihat sebagi sesuatu yang mana setiap orang mewajibkan dirinya terhadap kontrak yang ada secara bebas karena mengetahui bahwa orang lain juga telah mewajibkan diri mereka untuk mematuhi kontrak tersebut secara bebas dan sama. Kesepakatan yang saling menguntungkan memberikan arti kewajiban mendasar bagi satu terhadap yang lain. Kontrak, baik dalam bentuk hukum maupun dalam bentuk yang lebih personal seperti pertemanan dan pernikahan, tidak bisa dipisahkan apakah baik atau buruk jika mencabut hak-hak asasi manusia seperti hak untuk hidup dan hak untuk merdeka. Beberapa kontrak tertentu bisa saja tidak valid secara moral. Dengan demikian, misalnya, jika seseorang secara sukarela menjual dirinya untuk menjadi budak, orang lain tidak mempunyai hak moral untuk mendukung atau meneruskannya.
Berikut merupakan respon tahap 5 pada dilema Heinz:
Apa yang telah dilakukan Heinz tidaklah salah. Pendistribusian obat-obatan yang langka tersebut harus diatur berdasarkan prinsip keadilan. Karena tidak adanya suatu regulasi, sang apoteker juga melaksanakan haknya, jika dia tidak berada dalam situasi yang menentang tindakannya. Namun demikian, dia juga masih berada dalam hak-hak moralnya, kecuali jika masyarakat sangat tidak menyetujuinya. Meskipun apa yang dilakukan Heinz tidaklah salah, dia tidak berkewajiban untuk mencurinya. Dalam hal ini mencuri obat tersebut bukanlah sesuatu yang salah bagi Heinz, namun apa yang dilakukannya lebih dari yang disebut sebagai kewajiban melainkan supererogation—memikirkan apa yang baik dan benar berdasarkan aturan masyarakat dimana seseorang tinggal dan merasa bersalah ketika dia melakukan tindakan yang tidak baik.
Responden memulainya dengan apa yang seharusnya dilakukan didalam masyarakat: “Pendistribusian obat langka itu harus diatur dengan prinsip keadilan”. Namun, karena hal ini bukan primsip yang ada di masyarakat dimana Heinz tinggal, apoteker “ada dalam hak moralnya.” Heinz tidak mempunyai kewajiban untuk mencuri karena hal itu bukan bagian kontrak yang biasa terjadi antara suami dan isteri. Namun jika ia tetap mencuri, tindakannya akan menjadi “tindakan supererogasi”—tindakan yang baik melebihi apa yang dinamakan sebagai kewajiban.
Ketidakpuasan Kohlberg degan respon ini dan dengan penalaran moral yang berdasarkan konsep kontrak sosial mendorongnya untuk memformulasikan tahap 6 yang “lebih tinggi.” Pemikirannya mengenai tahap ini sangat dipengaruhi oleh filusuf Harvard yang bernama John Rawls. Kohlberg menyatakan respon sebagai berikut untuk menanggapi dilema Heinz sebagai contoh penalaran tahap 6.
Jika seorang suami tidak begitu merasa dekat atau sayang pada isterinya, haruskah dia mencuri obat itu?
Ya. Nilai hidup isterinya tidaklah bergantung pada ikatan personal apapun. Nilai hidup manusia didasarkan pada fakta bahwa dalam tindakan moral menyelamatkan nyawa seseorang adalah suatu “keharusan” siapapun dia.
Anggaplah ia teman atau kenalannya?
Ya, nilai hidup manusia akan tetap sama.
Perbedaanya disini adalah bahwa reponden tidak membuat tindakan mencuri yang berdasarkan pada kesepakatan utama anatara Heinz dan orang lainnya yang terlibat, melainkan lebih melihantnya sebagai “keharusan” moral. Prinsip etika yang mendasari penalaran tahap 6 melebihi kesepakatan kontrak sosial yang diberikan.prinsip-prinsip tersebut berupa prinsip keadilan, persamaaan hak manusia, yang universal, hak persamaaan dan timbal balik, martabat manusia yang universal.
Penalaran moral pada tingkat prinsipil lebih cocok karena lebih banyak melibatkan sudut pandang dan dilaksanakan secara lebih konsisten. Pendekatan prinsip memandang konflik moral dari perspektif kemanusiaan bukan hanya melihat seseorang sebagai anggota masyarakat atau penganut suatu agama. Dari perspektif masyarakat, misalya, mungkin sangat masuk akal untuk mengatakan bahwa orang harus setia pada negaranya. Namun, akankah orang Amerika juga ingin orang yang tidak setuju pada Uni Soviet berhenti melakukan protes dan setia pada negaranya? Kelihatannya tidak. Namun, bagaimana seseorang dapat konsisten menjaga loyalitas pada negarantya dan mendorong orang lain untuk tidak loyal pada Negara mereka? Seseorang hanya akan dapat melakukanya dengan pertama-tama menjaga prinsip untuk senantiasa loyal untuk menjaga dan membela hak-hak manusia dan keduanya loyal pada Negara sejauh Negara tersebut melindungi hak-hak manusia. Kemudian secara konsisten, kriteria yang universal diterapkan pada seseorang di Negara manapun yang harus memutuskan kapan untuk melakukan protes dan kapan untuk mendukung tindakan negaranya.
Dengan mengikuti definisi filsafat moral tertentu, Kohlberg telah mampu menggabungkan filsafat kedalam psikologi. Dia telah mampu untuk menggambarkan bagaimana seharusnya keputusan moral tingkat tertinggi agar dianggap sebagai ‘moral sejati” berdasarkan kriteria filosofis tersebut. Dengan definisi tersebut, dia mampu memetakan tahapan-tahapan perkembangna moral yang logis dari masa kanak-kanak hingga mencapai tahapan tertinggi. Namun dalam menggapai tingkat kejelasan tersebut, Kohlberg harus menerima dua pembatasan yang sangat penting. Pertama adalah kritik dari filusuf lain bahwa definisi tahap tertinggi yang disampaikan Kohlberg itu dianggap terlalu sempit. Mungkin ada banyak versi prinsip moralitas yang lain daripada yang digambarkan Kohlberg. Kedua dia membatasi perkembangan moralnya pada perkemabangan penalaran moral. Penalaran moral bisa jadi merupakan komposisi yang penting dalam perkembangan moral, tapi tidak berarti hal itu bisa menggambarkan semuanya.

PENDIDIKAN MORAL: SUATU TINJAUAN PADA KARYA KOHLBERG DALAM BIDANG PENDIDIKAN.
Ada dua bagian dalam karya pendidikan Kohlberg. Pertama berkaitan dengan kurikulum didalam kelas yang memfokuskan pada pembahasan isu-isu moral dan rangsangan pada pertumbuhan moral. Kedua, berkaitan dengan restrukturisasi lingkungan sekolah agar dapat menciptakan partisipasi domokrasi yang lebih luas bagi para siswa dalam proses pemerintahan sekolah.
Berdasarkan pengalamannya dalam pendidikan moral yang berbasis diskusi, Kohlberg menyimpulkan bahwa perubahan moral sering terjadi ketika suatu diskusi atau pembahasan berhasil membangkitkan konflik kognitif diantara partisipan. Partisipan yang diekspos untuk melihat suatu konflik berdasarkan penalaran moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan penalaran moralnya sendiri mungkin menjadi merasa tidak yakin dengan posisi awalnya dan mulai mempertimbangkan kebaikan posisi yang lain. Namun tentu saja tidak berarti partisipan mengubah posisinya dengan mudah, tetapi memulai proses restrukturisasi cara memahami isu-isu moral.
Meskipun program diskusi moral telah sukses untuk merangsang pertumbuhan moral, terlihat jelas program-program tersebut bukan merupakan suatu kurikulum untuk pendidikan moral. Program tersebut secara umum tidak terintegrasi kedalam kurikulum yang lebih besar tidak pula bertujuan untuk memberikan pengaruh pada pengalaman pendidikan siswa dalam cara yang lebih terbatas. Kohlberg telah jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengembangkan program yang lebih mecakup pendidikan moral:
Jika diskusi singkat saja dapat memberikan pengaruh yang luar bisaa terhadap perkembangan moral, perhatian pada pengaruh sekolah terhadap perkembangan moral yang persuasif, berlangsung lama, dan lebih mempertimbangkan hal-hal psikologis harus mempunyai efek yang lebih hebat. Perhatian tersebut akan lebih fokus pada bidang studi sosial, pendidikan hukum, filsafat dan pendidikan sex, daripada menunjukkan bidang kurikulum yang baru. Lebih luas lagi, hal tersebut akan mempengaruhi lingkungan sosial dan struktur keadilan di sekolah.
Sejak tahun 1970, Kohlberg, rekannya, dan siswanya telah bekerja sama untuk mengembangkan prinsip pendidikan perkembangan moral untuk kurikulum yang sudah ada dan akan dimulai.
Sejalan dengan kurikulum, bagian ini telah menjadi suatu upaya untuk “mempengaruhi lingkungan sosial dan struktur keadilan di sekolah.” Kohlberg percaya bahawa “kurikulum yang tersembunyi” memberikan kesempatan yang saangat luas bagi para pendidik untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran moral. Meskipun siswa dapat lebih banyak mempelajari moral dari membaca buku-buku, artikel atau sumber lain yang membahas moral juga dari mendiskusikan isu-isu sosial dan moral, berpartisispasi dalam membahas isu moral dan sosial dalam kehidupan yang sebenarnya tidak akan tergantikan. Karena beberapa isu muncul secara natural dalam konteks kehidupan sekolah, Kohlberg bertanaya, mengapa tidak menggunakan kesempatan-kesempatan tersebut untuk melibatkan anak dalam diskusi ini? Mengapa hanya mengajarkan demokrasi ketika siswa bisa mempraktekkan demokrasi dalam konteks sekolah?
Kohlberg sudah memulai dua prcobaan dalam demokrasi pendidikan. Pertama adalah dalam konteks penjara; kedua adalah dengan sekolah alternatif di sekolah menengah kaum urban. Pengaruh dua program percobaaan tersebut terhadap perkembangan moral partisipannya dievaluasi.

STARTEGI PENDIDIKAN MORAL
Dasar pendidikan moral dalam model perkembangan adalah guru menciptakan banyak kesempatan bagi siswanya untuk berpikir melalui pengalaman mereka. Yang memotivasi siswa tehadap pengalaman kognitif yang lebih hebat adalah pengalaman pada penalaran yang lebih cocok khususnya pengalaman yang merefleksikan tahapan penilaian atau keputusan moral yang lebih tinggi daripada yang dia miliki. Ketika seseorang dipaksa untuk mempertimbangkan pendekatan-pendekatan terhadap konflik moral yang lebih komprehensif dan koinsisten daripada yang biasanya dia lakukan, ketidakseimbangan kognitif akan terjadi.
Ketidakseimbangan kognitif berasal dari kemampuan seseorang untuk mengambil peran orang lain. Jika orang tidak bisa mengasumsikan sudut pandang yang berbeda, mereka tidak akan pernah menemukan konflik. Sebagaimana yang pernah kita sampaikan, kapasitas seseorang untuk dapat mengadopsi perspektif orang lain berubah kualitasnya seiring dengan pertambahan usia. Anak sekolah dasar perlu belajar dari teman sekelasnya atau keluarganya. Siswa sekolah menengah pertama memerlukan bantuan untuk memfokuskan diri pada kebutuhan kelompok. Siswa sekolah menengah atas mungkin melihat konflik dari sudut pandang sosial atau dalam beberapa kasus dari sudut pandang yang lebih universal dan lebih prinsipil. Guru harus membantu siswa nyaman dengan perspektif sosial dan tingkat penalaran yang setingkat lebih tinggi dari kemampuan nalarnya.
Untuk membantu siswa mengembangkan perspektif sosial yang lebih inklusif dan penalaran yang lebih objektif, guru harus menggunakan dilema moral secara efektif. Dilema moral dapat muncul dari pengujian tiga jenis data—hipotesis, konten yang spesifik, dan kepentingan yang nyata. Dilema hipotesis seperti dilema Heinz memang tidak didasarkan pada fakta-fakta, tetapi dilema tersebut dapat dipercaya. Nilai penting dalam penggunaan isu-isu hipotesis adalah bahwa siswa hanya sedikit terlibat dan karenanya lebih terbuka pada diskusi publik dan mengeneralisasi prinsip-prinsip yang terlibat. Dilema berdasarkan isi adalah dilema yang didasarkan pada data-data yang ditemukan dalam disiplin ilmu tertentu, seperti keputusan Presiden Truman untuk menjatuhkan bom atom ditemukan dalam bidang studi sejarah Amerika. Dilema yang berdasarkan isi memiliki manfaat untuk menunjukkan kepada siswa dimensi moral dalam kehidupan orang yang dipelajarinya. Dilema yang nyata atau praktikal seperti “Haruskah saya memberi tahu guru saya bahwa teman saya mencontek dalam tes?” memaksimalkan keterlibatan emosi dan ketertarikan pada topik.
Apapun sumber dilemanya, membantu siswa memahami dilema tersebut secara rasional membutuhkan keterampilan guru yang luar biasa dalam penggunaan strategi bertanya. Bertanya atau menggali informasi dapat mengundang responden untuk mengeksplorasi logikanya dan untuk berinteraksi dengan teman sekelasnya dengan pemikiran-pemikiran yang menantang. Secara spesifik, pertanyaan yang “benar” dapat menstimulasi konflik kognitif dan peran sosial.
Sedikitnya terdapat dua cara bertanya: initial dan in-depth strategi. Strategi initial memperkenalkan guru dan siswa pada diskusi permasalahan moral dan berlanjut pada pengembangan kesadaran moral siswa. Strategi in-depth fokus pada bagian-baguan diskusi yang dapat memicu perubahan struktur dalam penalaran moral.
Peran guru pada tahap awal diskusi adalah (1) meyakinkan bahwa siswa paham dilema moral atau masalah yang ditanyakan, (2) membantu siswa menghadapai bagian-bagian moral yang terdapat dalam masalah, (3) memperoleh alsan siswa atas penilaian atau judgment mereka, dan (4) mendorong siswa untuk berinteraksi satu sama lain dengan dasar pemikiran yang berbeda.
Urutan perbedaan kualitas pertanyaan dan komentar sangat penting untuk dipertimbangkan oleh guru. Keduanya diperlukan karena guru ingin menstimulasi perkembangan moral dan karena diskusi moral melibatkan keberanian menerima resiko. Tekanan dari teman seringkali menciutkan keberanian untuk menerima resiko dan dapat berlawanan dengan tujuan pendidikan moral jika norma-norma kelompok menciutkan komunikasi yang jujur dan terbuka. Beberapa urutan pertanyaan berbeda yang disarankan adalah sebagai berikut:
1. Menyoroti isu moral. Pertanyaan-pertanyaan disini biasanya untuk mengawali pembicaraan yang mana meminta siswa menentukan posisi terhadap isu moral. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membantu siswa mengidentifikasi situasi sebagai dilema yang memerlukan penyelesaian atau pilihan. Pertanyaan tersebut biasanya seperti “haruskah…,” “perlukah….,” atau “benar atau salahkah...” Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri demi menyelamatkan nyawa seseorang itu salah? Haruskah orang yang mencuri dalam situasi tersebut dihukum?
2. Menanyakan pertanyaan “mengapa.” Pertanyaan-pertanyaan tersebut meminta siswa untuk menjelaskan alasan-alasan yang dapat mendukung sikapnya terhadap suatu permasalahan atau isu moral. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk melihat bahwa mereka bisa saja mempunyai atau memilih posisi yang sama dengan teman sekelasnya tetapi dengan alasan yang sangat berbeda. Perbedaan cara berpikir tersebut mulai merangsang ketertarikan siswa pada topic tertentu dan dapat memicu terjadinya suatu diskusi. Pertanyaan seperti “Mengapa kamu pikir kalau solusi yang kamu berikan untuk mengatasi dilema tersebut adalah solusi yang baik?” Atau “Apa alasan utamamu memutuskan untuk mengatasi masalah itu dengan cara yang kamu lakukan?” Merupakan dua contoh pertanyaan “mengapa” yang paling sering digunakan.
3. Memperkeruh (mempersulit) suasana. Ada dua pertanyaan atau pernyataan yang dapat memperkeruh masalah moral. Pertama tambahkan informasi atau situasi baru pada pangkal masalahnya agar kompleksitas dan konflik kognitifnya meningkat serta menyatu kedalam situasi. Dalam dilema Heinz, misalnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti: Misalkan isteri Heinz telah secara spesifik memintanya untuk (atau untuk tidak) mencuri obat tersebut, apakah hal itu akan membuat kamu berbeda dalam mengambil posisi? Misalkan hakim yang mendengar kasusnya adalah teman Heinz, apakah sekiranya akan ada perbedaan dalam keputusannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menstimulasi cara berpikir yang lebih luas dan luar biasa. Dengan demikian siswa didorong untuk mempertimbangkan lebih dari satu sudut pandang mengenai bagaimana menyelesaikan konflik moral.
Pertanyaan komplikasi jenis kedua ditanyakan untuk membantu siswa menghindari “melarikan diri” dari isu moral. Melarikan diri biasanya terjadi ketika siswa mendiskusikan dilema moral pertama kali. Mereka sering merasa tidak nyaman mengambil resiko menghadapai pertanyaan apa yang benar secara jujur. Mereka akan lebih suka melarikan diri dari masalah moral dengan mengubah seluruh dilema. Umumnya mereka berusaha mengubah fakta dari suatu dilema, oleh akrena itu cara mengatasi masalah yang efektif adalah dengan mengeliminasi konflik. Misalnya dalam dilema yang berkaitan dengan keputusan untuk melemparkan orang-orang tertentu keluar kapal dari skoci yang penuh sesak dan terkatung-katung hanyut di lautan lepas, siswa sering menghindar untuk tidak berhadapan dengan dilema dengan cara mengikat orang-orang itu dengan tali ke sisi kapal. Untuk membantu siswa menghadapi pertanyaan moral dalam kasus ini, guru bisa berkata, “Namun untuk sementara, kita asumsikan kita tidak bisa mengikat mereka ke kapal” atau “Misalakan tidak ada tali yang bisa kita ikatkan ke kapal.” Malahan guru dapat menambah komplikasi dengan berkata “Misalkan memegang tali akan membuat kapal tenggelam—jika kamu harus memilih antara seorang ibu dan anak laki-lakinya yang berusia 18 tahun, siapakah yang akan kamu lemparkan dari kapal?”
Penting bagi guru untuk memaklumi bahawa sebagian siswa tidak nyaman menghadapi masalah moral dan mendiskusikannya langsung. Praktek nalar mengenai isu moral biasanya merupakan sesuatu yang baru dan terkadang berlebihan bagi siswa. Peran guru adalah untuk memfasilitasi proses siswa menghadapi isu moral bukan “memaksa” siswa untuk melakukannya.
Tiga pertimbangan tersebut—menyoroti isu moral, menanyakan pertanyaan ‘mengapa,’ dan memperkeruh suasana—merupakan ‘inti’ dari pengenalan terhadap diskusi moral. Ketiganya dirancang untuk menjelaskan luasnya penalaran mengenai masalah moral. Lamanya waktu yang guru habiskan untuk pengenalan tersebut bergabtung pada keadaan kelompok siswanya dan cara guru memimpin diskusi.
Strategi bertanya in-Depth
Tahap kedua dalam format diskusi moral melibatkan fokus yang mendalam (in-depth). Teknik bertanya guru sejalan dengan perubahan ini. Pertnayaan in-depth memaksa siswa untuk bergelut dengan klaim dan rasionalisasi yang bertentangan. Ada empat strategi bertanya in-depth yaitu: memperhalus pertanyaan, menyoroti argument berikutnya, dan teknik pergantian peran.
1. Memperhalus pertanyaan (refining questions). Pertanyaan harus menggali berbagai sisi atau hal dari isu yang sama. Pertanyaan “haruskah” atau “mengapa” tidak cukup menstimulasi perubahan tahapan. Siswa perlu mendengar argument yang lebih luas satu sama lain sehingga mereka dapat memahami alasannya dan memanatang logika satu sama lain. Lima jenis pertanyaan in-depth telah diidentifikasi oleh para pendidik moral yang tertarik pada startegi bertanya yang efektif.
Clarifying probe meminta siswa untuk menjelasakan istilah yang mereka gunakan terutama ketika makna pernyataannya ambigu atau tidak menyampaikan alasan pokoknya. Clarifying probe sangat penting sehingga guru tidak menafsirkan maknanya sendiri. Contohnya sebagai berikut:
S : Jangan. Dia jangan memberitahukan kalau temannya mencontek dalam test. Dia bisa berada dalam masalah.
G : Masalah seperti apa?
S : Baiklah, temannya tidak akan menyukainya lagi. Dia bisa saja membalasnya dengan cara lain. (bagaian tahap 2)
Issue-specific probe merupakan pertanyaan atau pernyataan yang meminta siswa untuk mengeksplorasi satu isu moral yang berhubungan dengan masalah yang ada dalam pertanyaan. ‘isu’ adalah hal-hal yang berbeda yang jadi perhatian kita dalam penilaian moral. Isu tersebut misalnya kekuasaan, afiliasi dan kasih sayang, kewajiban kontrak, dan nilai kehidupan. Dengan cara memfokuskan pada isu tertentu secara mendalam, siswa memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi secara penuh apa yang diyakininya. Misalnya:
Apakah kamu memiliki kewajiban tertentu pada orang yang tidak kamu kenal? Apakah perbedaan antara tanggung jawab seseorang kepada keluarga atau kepada temannya, dan kepada yang tidak dikenal?
Mengapa manusia memiliki tanggung jawab untuk mematuhi kekuasaan yang sah atau legal?
Inter-issue probe adalah pertanyaan yang dapat menstimulasi penyelesaian konflik antara dua isu moral. Prioritas pada satu isu sering melebihi prioritas pada isu yang lain menunjukkan perbedaan antara dua tahap penalaran moral, seperti nilai persahabatan pada tahap 3 lebih berat dibandingkan dengan nilai untuk melindungi kepentingan seseorang, seperti yang dipahamkan dalam tahap 2. Penyelidikan ini mendorong siswa untuk menguji rasional mereka dalam memilih satu isu terhadap isu yang lainnya. Misalnya:
Manakah yang lebih penting, loyalitas pada sahabat atau patuh pada hukum?
Jika mencuri demi menyelamatkan nyawa seseorang dianggap perlu, dapatkah kamu membenarkannya? Bagaimana?
Role-switch probe meminta siswa mengasumsikan perspektif lain dalam konflik. Hal ini penting untuk menstimulasi siswa agar mampu bertukar peran, karena hal itu membuat mereka belajar mencoba melihat situasi yang sama melalui sudut pandang orang lain.
Misalnya. Menggunakan situasi apakah harus memberitahukan teman yang mencontek dalam tes.
Akankah temanmu berpikir bahwa kamu salah untuk memberitahukan situasi ini? Anggaplah sekarang kamu gurunya. Apa yang akan dia sarankan untuk kamu lakukan? Apa yang akan orang tua kamu sarankan untuk kamu lakukan? Hal benar yang mana yang akan orang tuamu sarankan untuk kamu lakukan?
Universal-consequences probe meminta siswa untuk mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika mereka melaksanakan nalarnya sehingga setiap orang akan mengikutinya. Hal ini mendorong siswa untuk mengambil keputusan moral yang menunjukkan persamaan keadilan bagi orang-orang secara umum. Probe atau penyelidikan tersebut menguji batas logika penilaian siswa. Misalnya:
Apa yang akan terjadi jika semua orang memutuskan untuk mencuri demi menyelamatkan nyawa orang yang dikenalnya?
Apa yang akan terjadi jika sitiap anggota masyarakat mulai tidak mematuhi hukum?
Bagaimana guru bisa melanjutkan pembelajaran di kelas dan membantu siswa belajar jika setiap orang mencontek dalam tes?
2. Menyoroti argument berikutnya (Highlighting contiguous-stage arguments.) Strategi bertanya kedua melibatkan tanggung jawab guru untuk menyoroti argumen pada tahap penalaran moral yang berdekatan (contiguous). Namun demikian, para siswa membutuhkan stimulus cara nalar yang lebih kompleks dibandingkan dengan cara yang sudah mereka miliki.
Ada dua kesempatan untuk menyoroti argument ini. Pertama ketika siswa menggunakan tahapan yang berdekatan dalam percakapan. Sekali saja guru mampu ‘mendengar’ perbedaan cara atau pola nalar siswa, guru dapat langsung memulai mendorong siswa untuk mengeksplorasi kecakapan berpikir/nalar mereka: “Wendi saya perhatikan alasan kamu cukup berbeda dengan alasan Peter. Maukah kamu menjelaskannya kembali kepada kami mengapa kamu pikir solusimu adalah solusi yang baik? Bagaimana bisa berbeda dengan apa yang baru saja disampaikan Peter?”
Kesempatan kedua terjadi ketika kelas kehilangan perspektif terhadap argumen yang tingkatnya lebih tinggi. Guru kemudian dapat mendorong siswa yang pemikiran atau penalarannya sering merefleksikan elemen-elemen tahapan yang lebih tinggi ketika dia melihat suatu isu yang baru: “Carlo, kamu telah memberikan solusi yang sangat menarik kepada kami terhadap masalah yang kita diskusikan kemarin ketika kamu menyampaikan apa yang baik bagi suatu masyarakat. Dapatkah kamu atau siapapun menjelasakan kepada kami bagaimana argumen yang sama dapat diterapkan pada kasus yang kita diskusikan hari ini?” terkadang semua siswa tidak ada yang mampu melihat suatu konflik moral lebih dari satu sudut pandang, dan tak seorangpun yang memberikan suatu pandangan yang lebih. Jika ini terjadi, semua upaya diserahkan kepada guru untuk mengemukakan argumen-argumen pada tahapan yang lebih tinggi berikutnya: “Saya perhatikan rupanya tak ada seorang pun yang menyampaikan apa yang sebaikanya dilakukan terhadap kasus ini menurut hukum. Hukum kita mengatakan _______________________ atas dasar alasan bahwa _____________________. Bisakah kita mendengar beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang hukum ini?
3. Mengklarifikasi dan merangkum (clarifying and summarizing). Strategi mengajar in-depth yang lain melibatkan pertukaran peran guru dari menginisiasi pertanyaan menjadi mengklarifikasi dan merangkum apa yang siswa katakan. Setelah tahapan diskusi ini, siswa telah belajar bagaimana mengajukan pertayaan-pertanyaan konflik moral; mereka dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended questions). Guru menjadi pendengar yang lebih aktif, menghubungkan elemen-elemen yang penting dalam diskusi.
Guru harus memantau kegiatan diskusi sehingga siswa menjadi paham pada alasan-alasan atau pemikiran-pemikiran yang disampaikan temannya. Meskipun siswa belajar lebih berinisiatif untuk menstimulus pemikiran satu sama lain, guru harus tetap menjaga fokus diskusi sehingga dapat memfasilitasi proses perkemabnagn konflik kognitif dan pergantian peran.
Dialog derikut merupakan dialog yang dikuti dari diskusi kelas sebelas dan dua belas siswa psikologi. Dialog ini menunjukkan pergantian peran guru. Siswa sudah mendiskusikan mengenai bunuh diri dan euthanasia (tindakan menghilangkan nyawa seseorang untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya) dalam waktu yang cukup lama. Mereka saling mengomentari pendapat, dan mengelaborasi serta menstimulasi pemikiran temannya. Karena itu, guru dapat memfokuskan perhatiannya kepada seluruh siswa:
[memfokuskan; menyoroti isu moral yang baru]
Guru : Isu bunuh diri memang isu yang penting. Tapi, sekarang kita fokuskan pada isu euthanasia dan apakah boleh untuk menghilangkan nyawa seseorang atau tidak, atau pada kondisi bagaimana hal itu dibenarkan untuk dilakukan.
Mike : Menurut saya dokter tidak boleh melakukannya karena dokter tidak mengetahui … saya ingin singgung mengenai pikiran atau keasadarannya. Dokter tidak tahu apa yang ada dalam pikiran seseorang bahkan orang terdekatnya sekalipun tidak akan mengetahuinya. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul bagaimana kamu tahu dia telah benar-benar tidak sadar. Jika kaka seseorang itu tahu menganai kesadarannya, dia akan melakukan hal yang tepat. Jika kamu benar-benar mencintainya, kamu akan melakukan sesuatu yang terbaik untuknya. Jika kamu pikir yang terbaik adalah membunuhnya maka kamu akan melakukannya. (elemen tahap 3)
Jim : Saya tidak mau jadi orang yang memberitahu mereka untuk melakukannya.
Mike : Saya berbicara dalam kasus nyata yang benar-benar cukup extrim. … seperti berkata dia baru saja kehilangan pacarnya. Saya tidak berkata kamu tahu semuanya dan saya akan membunuh kamu. Dia menderita. Dia sudah tidak sadar. Orang memberinya makan pun tiada gunanya. Dia tidak biasa melakukan apapun dengan sendirinya. Jika dia meminta saya …
[mengklarifikasi pernyataan Mike]
Karen : Tapi jika dia tidak memintamu, kamu tidak akan melakukannya.
Mike : Tidak.

[mengambil sudut pandang orang lain]
Bob : Penilaian itu terlalu pribadi. Bagi kamu, terlalu sakit kehilangan pacar seperti yang kamu katakan, tapi mungkin saja bagi orang lain tidaklah begitu.
Mike : Saya bilang jika sudah tidak ada harapan sama sekali.
[menstimulasi perspektif lain]
Karen : Kata siapa?
Mike : Kata orang yang benar-benar mengenalnya.
[memperkeruh suasana]
John : Jika taka ada seorangpun yang benar-benar mengenalnya?
Lisa : Saya kira jika orangnya sendiri yang berkata kalau dia ingin mati.
[menyoroti sisu moral]
Jim : Hanya karena kamu berkata kamu ingin mati kemudian memberimu hak untuk mati?
Lisa : Ya.
Jim : Kamu memang biasa saja ingin mati pada satu waktu dan diwaktu yang lain kamu biasa juga merasa lebih baik. Kamu dapat berkata pada dirimu sendiri, “saya ingin mengakhiri segalanya sekarang.” Kamu memang bisa berpikir seperti itu tapi saya kira seseorang tidak punya hak untuk memutuskan, “Saya harus bunuh diri” ketika masih ada jalan dan alasan lain untuk hidup.
[menanyakan pertanyaan ‘mengapa’ pada dirinya sendiri]
Mike : Saya bilang jika benar-benar tadak ada harapan. Kita harus tetap membuatnya hidup karena itu yang harus kamu lakukan. Kamu harus membuatnya tetap hidup. Dan mengapa kamu harus melakukannya? Karena itu yang harus kamu lakukan?
[menstimulasi perspektif lain]
Karen : Siapa yang bilang kamu orang yang tepat untuk mengambil keputusan?
Mike : Orang yang memintamu untuk membunuhnya.
[mengklarifikasi dan merangkum alasan siswa]
Guru : Jadi kamu sampaikan dua hal. Orang harus ingin mati dan orang yang sangat dekat dengannya dan yang sangat mengenalnya harus setuju bahwa hal itu adalah hal terbaik. [elemen tahap 3]
Pertukaran ini berarti bahwa guru dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendengarkan secara seksama tingkat nalar yang siswa sampaikan dan mengidentifikasi tahapan yang missing. Mendengarkan dapat memberikan kepastian kepada guru dalam mengetahui tingkat kompleksitas kognitif seperti apa seharusnya.
Guru dapat menyisipkan pendapat pribadinya atau argumen moralnya ketika siswa sudah dapat menjalankan diskusi sendiri. Hal ini biasanya mengurangi anggapan bahwa jawaban guru adalah jawaban yang benar.
4. Strategi bertukar pearan dan bertanya (role-taking questions and strategies). Pertanyaan-pertanyaan bertukar peran dirancang khususnya untuk menstimulasi kemampuan mengambil perspektif siswa. Pertukaran peran tentu saja merupkan strategi bertanya yang paling sering dilakukan. Dalam bahasan ini kita memunculkan isu bagaimana menstimulasi perspektif siswa dari tingkat egosentris ke tingkat yang mempertimbangkan pikiran, perasaan dan hak-hak orang lain.
Kesempatan bertukar peran tidak dibatasi pada diskusi masalah moral. Bagi siswa yang kemampuan kognitifnya untuk berperan sebagai orang lain terbatas, pengalaman dalam mengasumsikan peran orang lain merpakan hubungan yang penting antara dunia mereka dengan dunia orang lain. Guru harus mengmbangkan kegiatan-kegiatan kooperatif untuk siswa tingkat dasar. Bernain peran, debat, dan drama yang dirancang siswa, film atau kegiatan lain yang difokuskan pada konflik moral juga merangsang pengalaman nyata dalam peran sebagai orang lain. Seperti dalam strategi bertanya yang lain, kegiatan-kegiatan tersebut akan lebih berguna ketika siswa fokus pada penalaran karakter yang mereka perankan dalam suatu situasi.
Dengan bertukar peran siswa mendapatkan kesempatan untuk “mencoba” pemikiran orang lain. Latihan seperti ini bisa dijadikan langkah awal keluar dari pemikiran yang egosentris. Mendiskusikan pertukaran peran setelahnya juga kondusif untuk menstimulasi perkembangan, karena cara ini memberi kesempatan kepada seluruh siswa untuk berpartisipasi.
Siswa sekolah menengahpun dapat memperoleh banyak manfaat dari kegiatan bertukar peran. Berperan sebagai tutor untuk juniornya atau sebagai konsultan untuk teman-temannya dapat membantu mengembangkan kapasitas perspektif siswa. Usaha membantu orang lain membantu orang dewasa melihat dunia dengan mata orang tersebut.
Selain itu, kesempatan bertukar peran terjadi selama diskusi ketika guru menanyakan pertanyaan tertentu. Diskusi dengan orang yang lebih dewasa lebih sulit karena mereka telah menghabiskan waktu bertahun-tahun pada pola pra-konvensional dibandingkan dengan anak-anak yang masih berada pada level ini. Pertukaran peran yang egosentris harus menunjukkan bahawa jika dilakukan pada orang dewasa maka penalaran moralnya harus berubah dari pra-konvensional menjadi konvensional. Salah satu cara untuk menstimulasi apresiasi kepada orang lain adalah ditarik pada ikatan keluarga. Kasih sayang dan loyalitas kepada orang lain pertama berkembang dalam hubungan keluarga.
Contoh yang ditunjukkan guru berikut menunjukkan pentingnya bertukar peran ketika anak remaja berada pada penalaran moral tingkat pra-konvensional. Guru mencoba mengikuti tingkat nalar siswa dan pada saat yang sama mencoba untuk menstimulasi kemampuan mereka untuk melihat sesuatu yang lebih daripada kebutuhannya. Diskusi ini berlangsung dikelas sekolah menengah yang sedang mendiskusikan konflik moral terhadap gang yang biasa mencuri kendaraan bermotor (curanmor). Siswa mendiskusikan persahabatan yang ada dalam gang tersebut. Dilema dan topik persahabatan merupakan pilihan yang tepat untuk menstimulasi perkembangan moral dari tahap pra-konvensional ke tahap konvensional. Salah satu anak laki-laki di kelas mendefinisikan sahabat dari perspektif tahap 2.
Larry : teman adalah teman sejauh kamu dapat melihatnya….tahukah kamu mengapa saya berkata teman-adalah teman sejauh kamu mempercayainya? Kamu bahkan bisa mencuri bersama dengannya.
[Inter-issue probe]
Guru : Apakah kamu kira kepercayaan lebih penting daripada berada di luar penjara?
Ed : hmmm tergantung seberapa berartikah orang itu untukmu, seperti apakah kamu ingin dia percaya kepadamu atau tidak.
[Mengklarifikasi]
Guru : jadi akan berbeda jika dia itu benar-benar teman kamu?
John : Tentu. Saya akan melaporkannya ke polisi pada situasi tertentu tapi saya ragu umtuk melakukannya jika dia adalah teman saya.
David : Saya bisa saja memenjarakan teman saya selama setahun. Tapi itu bisa jadi masalah. Dan saya tidak mau itu terjadi. [elemen tahap 3]
[menanyakan pertanyaan untuk melihat argument yang lebih kopleks]
Guru : Akankah kamu melaporkan temanmu ke polisi, Larry?
Larry : Tergantung, jika saya menyukainya. Atau jika saya ingin melihatnya menderita. [elemen-elemen tahap 2]
[Peran yang dikaitkan pada ikatan keluarga]
Guru : Larry, bagaimana jika orang yang ingin kamu laporkan ke polisi adalah kakakmu?
Larry : Saya tidak akan mengkhianati kaka saya.
[Isu-spesifik]
Guru : Apa bedanya?
John : Oh, saya tidak akan melakukannya jika itu adalah kakak saya. Saya tidak akan melaporkannya ke polisi.
[isu-spesifik]
Guru : Apa yang membuat kakakmu berbeda dengan temanmu?
John : Darah. Darah itu lebih kental daripada air. Meskipun saya tidak menyukai kakak saya atau saya membencinya, saya tidak akan melaporkannya ke polisi. Darah lebih kental daripada air. [elemen-elemen tahap 3]
Paul : Saya tidak begitu yakin. Saya tidak akan memberitahukannya jika dia adalah kakak saya. Tapi dalam situasi tertentu dan jika polisi memaksa saya, saya kira memberitahukannya bukan hal yang salah. Itu bukan salah saya. Kakak saya yang menyebabkan dirinya dalam masalah dan itu adalah kesalahannya. [elemen-elemen tahap 2]
Dalam kutipan ini kita melihat guru yang sangat aktif mengenalkan pandangan-pandangan yang lebih luas dan mendorong siswa dengan perspektif yang berbeda untuk berinteraksi secara aktif. Secara teori, stimulus kognitif yang paling efektif adalah tanggapan atau pertanyaan (baik oleh guru maupun siswa) yang tingkat perspektifnya lebih kompleks. Guru tidak akan menanyakan kepada siswa apa yang mungkin dipikirkan oleh masyarakat jika setiap orang berpikir seperti apa yang dipikirkan siswa. Pertanyaan tersebut akan lebih stimulatif bagi siswa yang sudah mampu berpikir dengan perspektif temannya. Orang dewasa pertama-tama mengklarifikasi konsep pertemanan yang disampaikan siswa agar bisa berpikir dengan perspektifnya. Kemudian dia menyampaikan perspektif yang dikaitkan dengan keluarganya: “Bagaiamana jika orang yang harus kamu laporkan ke polisi adalah kakakmu?....Apa yang membuat kakakmu berbeda dibandingkan dengan temanmu?” Samalah pentingnya bagi guru untuk membantu Larry dan Paul menyimak apa yang John dan David sampaikan mengenai pertemanan karena mereka menunjukkan kemampuan untuk berspektif yang menggabungkan kepercayaan, loyalitas, dan kewajiban pada orang lain—yang merupakan ciri-ciri tahap 3.
Pentingnya empat strategi bertanya diatas adalah bahwa keempat strategi tersebut dapat meningkatkan konflik kognitif dan mengembangkan kemampuan bertukar-peran siswa. Meskipun di sini kita telah menekankan beberapa pertanyaan untuk menggambarkan proses konflik kognitif yang diperlukan untuk merestrukturisasi penalaran moral, penting untuk dicatat bahawa pertanyaan tersebut terjadi dalam konteks diskusi. Diskusi yang terjadi diantara siswa akhirnya membuat siswa mampu untuk mengekspos tingkat nalar yang beragam dan mengharuskan setiap siswa menciptakan respon yang beralasan dalam dialog. Konstruksi yang dimotivasi dengan kebutuhan untuk memberikan tanggapan pada temannya, demikian pula pada guru, membantu menciptakan kondisi perkembangan moral.
Kata-kata mutiara mengenai diskusi kelas adalah sebagi berikut. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, data penelitian menunjukkan bahwa kegiatan diskusi dapat menstimulasi pertumbuhan moral, namun kegiatan tersebut bukan bagian kurikulum yang lebih besar dan memiliki pengaruh yang terbatas pada pendidkikan siswa secara keseluruhan. Barangkali akan bijaksana jika menyatakan kembali panadangan Kohlberg mengenai diskusi kelas dalam konteks program pendidikan moral.
Jika diskusi singkat saja dapat memberikan pengaruh yang luar bisaa terhadap perkembangan moral, perhatian pada pengaruh sekolah terhadap perkembangan moral yang persuasif, berlangsung lama, dan lebih mempertimbangkan hal-hal psikologis harus mempunyai efek yang lebih hebat. Perhatian tersebut akan lebih fokus pada bidang studi sosial, pendidikan hukum, filsafat dan pendidikan sex, daripada menunjukkan bidang kurikulum yang baru. Lebih luas lagi, hal tersebut akan mempengaruhi lingkungan sosial dan struktur keadilan di sekolah.

KURIKULUM TERSEMBUNYI (HIDDEN CURRICULUM)
Banyak hal berlangsung dalam pendidikan formal di sekolah. Sekolah adalah tempat dimana guru dan siswa menghabiskan waktu mereka lima hari dalam seminggu, sepuluh bulan dalam setahun. Sebagai suatu institusi sosial, sekolah memiliki ciri yang Philip Jackson sebut dengan kumpulan, pujian, dan kekuatan. Siswa harus belajar untuk hidup sebagai anggota dari sekumpulan siswa; mereka harus kerja keras untuk mendapatkan pujian dan menghindari celaan dari teman dan gurunya; dan mereka harus belajar untuk menerima atau mengelak secara cerdik dari aturan-aturan yang dibuat system sekolah. Siswa belajar sesuatu yang luar biasa mengenai prilaku sosial dan nilai moral dari ‘kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)’ ini, bahkan bisa saja lebih dari apa yang mereka lakukan dari kurikulum formal.
Kohlberg percaya bahwa hidden curriculum memberi banyak kesempatan kepada guru untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran moral. Meskipun siswa dapat belajar dengan cara membaca isu-isu moral dan sosial serta mendiskusikannya, keikut sertaan dalam isu-isu moral dan sosial dalam kehidupan nyata tidak akan pernah tergantikan. Karena beberapa isu muncul dalam konteks kehidupan sekolah, Kohlberg menyarankan agar siswa dilibatkan dalam kesempatan-kesempatan ini. Mengapa hanya mengajarkan teori demokrasi ketika siswa dapat mempraktekan demokrasi dalam konteks sekolah? Seperti Shaver, Kohlberg juga menaruh perhatian yang besar pada pendidikan dan demokrasi. Dan seperti model tindakan sosial dalam pendidikan moral, yang dibahas di bab 8, model Kohlberg juga memiliki suatu komponen tindakan atau prilaku. Dimensi ini dijelaskan sebagai kreasi ‘komunitas’ sekolah.

PENDEKATAN KEADILAN KOMUNITAS (THE JUST COMMUNITY APPROACH)
Pendekatan ini mengusulkan bahwa dalam implementasi perkembangan pendidikan moral, haruslah diciptakan suasana kelas yang kondusif. Isu moral harus muncul dalam kesadaran dan pertimbangan dalam diskusi kelas. Pertanyaan harus digunakan untuk menstimulasi konflik kognitif. Diskusi harus segera dijadikan bagian kurikulum dan digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang muncul didalam kelas. Namun demikian, isu moral jangan berakhir sampai pintu kelas saja. Isu tersebut harus melibatkan seluruh sekolah atau setidaknya bagian yang lebih besar yang ada di sekolah. Jika ada masalah rasisme atau kelas sosial, pencurian atau vandalism, orang-orang yang tidak puas dengan kebijakan akademik atau dengan jalannya kegiatan pembelajaran, sumber masalahnya tidak terletak pada satu kelas saja melainkan satu sekolah. Sekolah sebagaimana halnya kelas memiliki atmosfer moral, dan meskipun lebih sulit untuk mengubah sekolah secara keseluruhan, beberapa persoalan dapat berkaitan dengan satu tingkatan sekolah yang lebih luas.
Kami belum nelihat ada satu sekolah besar yang berusaha untuk mengumbah strukturnya sesuai dengan teori Kohlberg. Namun demikian, banyak usaha yang diupayakan untuk menciptakan ‘sekolah didalam sekolah’ alternatif yang menggabungkan aspek-aspek teori Kohlberg. Kohlberg pernah terlibat di satu sekolah menengah alternatif di Cambridge, Massachusetts.
Dia dan koleganya berusaha untuk mengimplementasikan pendekatan “komunitas” dalam pendidikan moral. Sekolah tersebut dimulai pada tahun 1974 dan melibatkan enam puluh hingga tujuh puluh siswa (kelas sembilan hingga kelas dua belas) dan dengan enam staff. Inti dari keberadaan sekolah ini adalah perwujudan pengelolaan sekolah yang demokratis dan penerapan diskusi moral yang dilaksanakan dalam kehidupan sekolah secara rutin.
Sekolah dimulai pada bulan September, 1974, dengan sekitar enam puluh siswa dan enam staff yang sukarela untuk berpartisipasi di sekolah tersebut. Sekolah ini bergabung dengan dua kelas yang ada di Sekolah Menengah Cambridge. Siswa diharuskan belajar bahasa inggris dan ilmu sosial selama dua jam setiap harinya, pelajaran-pelajaran pilihan yang lainnya pun juga ditawarkan di sekolah ini. Staff membagi waktunya untuk berkerja di sekolah alternatif dan regular ini. Oleh karena itu, baik staff maupun siswa memperoleh dua status yaitu sebagai anggota dari dua sekolah.



Pengeloaan Sekolah yang Demokratis
Pengelolaan sekolah yang dempokratis merupakan ‘nyawa’ dari pendekatan komunitas. Siswa dan guru harus senantiasa berupaya untuk mengubah pola pengelolaan sekolah yang tradisonal yang masih jauh dari demokratis dan mereka harus berbagi tanggung jawab yang demokratis untuk pengambilan keputusan.
Secara tradisional guru dan perangkat sekolah lah yang membuat suatu keputusan atau kebijakan di sekolah. Mereka menganggap diri mereka yang paling berkuasa dan mereka lupa kalau mereka harus bertanggung jawab pada penegakan keputusan dan aturan-aturan yang mereka buat. Mereka bahkan seringkali tidak meluangkan waktu untuk menjelaskan alasan-alasan keputusan dan kebijakan yang mereka buat kepada seluruh siswa. Mereka berharap siswa akan mematuhi keputusan dan aturan-aturan yang mereka buat tanpa mempedulikan apakah siswa memahami dan menyetujuinya atau tidak. Apakah siswa mematuhinya secara pasif, menolaknya secara aktif, atau siswa mengacuhkannya, mereka tidak peduli.
Pola kekuasaan tradisonal ini mungkin saja terbukti efektif jika dilihat dari perspektif manjerial. Namun jika dilihat dari perspektif perkembangan moral, pola seperti ini tidak begitu direkomendasikan. Menerima secara pasif atau menolak secara aktif bukanlah hal yang dapat membantu perkembangan moral siswa. Karena siswa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, mereka tidak akan merasa bertanggung jawab pada keputusan dan aturan-aturan yang dibuat sekolah. Mereka tidak akan melihat dirinya terikat secara moral untuk menegakkan aturan-aturan yang dibuat, tetapi mereka akan terikat secara pragmatis untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan tersebut atau menghindari hukuman.
Sekolah alternatif Cambridge menjalankan aturan dan kebijakan sekolah secara demokratis. Setiap orang bertemu seminggu sekali untuk mengadakan pertemuan dimana keputusan dan kebiajakan mengenai bagaiamana sekolah dijalankan dibuat. Meskipun aturan sekolah yang lebih besar cukup berpengaruh, komunitas di sekolah alternatif itu berupaya untuk melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan itu secara independen. Narkoba dan absen dari kelas dilarang oleh sekolah yang lebih besar (sekolah regular), komunitas sekolah alternatif ini mengadopsi aturan tersebut hanya setelah diadakannya diskusi yang intensif ketika mayoritas menyetujui aturan tersebut. Komunitas ini, setelah dilaksanakan pemungutan suara, membolehkan setiap orang absen dari kelas sebanyak sepuluh kali, tidak seperti yang diperbolehkan oleh Sekolah Menengah Cambridge. Namun, setelah dijalankan, siswa di sekolah regular juga menuntut hal yang sama. Akhirnya dilakukan kembali kompromi antara pihak sekolah dengan siswa di sekolah alternatif sehingga disepakatilah bahwa maksimal tidak masuk kelas hanya empat kali. Beberapa guru menginginkan dikurangi lagi jadi tiga kali tetapi mayoritas siswa dalam rapat tetap memutuskan empat hari sebagai batas maksimal siswa idak masuk sekolah sehingga seluruh komunitas menyetujui keputusan tersebut.
Semua siswa menengakkan keputusan tersebut. Tak seorang pun yang harus dipanggil untuk menghadap kepala sekolah atau menghadap guru usai pelajaran di kelas. Pelanggar aturan bertanggung jawab pada komunitas bukan pada kepala sekolah apalagi kepada guru. Awalnya siswa segan untuk mendisiplinkan temannya namun karena pembelajaran menjadi kurang lancar akibat terlalu banyak siswa yang tidak masuk, mereka mulai mendisiplinkan temannya yang melanggar. Mereka belajar bagaimana menindak pelanggar aturan yaitu bukan dengan memberikan sanksi langsung pada temannya melainkan dikembalikan pada sanksi yang disetujui komunitas.
Pertemuan komunitas yang demokratis yang dihadiri oleh tujuh puluh atau delapan puluh orang sulit dilaksanakan. Hal itu memerlukan sejumlah persyaratan: (1) tetap menjaga kepentingan siswa; (2) adanya hal-hal prosedural yang jelas dan fleksibel; (3) isu-isu muncul secara jelas, dan usulan yang nyata baik pro maupun kontra didiskusikan; (4) siswa dan staff mendiskusikan isu dengan mengemukakan alasannya dan menghindari untuk memojokkan orang lain; (5) setiap orang merasa keputusan komunitas akan dilasanakan dan tidak akan ‘dikebiri oleh kekuasaan yang lebih tinggi dan tidak mengabaikan minoritas. Di sekolah Cambrige, tak satupun kondisi tersebut ada pada tahun 1974. Tidak ada prosedur yang ditegakkan ketika melakukan rapat. Siswa hanya sedikit memiliki kesempatan bicara dibandingkan dengan staff, dan ketika siswa mengungkapkan pendapatnya, pendapat mereka tidak didukung dengan alasan yang kuat. Pemungutan suara dilakukan tergesa-gesa. Siswa tidak dipercaya oleh pihak fakultas dan menggunakan mayoritas mereka untuk mengambil keputusan seperti untuk memulangkan sekolah lebih awal. Secara bertahap, lebih dari satu tahun, kondisi yang disebutkan diatas baru bisa dilaksanakan.
Ketika komunitas mengambil keputusan dan mengadopsi aturan, diharapkan baik staff maupun guru akan mematuhinya. Namun demikian, kepatuhan pada aturan ini tidak selalu bisa dilaksanakan secara penuh. Berkenaan dengan pelanggaran aturan-aturan tersebut, komunitas telah membentuk suatu komite yang diwakili satu siswa dari setiap kelompok dan dua staff. Misalnya, jika seorang mengganggu kelas atau tertangkap menggunakan obat terlarang, atau jika seorang anggota fakultas dicurigai melakukan tindakan tidak terpuji kepada siswa, kasus itu akan dibawa kepertemuan komite yang dilakanakan sekali seminggu. Jika orang tersebut melanggar aturan untuk pertama kali, komite mencoba untuk melakukan rekonsisliasi dengan semua pihak. Namun jika orang tersebut sebelumnya pernah melakukan pelanggaran, komite akan merekomendasikan komunitas untuk memberikan hukuman. Komunitas mendengarkan kasusnya, mengizinkan pihak pelanggar untuk hadir, membahas isu, dan membuat keputusan. Pelanggar sering diberi kesempatan untuk mengubah prilakunya; namun jika kesempatan itu masih tetap tidak diindahkan, orang tuanya akan dipanggil dah siswa akan dikeluarkan dari sekolah.
Kohlberg menganggap pengeloaan sekolah ini sebagai hal yang ‘adil’ tidak hanya karena sekolah tersebut dijalankan secara demokratis tetapi juga karena keputusan komunitas dapat dibuat pada penalaran moral tingkat tertinggi dan melibatkan siswa. Tidak bermaksud untuk mengatakan tingkat yang prinsipil, karena tak ada satu pun siswa di sekolah ini telah berkembang melebihi tahap 4, dan penalaran yang paling sering muncul adalah penalaran tahap 3. Tugas para staff bukanlah untuk memaksakan penalaran tahap yang lebih tinggi namun memfasilitasi agar siswa paham dan mendorong siswa secara terus-menerus untuk melatih penalaran moral mereka untuk menghasilkan keputusan komunitas. Ketika hal tersebut tercapai dan siswa turut serta dalam pengambilan keputusan serta mereka juga bersedia menegakkannya, sekolah dapat dikatakan sebagai komuntas yang ‘menegakkan keadilan.’

Tindakan Sekolah Cambridge
Untuk memberikan gambaran pelaksanaan sekolah ini yang lebih konkret, mari kita pertimbangkan bagaimana komunitas tersebut menghadapi masalah pencurian dalam dua tahun pertamanya.
Mencuri sesuatu milik temannya merupakan masalah yang sering terjadi di Cambridge, sebagaimana juga sering terjadi di banyak sekolah menengah. Pada bulan September di tahun pertama, seorang dokter yang bekerja di sekolah alternatif mengundang sekelompok siswa untuk datang ke rumahnya. Esok harinya, teman dokter tersebut memberitahunya bahwa lima pasang antingnya hilang. Karena tidak ada tamu lain lagi yang berkunjung ke rumah, mereka mencurigai seorang siswa telah mncurinya. Namun ketika dokter itu mengangkat isu pencurian tersebut di sekolah, tak seorang pun memberi informasi.
Sebulan kemudian, seorang siswa membawa satu kotak anting perak ke sekolah. Dia kemudian menunjukkannya kepada teman-temannya. Ketika di kelas, salah satu anting tersebut ‘hilang.’ Semua orang bilang bahwa anting tersebut sudah dilemparkan ke luar jendela.
Akibat dari insiden tersebut, isu pencurian tersebut mengemuka pada peremuan komunitas di bulan Jauari. Pertemuan dibuka dengan usulan dari salah satu kelompok bahwa, “orang yang mencuri harus dibawa ke komisi disiplin dan barang yang hilang harus dikembalikan atau dibayar sebagai ganti rugi.” Terjadi diskusi alot membahas hukuman apa yang pantas diberikan, tapi tak ada satu kesepakatan pun hingga salah satu staff menengahi. Kohlberg yang telah berpartisipasi secara rutin dalam setiap pertemuan, bertanya,” barangkali ada yang dapat menjelaskan mengapa pencurian bisa terjadi. Tidakkah orang berpikir bahwa mencuri itu salah dan merupakan pelanggaran pada komunitas?”
Reaksi siswa begitu lamban. Seorang siswa menanggapi: “Saya kira anda tidak perlu khawatir akan hal itu. Kenyataannya pencuriannya sudah terjadi. Dan mengkhawatirkan mengapa itu terjadi tidaklah ada gunanya.”
Tapi seorang staff membantahnya, “Saya kira pencurian tersebut bukan kepentingan seseorang tetapi kepentingan suatu komunitas. Ini bukan lagi isu disiplin. Ini sudah mengganggu kepercayaan komunitas.”
Hanya seorang siswa yang percaya; sentiment mayoritas diungkapkan oleh seorang wanita yang terus terang berkata,”Ini semua omong kosong. Kamu dapat membuat suatu aturan [tentang pencurian], Tapi seorangpun tak tersinggung. … seseorang selalu memanfaatkanmu di sekolah ini.”
Diskusi pun kembali untuk membuat satu aturan tentang pencurian. Meskipun tak ada seorang pun yang yakin hal itu akan berhasil, semua setuju bahwa membuat suatu aturan dan menetapkan hukuman untuk pelanggarannya merupakan langkah pertama. Seorang siswa berpendapat, “Jika orang tuanya dipanggil, nanti ketika dia akan mencuri lagi, dia akan mengingat hal itu, dan cara ini akan menghentikan kebiasaanya mencuri.”
Dengan argumen tersebut, pertemuan berakhir tapi masalahnya tetap ada. Pencurian masih berlangsung hingga awal tahun ajaran kedua.
Pada bulan Oktober di tahun kedua, $9 telah dicuri dari saku seorang siswi. Dia sangat yakin kalau salah satu siswa telah mencurinya, tapi tak akan ada seorang pun yang mengakuinya. Rapat komunitas pun diselenggarakan untuk membahas insiden tersebut.
Tanggapan sebagian kelompok ketika rapat dibuka menujukan perhatian siswa bawa tindakan seperti mencuri sangat mengganggu komunitas, “Kami katakan bahwa setiap orang memberikan 15 sen dollar karena 15 sen tidak akan membuatmu miskin mendadak.” Karena itu, jika setiap anggota memberikan 15 sen, Sembilan dolar dapat dikembalikan kepada siswa yang uangnya dicuri. Alasan ganti rugi kolektif ini sangat menarik:
Setiap orang, sekitar lima puluh orang, harus mengeluarkan uang ssejumlah 15 sen dolar untuk mengganti uangnya yang dicuri karena itu bukan kesalahannya. Ini kesalahan semua. Karena orang-orang tidak peduli dengan komunitasnya. (mereka kira) mereka adalah individual dan tidak terlibat dalam komunitas. (tapi) setiap orang harus peduli bahwa uangnya telah dicuri.
Pernyataan satu orang siwa ini dan dukungan dari teman-temannya membuat turning point dalam pengembangan sekolah terhadap just community. Untuk pertama kalinya, siswa menyatakan secara terbuka bertanggung jawab pada apa yang trjadi di sekoahnya. Bahwa jika seseorang uangnya dicuri, itu merupakan kesalahan semua pihak karena mereka tidak cukup peduli pada komunitasnya. Namun statemen tersebut ditentang oleh salah seorang siswa yang merasa bahwa pencurian merupakan tanggung jawab kedua belah pihak yaitu wanita yang mengizinkan uangnya dicuri dan orang yang mencuri uangnya. Tapi mayoritas setuju pada usulan bahwa jika uangnya tidak dikembalikan hingga saat tertentu, setiap anggota akan mengeluarkan uang sejumlah 15 sen untuk mengganti uang yang dicuri.
Selama satu minggu tidak ada pengakuan dan tampaknya setiap orang harus membayar. Kemudian beberapa siswa mengaku mengetahui pencurinya dan menyetujui untuk berbicara pada orang yang mencuri tersebut secara rahasia. Ketika hal ini tidak berhasil, timbullah ketidaksabaran pada orang itu dan namanya diberitahukan pada kelompok. Secara bertahap, pencuri itu diusir oleh teman-temannya. Yang lebih penting lagi adalah fakta bahwa tidak lagi ada pencurian di sekolah. Siswa tidak berjanji untuk tidak mencuri sama sekali tapi mereka setuju pada pernyatan yang disampaikan oleh salah satu siswa di dalam rapat: “Jik kamu ingin mencuri, terserah kamu, tapi jangan di sekolah.”
Kemajuan pada tahun kedua ini, seperti yang direfleksikan dalam rapat-rapat, cukup signifikan. Kita bisa memahaminya dengan cara berikut:
1. Siswa lebih berperan aktif di tahun kedua dalam kasus pencurian sebagai masalah komunitas. Siswa mengemukakan hubungan bahwa mereka tidak akan punya komunitas jika orang-orang tidak saling percaya.
2. Kualitas pertemuan meningkat, bagi siswa tidak hanya mengusulkan tindakan yang berbeda tetapi juga mem-back up usulan mereka dengan penalaran (reasoning) mengenai mengapa usulan tersebut harus diadopsi. Siswa menyampaikan posisi dan alasan-alasannya (reasoning) satu sama lain.
3. Keputusan dibuat berdasarkan penilain pada suatu tindakan. Meskipun pada tahun pertama aturan-aturan dan juga hukuman tidak mencegah pencurian, pada tahun kedua suatu norma berkembang dikalangan siswa bahwa pencurian tidak boleh terjadi di sekolah. Keberanian untuk menyebut nama orang yang mencurinya menunjukkan bahwa mereka bersedia untuk menegakkan norma ini.
Kemajuan berjalan lambat. Di lingkungan yang sering terjadi pencurian, tidak bisa diharapakan pencurian dapat dihilangkan sekaligus. Namun demikian, ‘serangan’ yang hebat telah dibuat, tidak hanya semua siswa setuju tidak mencuri di sekolah tetapi juga mereka cukup terikat dengan institusi dimana mereka berada untuk menegakkan norma-normanya. Kami percaya bahwa peran aktif mereka dalam membentuk suatu norma sangatlah penting dan berarti untuk komitmen mereka dalam menegakkan norma-norma tersebut.

RANGKUMAN DAN PENILAIAN
Pembentukan komunitas sebagai proses yang melibatkan siswa dalam pertimbangan moral untuk menentukan kebijakan sekolah merupakan proses yang kompleks dan menghabiskan banyak waktu. Proses tersebut membutuhkan komitmen terhadap perkembangan moral kognitif sebagai tujuan sekolah yang esensial. Dalam hal ini, istilah ‘just community’ yang dicetuskan Kohlkberg merupakan ujung tombak teori pendidikan moralnya. Penelitian sekarang dilakukan untuk menguji ‘keterlibatan’ siswa dalam kehidupan moral yang tersembunyi di sekolah menambah kekuatan pada hasil diskusi moral sebelumnya.
Kekuatan teori Kohlberg berasal dari fakta bahwa dia mengintegrasikan filsafat, psikologi dan pedagogi. Salah satu kekuatan utama model perkembangan moral kognitif adalah bahwa model tersebut fokus pada isu-isu moral dan pada resolusi konflik nilai tertentu. Selanjutnya, teori perkembangan memperkenalkan kompleksitas pertumbuhan manusia dan bahwa faktor-faktor sosial dan waktu merupakan bahan pokok dalam pembelajaran moral. Namun masalah-masalah baik yang bersifat teoretis maupun praktis tetap ada.
Beberapa kritik mengatakan bahwa filsafat moral Kohlberg merepresentasikan budaya Barat dan mempertanyakan teori keadilannya yang diklaim bersifat universal. Yang lainnya mempertanyakan validitas metodologi penelitian Kohlberg tentang cross-cultural dan mempertanyakan klaim Kohlberg yang menyatakan bahwa tahapan perkembangan moralnya bersifat universal. Perdebatan pada masalah ini akan terus berlangsung hingga adanya hasil sejumlah penelitian lain terhadap cross-cultural yang signufikan.
Dalam praktekanya, model tersebut juga menyebabkan timbulnya banyak masalah. Guru kurang memahami teori sehingga cenderung salah menggunakan tahapan-tahapan perkembangan dengan melabeli siswanya. Ini merupakan efek samping dari model ini.
Berhubungan dengan masalah labeling ini adalah masalah evaluasi. Bagaimana guru tahu jika ada restrukturisasi dalam penalaran moral siswa? Karena sekolah kami lebih berorientasi pada pertumbuhan ‘yang terukur,’ guru mungkin stress untuk melaksanakan model tersebut karena memerluksan waktu yang cukup lama (biasanya lebih dari lima tahun) dan sulit untuk diukur secara tepat.
Guru juga mungkin frustasi denga pengajaran yang ada dalam teori Kohlberg. Meskipun guru umumnya berorientasi untuk memberikan jawaban ‘yang benar’ dan informasi kepada siswa dan untuk menyelesaikan konflik baik intra maupun interpersonal. Guru bisa jadi merasa sulit untuk menjadi stimulator konflik kognitif. Teori yang meminta siswa untuk dikonfrontasi dengan konflik kognitif pada tahap awal pemikirannya membuat siswa merasa tidak nyaman dan mengantarkan guru dan siswa untuk hidup daam kegamangan yang sebelumnya tidak perbnah dialami.
Model Kohlberg fkcus pada penalaran (reasoning). Meskipun teorinya berkaitan dengan emosi dan prilaku, hubungan antara ketiganya (filsafat, psikologi dan pedagogi) tidaklah jelas. Penelitian terakhir Kohlberg berkaitan dengan perkembangan dan pengaruh pembelajaran dalam ‘just community’ mungkin mulai mengikat ketiga aspek tersebut secara bersamaan.
Kesimpulannya, teori Kohlberg menggabungkan banyak isu yang muncul pada model sebelumnya: dasar pemikiran yang kuat dalam konteks demokrasi; kepekaan siswa pada nilai-nilai moral mereka maupun nilai-nilai moral orang lain; menyelsaikan konflik moral melalui penggunaan nalar atau alasan-alasan; memikirkan hak-hak, sudut pandang, dan perasaan orang lain; dan fokus untuk menghubungkan pikiran atau nalar, emosi dan prilaku. Model ini memberikan alasan psikologi dan filsafat yang komprehensif, namun penerpannya di sekolah dapat diperluas dengan cara menggabungkan banyak strategi yang diberikan dalam model-model alternatif dalam buku ini.









8
MODEL TINDAKAN SOSIAL
Model tindakan sosial dalam pendidikan moral diprakarsai oleh Fred Newmann yang mengintegrasikan beberapa dimensi yang dibahas dalam bab sebelumnya serta menghubungkannya dengan keterlibatan masyarakat dalam perubahan sosial. Misalnya, model mendiskusikan pentingnya keterampilan berdiskusi dalam kelompok, berbagai isu mengenai afeksi seperti kepercayaan dan komitmen, serta pentingnya keterampilan penalaran moral. Pendekatan ini bertujuan untuk mengakjarkan siswa bagaimana mempengaruhi kebijakan publik.
Beberapa pendekatan yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya memiliki komponen-komponen tindakan. Lawrence Kohlberg, misalnya, mengembangakan just community school, suatu setting yang menekankan tindakan moral. Pendekatan Newmann lebih menekankan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk mempengaruhi urusan-urusan publik tidak hanya sekedar mendorong untuk melakukan ‘refleksi’ atau ‘untuk merasa tertarik’ pada masalah-masalah publik. Newmann berpendapat bahwa pada masa lalu pendidikan tidak berkaitan dengan aksi afektif tetapi hanya fokus pada masalah-masalah sipil yang lain.
Salah satu penekanannya adalah pada bidang akademik. Siswa harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan ilmu pengetahuan alam serta ilmu pengetahuan sosial. Fokus lainnya adalah pada struktur politik pemerintahan. Pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) dan hukum telah memberi pemahaman pada siswa mengenai berbagai aspek formal dalam pemerintahan. Penekanan yang ketiga adalah pada isu-isu sosial seperti peperangan, kriminal, dan kemiskinan. Keempat menekankan pada proses intelektual dalam menggapai suatu kesimpulan yang baik. Siswa mempelajari kesimpulan logis, validasi dari klaim yang empiris, konsistensi sebuah argumen, dan propaganda. Asumsinya adalah dengan cara mempelajari keterampilan analisis tersebut akan membawa mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Singkat kata, pendekatan-pendekatan tersebut telah memperkuat ketidakpedulian (pasifnya) warga Negara. Untuk melawan sikap pasif ini pendekatan Newmann tidak menekankan pada kegiatan yang ada didalamnya, namun tujuan utamanya adalah kompetensi lingkungan (environmental competence). Kompetensi berbasis lingkungan melibatkan banyak tindakan untuk mempengaruhi konsekwensi yang tibul secara spesifik terhadap lingkungan. Newmann merasa bahwa PKN lebih fokus pada urusan pribadi (self oriented project) seperti mengklarifikasi nilai-nilai personal daripada fokus pada pengembangan kompetensi. Kompetensi lingkungan dapat dijabarkan sebagai berikut:
A. Fisik—kemampuan mempengaruhi objek
1. Estetika (melukis gambar)
2. Fungsional (membangun rumah)
B. Interpersonal—kemampuan mempengaruhi orang
1. Hubungan mengasuh (menjaga bayi atau teman)
2. Hubungan ekonomi (menjual mobil)
C. Kewarganegaraan—kemampuan untuk mempengaruhi masalah-masalah atau kepentingan publik.
1. Proses pemilihan umum (membantu seorang calon memenangkan pemilihan)
2. Dalam kepentingan kelompok (mengubah prioritas kebijakan untuk melindungi konsumen)
Fokus model tindakan sosial adalah pada katagori yang terakhir: tindakan yang berhubungan dengan kepentingan umum atau kewarganegaraan (civic).

TEORI
Mengapa melaksanakan kompetensi lingkungan? Newmann mengajukan beberapa poin dalam mendukung programnya (tindakan sosial).
Moralitas
Newmann mengusulkan adanya hubungan langsung antara kemampuan untuk memberi pengaruh pada lingkungan dengan tingkat anggapan seseorang pada dirinya sebagai agen moral. Newmann mendefinisikan moral agen sebagai “orang yang hati-hati berpikir pada apa yang harus dia lakukan dalam situasi yang memungkinkan timbulnya konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain, atau antara hak-hak pihak yang terlibat konflik.” Sayangnya banyak anak muda yang tidak merasa kalau mereka dapat mempengaruhi lingkungan dan karena itulah mereka tidak tertarik dengan pertanyaan –pertanyaan moral.
Siswa mungkin melihat eksploitasi lingkungan, hak-hak sipil, dan eksploitasi ekonomi sebagai suatu ketidakadilan. Namun demikian, karena mereka merasa tidak dapat mempengaruhi masalah-masalah terrsebut, mereka tidak melihat masalah tersebut berkaitan dengan kehidupan mereka. Jika isu moral harus mempunyai makan, setiap orang harus merasa bahwa dia bisa memberi pengaruh pada masalah-masalah tersebut dengan banyak cara. Sense terhadap kompetensi moral terintegrasi dengan perkembangan kepekaan terhadap moral.


Perkembangan Psikologi
Tidak hanya adanya kemampuan untuk mempengaruhi lingkungan bagi orang yang ingin menjadi agen moral tetapi juga yang sangat penting adalah perkembangan psikologis. Newmann merujuk pada karya Robert White yang penelitiannya mendukung pernyataan bahwa prilaku manusia itu dapat dijelaskan dengan adanya kebutuhan untuk merasa mampu. (Ini bertentangan dengan kepercayaan bahwa kebanyakan kegiatan manusia itu merupakan hal yang berasal dari instink.) Kemampuan untuk mendapatkan sense terhadap kompetensi berintegrasi dengan perkembangan kekuatan ego atau “kemampuan untuk melawan rasa gelisah yang berhubungan dengan ‘bahaya’ atau ‘ancaman’ karena merasa percaya diri bahwa dia mampu menghadapinya, daripada merasa sebagai ‘korban’ dari lingkungan.”

Persetujuan dari Pemerintah
Persetujuan pemerintah diperlukan “karena setiap warga Negara memiliki kesempatan yang sama untuk mempengaruhi kekuasaan; melalui pemilihan para pemimpin yang dilaukan secara periodik dan melalui partisipasi langsung untuk mempengaruhi isu-isu spesifik.” Persetujuan pemerintah bertujuan untuk meyakinkan bahwa hak-hak sipil tidak akan dilanggar dan ide kebijakan pemerintah harus diuji di arena publik. Tingkat partisipasi warganegara dapat mengacam prinsip ini. Ketika partisipasi masyakat lemah, kepentingan kelompok tertentu dapat mengontrol atau memanipulasi proses politik. Program Newmann didasarkan pada premis bahwa keterampilan dalam tindakan sosial dapat meningkatkan proses demokrasi dengan memfasilitasi persetujuan pemerintah. “Aksi sosial” jangan diartikan sebagai protes yang militan tetapi sebagai suatu prilaku langsung untuk memberi pengaruh dalam urusan-urusan publik. Dengan demikian, tindakan sosial dapat berupa
Percakapan telepon, menulis surat, berpartisipasi dalam rapat, penelitian dan studi, meminta dukungan rakyat dari pintu ke pintu, mendanai media produksi, negosiasi, dan juga kegiatan-kegiatan publik yang dilakukan dalam bentuk yang militan. Tindakan sosial dapat berlangsung baik didalam maupun diluar sekolah. Jika diluar sekolah, tidak perlu dilakukan di jalan tetapi dirumah, kantor, dan tempat kerja.
Namun demikian, untuk bisa dikualifikasikan sebagai tindakan sosial, kegiatan-kegiatan diatas harus jadi bagian dari strategi untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam cara-cara tertentu. Issu bisa beragam:
Siswa berharap adanya peningkatan pendapatan perkapita, sekolah yang ‘lebih bebas” pembukaan tempat konsultasi obat-obatan, pemilihan pejabat tertentu. Mereka bisa juga berharap menentang peraturan diberlakukannya jam malam, meningkatnya harga apartemen, tingginya bunga kredit, dan mahalnya seragam sekolah.
Newmann menyarankan bahwa kompetensi lingkungan harus jadi tujuan sekolah yang sangat penting. Namun demikian, kompetensi yang lain juga jangan diabaikan. Meskipun demikian, dia menegaskan bahwa tindakan warganegara merupakan prioritas yang jangan dikorbankan atau dianaktirikan dibanding dengan tujuan yang lain.
Bagian-bagian utama model Newmann digambarkan dalam bagan 8.1. Tahap pertama dalam model ini adalah merumuskan tujuan kebijakan berdasarkan pertimbangan moral dan penelitian kebijakan sosial. Setelah merumuskan tujuan (misalnya menentang hukum aborsi), warga Negara menggalang dukungan untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Tentu saja hal ini memerlukan pengetahuan mengenai penyelenggaraan proses politik, keterampilan advokasi, keterampilan bekerja sama dalam kelompok, dan keterampilan managemen. Keterlibatan dalam aksi masyarakat juga berhubungan dengan filsafat psikologi. Hasil dari semua proses ini adalah produk kebijakan yang nyata.

Merumuskan Tujuan Kebijakan
Ada dua komponen utama yang harus dilakukan dalam merumuskan tujuan kebijakan, yaitu pertimbangan moral dan penelitian kebijakan sosial.
Dalam pertimbangan moral, Newmann menyarankan bahwa setiap orang harus siap terlibat dalam memberikan alasan, dan dalam debat terbuka mengenai kebijakan-kebijakan dan prinsip-prinsip. Argument rasional harus digabungkan dengan nilai-nilai substantif untuk menghasilkan pertimbangan moral yang efektif. Singkatnya, Newmann menolak etika relativisme dan mengadopsi posisi (sama seperti Kohlberg) bahwa beberapa nilai dan prinsip (seperti hak untuk hidup) harus lebih diperioritaskan dibanding denan yang lain (seperti hak untuk merdeka dari kemiskinan). Newmann mengatakan bahawa nilai-nilai sering bertentangan satu dengan yang lain dan hanya melalui argument yang masuk akal dan komitmen pada nilai-nilai dasar lah proses pertimbangan moral merupakan tujuan yang dapat dibenarkan secara etis.
Penelitian kebijakan sosial bertujuan untuk memastikan konsekwensi dari kebijakan-kebijakan tertentu yang diambil. Siswa menguji berbagai efek dari berbagai tindakan sosial yang mungkin terjadi (seperti isu rasial terhadap prestasi siswa). Beberapa penelitian kadang-kadang menghasilkan temuan yang tentatif dan menimbulkan konflik karena individu harus membuat kesimpulan berdasarkan informasi yang terbatas.

Upaya Mendukung Tujuan
Setelah seseorang mengembangkan suatu sikap melalui pertimbangan moral dan penelitian kebijakan sosial, dia harus terlibat dalam sejumlah kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Aktivis sosial harus terbiasa dengan “aturan main.” Hal ini termasuk mengetahui abagaimana suatu rancangan undang-undang menjadi hukum, bagaimana keputusan bisa diterapkan, dan lain-lain. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah mengetahui hal-hal informal, sebagian channel yang bisa jadi jalan untuk memberikan pengaruh kita pada kebijakan: misalnya orang-orang penting yang merupakan kelompok yang memiliki banyak sumber daya seperti orang, uang, dan posisi tawar.
Yang tak kalah pentingnya dalam menggalang dukungan ini adalah keterampilan advokasi. Keterampilan tersebut berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam membela suatu kasus dengan cara yang rasional dan sistematis. Keterampilan advokasi juga termasuk memperdebatkan kasus sehingga orang dapat mengidentifikasi pesan dan merespon sikap atau posisi secara emosional dan teoretis.
Ketika seseorang mulai bekerja untuk menggalang dukungan, pengetahuan dan keterampilan dalam proses berkelompok juga sangat penting. Dimensi ini meliputi keputusan apakah seseorang harus bergabung dengan organisasi yang sudah ada atau membentuk suatu kelompok yang baru. Jika suatu kelompok baru terbentuk, hal tersebut memerlukan pertimbangan-pertimbangan pada berbagai isu seperti keanggotaan, kewenangan internal, dan divisi yang bertanggung jawab. Pengetahuan terhadap prilaku interpersonal didalam kelompok juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Ini berarti mempelajari apa yang dapat membantu dan menghalangui berfungsinya suatu kelompok, demkian pula mengintegrasikan pengetahuan tersebut kedalam prilaku intrapersonal. Misalnya, instruksi dapat disampaikan dalam keterampilan mendengarkan (listening), mengklarfikasi ide dan perasaan anggota kelompok, merangkum kontribusi individu untuk membentuk sikap kelompok, memberi dan menerima umpan balik dalam kelompok yang jujur dan terbuka.
Terakhir, yang diperlukan adalah keterampilan mangemen dan berorganisasi. Misalnya:
Kapan pencarian dukungan door to door dilakukan? Kampanye dengan surat atau teleponkah yang akan lebih efektif? Seberapa cepatkah kita harus menghubungi pers dan apa yang harus kita sampaikan? Haruskah kita menerima perkataan seseorang atau memaksanya untuk menandatangani peryataan?
Newmann menyatakan bahwa keterampilan-keterampilan tersebut diperlukan untuk pengembangan kurikulum. Namun demikian, mengharapakan siswa untuk kompeten dalam semua keterampilan yang disebutkan diatas akan kurang masuk akal.

Mengatasi kekhawatian Psikofilsafat.
Sebagai orang yang terlibat dalam tindakan sosial, sejumlah kekhawatiran bisa saja muncul. Newmann melihat kekhawatiran tersebut sebagai dilemma psikofilsafat. Kekhawatiran tersebut harus dihadapi jika seseorang ingin efektif dalam kegiatan masyarakat.
Kekhawatiran tersebut meliputi keterbukaan dan komitmen. Ini berarti mengembangkan keseimbangan yang tepat antara berkomitmen pada projek dan tetap terbuka untuk mengkritisi secara konstrukif. Bahayanya adalah orang bisa saja menjadi obsesif pada komitmen mereka atau sebaliknya, menjadi sangat terbuka sehingga komitmen mereka menjadi ambivalen (bertentangan).
Dilemma yang lain meliputi pertimbangan antara orang Vs institusi. Terkadang sesorang sangat aktif terlibat dalam suatu proyek yang menyebakan lawan-lawannya tiak mau kalah atau disalahkan. Sangatlah penting bahwa individu harus tetap menjaga perasaan setiap orang yang terlibat dalam proyek. Namun demikian, peting juga bagi aktivis untuk tidak melupakan tujuan kegiatannya dan tidak terlalu responsif pada kebutuhan orang lain.
Kemampuan menanggapi merupakan isu integritas seseorang. Pada masa pro aksi sosial, seseorang akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang dapat mengkompromikan integritasnya. Kesediaan untuk berkompromi sangatlah penting. Namun, haruslah ada batasan sejauh mana orang boleh memodifikasi sikapnya. Ketika suatu keputusan menyepakati nilai-nilai dasar dan identitas seseorang, dia mungkin harus mencoba pendekatan alternatif.
Seseorang juga harus menguji kekuatan yang ada dalam proyek. Misalanya siapa yang akan jadi pimpinan dan siapa yang akan jadi bawahan? Orang yang terpilih menjadi pemimpin harus hati-hati agar tidak menyalahgunakan kepemipinannya. Orang yang bertangung jawab dalam pengambilan keputusan akan menemukan bahwa kekuasaan dapat ‘menyakiti’ orang lain. Jika suatu organisasi memiliki dana yang terbatas dan hanya bisa memiliki satu staff, seorang pemimpin harus menolak pelamar-pelamar yang sangat qualified.
Isu terakhir yang mungkin muncul dalam proyek tindakan sosial adalah hubungan antara motif pribadi dan penilaian masyarakat. Sangatlah penting bagi orang-orang untuk menyadari motifnya dalam proyek tindakan sosial. Newmann telah megamati motif-motif yang muncul ketika siswa terlibat dalam kegiatan masyarakat: pembelajaran diri, penyelesain tugas, hiburan, dan hibernasi. Terkadang motif pribadi bertentangan dengan proyek secara keseluruhan. Misalnya, seorang siswa yang motif utamanya adalah ingin belajar proses berpolitik tidak akan mau mengerjakan urusan-urusan yang berkaitan dengan pekerjaan sekretaris untuk seorang kandiat karena dia ingin belajar lebih dengan berpartisipasi dalam diskusi pada tingkat yang lebih tingi. Hal ini dapat bertentangan dengan tujuan untuk memenangkan pemilihan. Konflik semacam ini harus siswa pelajari sebelum mereka memutuskan untuk terlibat dan berperan dalam proyek.
Meski Newmann telah memecah modelnya kedalam beberapa komponen, dia tidak memperjuangkan pengembangan keterampilan individu dan kompetensinya dengan mengorbankan tindakan kolektif dan kerja sama.

PRAKTEK
Newman telah menerapkan pendekatannya di sekolah Community Issues Program, di Madison, Wisconsin. Demi menerapkan programnya, Newmann menyarankan hubungan antara komponen tindakan sosial dan pelajaran pada kurikulum di sekolah tersebut seperti yang ditunjukkan pada table 8.1. idealnya, urutan contoh berikut dapat dilaksanakan. Newmann menawarkan pendekatan sebagai berikut:
Semester 1 : Pelajaran proses berpolitik.
Pelajaran komunikasi
Pelayanan Publik
Semester 2 : Proyek Aksi Masyarakat
Aksi dalam proyek literature
Pesan Publik
Kompetensi yang harus dikembangan dalam pembelajaran tersebut termasuk
1. Berkomunikasilah secara efektif baik dalam bahasa lisan atau tulisan.
2. Kumpulkan informasi dan interpretasikan secara logis masalah-masalah yang jadi perhatian publik.
3. Gambarkan proses pengambilan keputusan yang legal secara politis.
4. Berikanlah alasan yang benar atas isu-isu publik yang kontroversial dan strategi-strategi yang akan dilakukan yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan demokrasi yang konstitusional.
5. Bekerja secara kooperatif dengan yang lain.
6. Diskusikan pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain yang konkret dalam cara yang dapat berkontribusi pada penyelesaian dilemma pribadi yang dihadapi dalam aksi sipil dan dengan cara yang menghubungkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan isu kemanusiaan yang lebih umum.
7. Gunakan keterampilan teknis yang diperlukan untuk mempengaruhi isu-isu yang spesifik.
Kurikulum meliputi program jangka panjang dimana siswa akan menghabiskan sebagian besar waktunya (misalnya dari jam 9.30 pagi hingga jam 14.00). Siswa akan mengontrak 2 sks dalam pelajaran bahasa inggris dan 2 sks dalam ilmu sosial dan mereka juga akan punya waktu untuk belajar pelajaran tamabahan seperti matematika, IPA, atau bahasa asing. Newmann dan temannya merekomendasikan agar programnya dibuka untuk sekitar 60 siswa dan dilaksanakan oleh dua guru tetap. Pelajaran dalam program ini akan digambarkan sebagai berikut.
1. Pelajaran politik (political-legal process course), tiga pagi dalam seminggu, untuk sekitar empat belas minggu, selama semester pertama. Disini siswa akan belajar ‘realita’ system politik. Akan ada penelaahan pada system struktur formal demikian pula proses informal seperti lobbying dan bargaining. Siswa juga akan mendapat kesempatan ‘pertama’ untuk mengamati prosesnya melalui pengalaman lapangan. Pengalaman ini meliputi menghadiri rapat dan melakukan wawancara. Pembelajaran juga fokus pada pengembangan keterampilan dalam pengumpulan data dan mengambil kesimpulan yang valid. Keterampilan pertimbangan moral juga akan ada dalam program ini dan juga siswa akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikapnya terhadap-masalah-masalah yang kontroversial.
2. Pelajaran komunikasi (communication corse), empat sore dalam seminggu, untuk enam belas minggu, selama satu semester. Disini siswa akan mengembangkan keterampilan berkomunikasi baik, lisan, tulisan, maupun non-verbal. Keterampilan ini akan diterapkan dalam empat konteks: interapersonal, interpersonal, kelompok, dan publik. Misalnya siswa dapat mengembangkan keterampilan interpersonal seperti emapti dan hormat, demikian pula dalam keterampilan kelompok seperti identifikasi dan klarifikasi masalah. Penekanan juga diberikan dalam membangun kepercayaan dan kesatuan kelompok sehingga siswa dapat bekerja sama dengan orang lain.
3. Pelayanan Publik (community service internship), dua pagi seminggu, untuk empat belas minggu pada semester pertama. Siswa akan terlibat dalam kegiatan sukarela dalam satu agen sosial, pemerinntahan dan LSM.
Siswa dapat bekerja sebagai pengganti selama satu periode (misalnya sebagai penganti reporter TV berita), mencoba mengalami kewajiban yang dilaksanakan dalam kelompok yang berbeda (misalnya membantu bebrapa departemen berbeda dalam sebuah agen perlindungan lingkungan), dapat menawarkan jasa tertentu pada ‘klien’ (misalnya memberikan tutor pada anak-anak atau membantu orang dewasa). Penempatannya harus membukakan siswa pada tugas-tugas harian suatu agency, memberikan kesematan kepada siswa untuk berkomunikasi secara aktif dengan orang-orang agency (daripada sekedar mengamati mereka secara pasif), dan meminta siswa untuk berkontribusi pada misi agency.
Pada saat siswa telibat dalam pelatihan, mereka dapat menganalisa proses institusional agency tersebut dalam pelajaran poitik dan bekerja dengan menggunakan keterampian bahasa yang relevan dalam pelajaran komunikasi. Satu sore per minggu, siswa dapat “berbagi pengalaman sukarela mereka, dan mulai untuk menggali berbagai isu yang mungkin berkembang dalam proyek tindakan sosial di semester kedua.
1. Proyek Tindakan Sosial, empat pagi seminggu, untuk sepuluh minggu, selama semester kedua. Dalam program ini siswa dapat berkarya untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Proyek bisa bekerja untuk kandidat pejabat publik, mendirikan institusi untuk kaum uda, merevisi regulasi administrative, lobbying untuk legislasi dll. Isunya dpat dipusatkan dalam lingkup nasional, provinsi, kabupaten termasuk dalam lingkup sekolah seperti hak-hak siswa di sekolah, penetapan aturan wilayah untuk melindungi ingkungan, perlindungan konsumen, kerja sama antar suku, dan pelayanan sosial bagi anak muda bermasalah.
Proyek dapat berkembang dari karya yang sudah dilakukan pada semester pertama. Selama proyek siswa juga dapat memperoleh ‘keterampilan klinis’ dalam beberapa hal seperti teknik meraih dukungan masa, keterampilan negosiasi, peningkatan dana, dan bagaimana menjalankan rapat. “Sesi Konsultasi “ juga dapat ditawarkan berkaitan dengan beragam isu yang muncul selama proyek dan dapat memberikan dukungan psikologis kepada siswa.
2. Aksi dalam proyek literature (action in literature project), dua sore seminggu, untuk sepuuh minggu selama semester satu. Pelajaran ini memiliki fokus yang lebih umum dibanding dengan yang lainnya dan berhubungan dengan isu-isu seperti Apakah manfaat perubahan sosial? Dapatkah setiap individu membuat perbedaan? Dan Bagaimana manusia mengatur dirinya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat digali melalui fiksi, biografi, puisi dan drama. Misalnya siswa dapat membaca biografi Ghandi, Thoreau pada pemberontakan sivil, novel seperti All the King’s Men, dan karya James Baldwin.
3. Pesan Publik (Publik Message). Setiap kelopok aksi akan mengembangkan ‘pesan’ akhir terhadap kegiatannya untuk dibagi dengan temannya dan dengan masyarakat yanglebih luas. Siswa akan mempelajari berbagai media dan menyiapkan laporan atas kegiatan mereka untuk satu jenis media ini. Penekanannya adalah pada apa yang sudah diselesaikan dalam proyek dan bertujuan untuk menafsirkan pengalaman siswa kepada publik.
Newmann merekomendasikan agar semua program dibuka untuk siswa di kelas sebelas dan dua belas. Meskipun program sosial harus lebih diprioritaskan, pelajaran ini tidak harus diikuti oleh semua siswa karena akan menjadi halangan pada kebebasan siswa. Newmann juga mengatakan bahwa belum cukup penelitian yang dilakukan untuk meyakinkan hasil program ini. Terakhir, direkomendasikan bahwa seleski siswa juga perlu dilakukan dalam memilih siswa untuk suatu program. Tujuan utamanya—kompetensi lingkungan—harus dipublikasikan sehingga siswa benar-benar meyadari tujuan pembelajaran ini.

Proyek Siswa
Tiga proyek yang melibatkan komunitas diidentifikasi untuk program ini. “Dalam penelitian exploratory siswa menginvestigasi komunitas, memperoleh informasi melaui pengamatan lapangan, wawancara, pembiacara dari luar, pengamatan informal dalan institusi, dan dengan cara yang lain.” Jasa sukarela menempatkan siswa untuk membantu orang lain secara langsung. Misalnya, siswa bekerja di panti jompo, di pusat kesehatan, program tutorial, dan kampanye penyelamatan lingkungan. Proyek aksi sosial meminta siswa untuk mengambil posisi advokat dan berusaha untuk mempengaruhi perubahan yang ada dengan posisi tersebut. Newmann menyatakan bahawa perkembangan hubungan bisa ada dengan tiga proyek ini. Penyelidikan ini lebih bersifat self-oriented karena individu pergi pada suatu komunitas untuk mengumpulkan informasi yang relevan. Jasa sukarela meliputi partisipasi individu untuk membatu atau peduli pada orang lain. Terakhir, dalam prannya sebagai advokat, siswa menjadi agen yang otonom dengan lebih memperhatiakan ruang lingkup sosial yang lebih luas.
Meskipun peran advokasi dilihat lebih sesuai dengan tujuan kompetensi lingkungan, proyek yang lain merupakan komponen-komponen yang sah dalam program aksi sosial. Newmann merekomendasilan bahwa hasil yang nyata dikembangkan selama kegiatan ini. Daftar kompetensi dan hasilnya digambarkan pada table 8.2.
Kreasi dalam hasil ini mendorong pendekatan yang lebih sistematis pada proyek ini daripaa sekedar ‘memperoleh pengalaman’. Hasil ini juga membantu dalam proses evaluasi.
Evaluasi program difokuskan pada empat area: (1) proficiency atau penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan aksi sosial; (2) productivity, yang menekankan pentingnya menyelesaikan proyek; (3) persistence, melaksanakan proyek secara serius dan terlibat penuh dalam kegiatan; dan (4) pleasurability, kesenangan yang siswa peroleh dalam program. Staff dan siswa jangan berharap bahwa semua kriteria dapat diterapkan setiap saat, tetapi mereka harus setuju dengan prioritas yang medukung kriteria program. Evaluasi pada empat P cukup sulit. Newmann merekomendasikan agar staff tidak fokus pada proficiency individu secara terpisah namun harus mencoba mempertahankan perspektif pada proyek secara keseluruhan. Newmann menentang pemberian nilai, tetapi mengevaluasi pekerjaan siswa harus melibatkan kelengakapan pekerjaan, memberikan feedback secara private untuk mengembangkan pembelajaran, dan memperbanyak dokumentasi pekerjaan siswa.

Peran Guru
Perlunya guru terlibat dalam aksi sosial sangatlah penting. Secara umum, guru dapat menadopsi empat peran berbeda dalam program aksi sosial. Peran yang paling sering adalah sebagai sumber segalanya, orang yang memberikan informasi mengenai orang-orang, tempat-tempat dan sumber-sumber yang ada dalam komunitas demikian pula dalam hal prosedur dan strategi. Pada peran yang ketiga, guru berperan sebagai seorang ahli dalam bidang tertentu (misalnya dalam bidang lingkungan). Dalam peran yang ketiga ini guru lebih terlibat dalam proyek yang spesifik daripada dua peran sebelumnya. Peran yang terakhir adalah peran sebagai aktivis. Seiap peran memiliki masalahnya masing-masing. Sangat penting bagi guru untuk merasa nyaman dan menjaga keaslian peran yang diadopsinya.

Administrasi Program
Perlengkapan yang terkelola dengan baik sangat mendukung program yang dilaksanakan. Akses terhadap bebagai perlengkapan: telepon, mimemograph dan mesin foto copy, kamera, tape, perlengkapan untuk membuat lamabang dan poster, kabinet, mesin tik, televise, radio. Bahan-bahan seperti alat tulis dan prangko, referensi, kalender dan Koran harus tersedia. Siswa juga butuh ruangan untuk rapat dan butuh ruang untuk memajangkan bahan-bahan yang berhubungan dengan proyek.
Hal-hal administratif yang harus diperhatikan adalah pertanggungjawaban. Newmann menyarankan agar orang tua dan siswadibritahukan resiko yang bisa muncul dalam program. Kemudian mereka harus membuat kesepakatan tertulis. Terakhir guru dan orang dewasa lainnya harus melakukan tindakan pencegahan akan bahaya yang mungkin terjadi pada siswa.
Tim pengawas juga dapat dibentuk. Mereka terdiri dari orang tua, siswa, guru, dan pimpinan beberpa komunitas. Komite ini dapat memberikan saran pada kebijakan dan berkontribusi pada visibilitas dan jaminan program.
Prinsip umum program ini adalah melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan. Misalnya, siswa dapat ambil bagian dalam menentukan jadwal program, penggunaan perlengkapan, dan kebijakan yang berhubungan dengan tamu dan hubungan publik. Rapat harus menjadi tempat utama dalam struktur pengelolaan. Semua staff dan siswa yang terlibat dalam program merupakan anggota yang memiliki hak suara. Fokus dari rapat atau pertemuan adalah untuk mengkomunikasikan informasi program, memutuskan kebijakan program, dan kegiata sosial. Struktur organisasinya dapat dilhat pada table. 8.2.

RANGKUMAN DAN PENGHARGAAN
Ini merupakan model yang mengesankan. Newmann telah mengembangkan pendekatannya secara hati-hati dengan memikirkan berbagai isu konseptual—psikologi, filsafat dan moral—yang berkaitan dengan model serta memberikan alasan-alasan persuasive untuk pelaksanaannya.
Dalam menyajian modelnya, dia juga mengembangkan pembahasan komponen-komponennya secara komrehensif dan tidak menghindari masalah-masalah yang berhubungan dengan pendekatannya. Dia mengangkat isu-isu psikologi sama halnya dengan perhatiannya pada hal-hal yang administratif yang berkaitan dengan pendekatannya. Pembahasan juga mengemukakan rintangan-rintangan yang ada dalam pendekatannya. Mislanya, perluasan lab harus dlilakukan agar bisa mengoptimalkan pembelajaran dalam program ini. Masalah potensial lainnya adalah ‘gangguan’ pelajaran yang mungkin muncul di sekolah. Di beberapa sekolah sulit bagi siswa untuk memeproleh aula, dan membiarkan siswa mengikuti proyek di luar sekolah dapat menjadi maslah administratif yang penting. Kesulitan-kesulitan administratif tersebut dapat mencegah implementasi dari program yang baru.
Isu lain yang masih berkaitan adlah mnegenai suasana sekolah dimana program tersebut diimplementasikan. Jika sekolah tidak memberikan suasana partisipasi yang demokratis, ini dapat menghambat partisipasi dalam konteks sosial yang lebih luas.
Pembahasan Newmann pada kurikulum dan prosedur kegiatan pegelolaan kelas juga masih general. Hanya ada sedikit contoh program yang spesifik dalam prakteknya. Meskipun formatnya (mislanya pembelajaran) digambarkan secara detail, hanya ada sedikit contoh kegiatan kelas yang spesifik (misalnya prosedur diskusi) dan ini dapat mernghambat pelaksanaan program. Beberapa program kegiatan sosial diambil dari contoh karya Newmann di Madison, Wisconsin.
Disamping masalah-masalah yang ada dalam program, program ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisispasi aktif dalam proses demokrasi. Tak ada model lain yang memberikan kesempatan luar biasa untuk terlibat.